- Pertanyaan dari:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
(diajukan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid pada saat rapat koordinasi persiapan
Munas Tarjih ke-28, hari Jumat tanggal 7 Rabiulakhir 1435 H/7 Februari 2014 M)
(jawaban disidangkan pada hari Sabtu, tanggal 15 Rabiulakhir 1435 H/15 Februari 2013 M)
Pertanyaan:
Pada saat berpergian (safar), apakah bisa salat Jumat dijamak dengan salat Asar? Jika salat Jumat bisa dijamak dengan salat Asar, apakah dilakukan dengan takkhir atau taqdim ?
Jawaban:
Kami informasikan terlebih dahulu bahwa pertanyaan pertama sebenarnya pernah diajukan kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid dan telah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah dua edisi, yaitu No. 03, Th. ke-83/1998 dan No. 3 Tahun Ke-84/1999. Pada kesempatan ini, kami akan menyampaikan kembali jawaban yang telah kami uraikan sebelumnya dan menambahkan sejumlah argumentasi.
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan terlebih dahulu.
Pertama, tidak ada laporan yang bersifat eksplisit dari generasi sahabat (dalam formula hadis) bahwa Nabi pernah melakukan jamak salat Jumat dengan salat Asar. Demikian pula tidak ada laporan bahwa Nabi melarang para sahabat melakukannya. Sehingga, dalam kondisi ketiadaan dalil kita diharuskan untuk melakukan ijtihad. Adalah tidak mungkin bagi kita menghindari ijtihad, karena hal tersebut artinya membiarkan satu perbuatan tanpa adanya hukum.
Kedua, bagi orang yang melakukan perjalanan (safar), ia sebenarnya mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk tidak menunaikan salat Jumat dan ia dapat menggantinya dengan salat Zuhur. Hal tersebut disimpulkan dari dua dalil (metode ini disebut sebagai istinb±th al-ahk±m min khil±li al-jam’i wa al-tauf³q atau penemuan hukum melalui kompromi dalil). Dua dalil tersebut adalah:
- Hadis yang menerangkan bahwa wukuf di Arafah tahun 10 H (Haji Wadak) adalah bertepatan dengan hari Jumat. Hadis tersebut adalah:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً مِنَ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، آيَةٌ فِى كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا . قَالَ أَىُّ آيَةٍ قَالَ ( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ) . قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ [رواه البخارى و مسلم]
Dari Umar ibn al-Khattab bahwasanya seseorang laki-laki Yahudi berkata kepadanya. Wahai Amirul Mukminin: ada satu ayat dalam kitab suci kalian yang kalian baca, jika ayat tersebut turun kepada kami orang Yahudi, akan kami jadikan hari turunnya sebagai hari raya. Umar bertanya: ayat apa itu? Yahudi tersebut menjawab: “alyauma akmaltu lakum d³nakum wa atmamtu ’alaikum ni’mat³ wa radl³tu lakumul isl±ma d³n±”. Umar berkata: Kami tahu hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi Saw. yaitu saat beliau berada di Arafah pada hari Jumat. [HR. Bukhari dan Muslim]
Keterangan dalam hadis di atas bahwa hari Arafah pada tahun 10 Hijriyah (Haji Wadak) jatuh pada hari Jumat juga dikonfirmasi kebenarannya oleh data dari penelitian astronomis (baca: Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, 2011: 152).
- Hadis yang menerangkan pada hari Arafah tahun 10 H tersebut, Nabi bersama sahabatnya tidak melakukan salat Jumat. Melainkan melakukan salat Zuhur yang dijamak dengan salat Asar. Hadis yang menjelaskan tentang hal ini cukup panjang. Untuk kepentingan menjawab permasalahan yang ditanyakan, hadis tersebut disingkat dan ditampilkan hanya pada bagian yang terkait. Hadisnya adalah:
…حَتَّى أَتَى عَرَفَةَ فَوَجَدَ الْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِى فَخَطَبَ النَّاسَ …ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا … [رواه مسل]
“…hingga Nabi saw tiba di Arafah dan menjumpai tenda Nabi saw sudah didirikan di Namirah. Kemudian Nabi menempatinya hingga matahari tergelincir Nabi memerintahkan (untuk disiapkan) kendaraan (untanya) Qaswa. Nabi berjalan hingga bagian tengah Arafah dan menyampaikan khutbah kepada orang banyak… Lalu ditunaikan azan kemudian iqamat. Kemudian Nabi Saw menunaikan salat Zuhur lalu menunaikan salat Asar dan Nabi Saw tidak menunaikan salat apapun di tengahnya [HR Muslim].
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa pada hari Jumat Nabi Saw. melakukan salat Zuhur, bukan salat Jumat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya bagi orang yang melakukan perjalanan, sebenarnya mendapatkan keringanan (rukhsah) untuk tidak menunaikan salat Jumat dan dapat menggantinya dengan salat Zuhur. Namun, sebuah rukhsah tidaklah wajib untuk dilakukan atau diambil, melainkan hanyalah sebuah pilihan (al-takhy³r). Sehingga jika ada yang memilih untuk tetap melaksanakan salat Jumat (‘az³mah), hal tersebut tentu saja dapat dilakukan.
Ketiga, dalam hal orang yang memilih ‘az³mah (tetap melaksanakan salat Jumat) dan menjamaknya dengan salat Asar, para ulama berbeda pendapat. Dari kalangan mazhab fikih, Mazhab al-Sy±fii, seperti dilaporkan oleh al-Naw±wi dalam al-Majm’, membolehkan ketika hujan dilakukan jamak antara salat Jumat dengan salat Asar. Sedangkan Mazhab Hanbali, seperti dilaporkan oleh al-Buhtiy dalam Kasysy±fu al-Qin±’ ‘an al-Iqn±’, melarang dilakukan jamak. Perlu digarisbawahi bahwa baik pendapat yang membolehkan ataupun pendapat yang melarang sesungguhnya tidak lain adalah ijtihad. Bagi yang melarang, ijtihad tersebut dilandaskan pada kaedah “hukum asal dalam masalah ibadah adalah haram”; ketika tidak ada dalil yang mencontohkan, maka berarti jamak tidak boleh dilakukan. Sedangkan bagi yang membolehkan, ijtihad dilandaskan pada hukum asal bolehnya jamak salat bagi orang yang melakukan safar.
Berhadapan dengan dua pendapat di atas, sikap Majelis Tarjih dan Tajdid adalah merajihkan pendapat kedua, yaitu pendapat yang membolehkan salat Jumat dapat dijamak dengan salat Asar. Menurut pertimbangan kami, ada sejumlah dalil yang dapat digunakan:
- Keumuman dalil tentang dibolehkannya jamak di waktu safar.
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ketika melakukan safar, Rasulullah selalu menjamak salat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
أَلَا أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ قَالَ قُلْنَا بَلَى قَالَ كَانَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ فِي مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ يَرْكَبَ وَإِذَا لَمْ تَزِغْ لَهُ فِي مَنْزِلِهِ سَارَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعَصْرُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِذَا حَانَتْ الْمَغْرِبُ فِي مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ وَإِذَا لَمْ تَحِنْ فِي مَنْزِلِهِ رَكِبَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعِشَاءُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا [رواه أحمد]
Artinya: “Maukah saudara-saudara saya beritakan perihal salat Rasulullah saw sewaktu sedang bepergian? Kami menjawab, ya. Ibnu Abbas berkata: Apabila Rasulullah masih di rumah matahari telah tergelincir, beliau menjamak salat Zuhur dengan Asar sebelum berangkat, tetapi kalau matahari belum tergelincir, maka beliau berjalan hingga waktu salat Asar masuk, beliaupun berhenti dan menjamak salat Zuhur dengan Asar. Begitu juga selagi beliau di rumah waktu Magrib sudah masuk, beliau menjamak salat Magrib dengan Isya tetapi kalau waktu Magrib belum lagi masuk, beliau terus saja berangkat dan nanti kalau waktu Isya tiba, beliau pun berbenti untuk menjamak salat Magrib dan Isya.” [HR Ahmad].
Tentang kebiasaan Nabi melakukan jamak pada saat safar, juga dijelaskan oleh hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ، ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا ، فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ [رواه البخارى ومسلم]
“Dari Anas Ra, ia berkata: adalah Rasulullah saw. apabila bepergian sebelum matahari tergelincir, maka ia mengakhirkan salat Zuhur sampai waktu Asar, kemudian ia berhenti lalu menjamak antara dua salat tersebut, tetapi apabila matahari telah tergelincir (sudah masuk waktu Zuhur) sebelum ia pergi, maka ia melakukan salat Zuhur (dahulu) kemudian beliau naik kendaraan (berangkat)”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Berdasarkan keumuman informasi bahwa Nabi selalu menjamak salat pada saat safar dalam dua hadis di atas, ketentuannya juga berlaku kepada bepergian yang dilakukan pada hari Jum’at. Oleh karenanya, diperbolehkan menjamak salat Jumat dengan Asar.
- Keumuman dalil tentang salat qasar pada saat safar.
Dilaporkan dalam sebuah hadis bahwa pada saat melakukan safar, Nabi selalu melakukan salat dengan qasar. Sahabat Imran ibn Hushain meriwayatkan:
مَا سَافَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا اِلاَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ وَاِنَّهُ أَقَامَ بِمَكَّةَ زَمَانَ اْلفَتْحِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ لَيْلَةً يُصَلِّي بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ اِلاَّ اْلمَغْرِبَ ثُمَّ يَقُولُ يَا أَهْلَ مَكَّةَ قُومُوا فَصَلُّوا رَكْعَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ فَإِنَّا قَومٌ سَفْرٌ [رواه احمد]
“Rasulullah saw tidaklah bersafar melainkan mengerjakan salat dua rakaat saja sampai beliau kembali dari safarnya dan bahwasanya beliau telah berada di Makkah pada waktu Fathu Makkah selama delapan belas malam, beliau mengerjakan salat dengan para jamaah dua-dua rakaat kecuali salat Maghrib, setelah itu beliau bersabda: Wahai penduduk Makkah salatlah kamu sekalian dua rakaat lagi, karena sesungguhnya kami adalah orang yang sedang dalam safar” [HR Ahmad].
Dalam hadis lain juga disebutkan tentang keumuman pelaksanaan salat qasar.
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا) فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ. فَقَالَ : صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ [رواه مسلم]
Dari Ya’la ibn Umayyah, ia berkata. “Aku bertanya kepada Umar ibn Khattab (tentang ayat) “…maka tidaklah mengapa kamu menqasar salat(mu) jika kamu takut diserang orang-orang kafir” padahal kondisi sudah aman (tidak ada lagi peperangan)”. Umar menjawab: “Aku juga pernah penasaran seperti halnya engkau penasaran. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal tersebut. Beliau menjawab: mengqasar salat adalah sedekah Allah untuk kamu sekalian. Maka terimalah sedekah dari Allah (HR. Muslim)
- Prinsip al-takhfif wa al-taysir (keringanan dan kemudahan) bagi musafir.
Perjalanan itu sendiri sesungguhnya adalah masyaqqah (kesukaran) bagi musafir. Oleh karena itu, adalah sangat beralasan Syariah memberikan banyak keringanan bagi musafir, seperti keringanan tidak diwajibkan berpuasa Ramadan dan boleh melakukan jamak salat. Keringanan tersebut diberikan agar umat Islam terhindarkan dari kesukaran dalam mengerjakan ibadah.
Tentang prinsip keringanan dalam beribadah secara eksplisit dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. فَقِيلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ [رواه ابو داود]
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah menjamak salat antara Zuhur dengan Asar dan Maghrib dengan Isyak di Madinah bukan karena alasan takut dan hujan. Kemudian ada yang bertanya kepada Ibnu Abbas: apa maksudnya hal tersebut? Ia menjawab: Rasulullah menginginkan agar tidak menyulitkan umatnya [HR Abu Dawud].
Dalam hadis di atas, dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan jamak salat bukan karena alasan takut (pada saat kondisi perang) dan bukan pula karena alasan hujan. Para ulama menjelaskan bahwa alasan (illat) dari jamak salat di atas adalah adanya hajat (kebutuhan). Berpergian (safar) pada hari Jumat adalah bagian dari hajat yang tidak dapat terhindarkan. Oleh karena itu berpergian juga dapat dijadikan illat dilakukannya jamak dengan salat Asar.
Terkait dengan pelaksanaannya secara takkhir, menurut kami salat Jumat dijamak salat Asar hanya dapat dilakukan dengan takdim (di waktu salat Jumat). Ketika dilakukan pada waktu Asar (takkhir), maka statusnya tidak lagi dihitung sebagai melakukan salat Jumat, namun sudah berubah menjadi jamak antara salat Zuhur dan Asar.
Dalilnya secara khusus memang tidak ditemukan, namun hal tersebut dapat diambil dari dalil yang menerangkan bahwa waktu salat Jumat adalah sama dengan waktu salat Zuhur, bukan pada waktu salat Asar. Hadis-hadis tersebut adalah:
- Hadis riwayat Anas:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِنَا الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ [رواه أحمد والبخاري وأبو داود والترمذي والبيهقي]
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: “Adalah Rasulullah saw melakukan salat Jum’at bersama kami tatkala matahari tergelincir.” [HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Baihaqi]
- Hadis riwayat Salamah bin al-Akwa’ menyebutkan:
قَالَ سَلَمَةُ بْنُ اْلأَكْوَعَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَتَّبِعُ اْلفَيْءَ [رواه أحمد والبخاري ومسلم وابن أبي شيبة]
Telah berkata Salamah bin al-Akwa’: “bahwasanya kami melakukan salat Jumat bersama Rasulullah saw apabila matahari telah tergelincir dan kami kembali pulang dengan mengikuti bayangan kami.” [HR Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah].
Demikian jawaban dari kami. Wallahu A’lam bis Shawab.