Halaqah Nasional dengan tajuk “Terminasi Hidup, Bunuh diri dengan bantuan Medis, dan Perawatan Paliatif” telah dilaksanakan oleh Majelis tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama dengan Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tepatnya, kegiatan tersebut dilaksanakan kemarin pada Sabtu 21 Jumadil akhir 1441 H bertepatan dengan 15 februari 2020 M bertempat di gedung pascasarjana Unversitas Muhammadiyah. Sekitar 70 peserta menghadiri halaqah tersebut dan mewakili berbagai unsur; mulai dari MTT, Pusat Studi Kedokteran Islam, perwakilan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan dari berbagai Perguruan tinggi muhammadiyah; perwakilan Rumah Sakit Muhammadiyah dan di luar Muhammadiyah serta unsur majelis, lembaga dan ortom di lingkungan PP Muhammadiyah.
Pada sesi pertama, terdapat dua materi yang dibicarakan yaitu Eutanasia dalam pandangan klinis sehari-hari. Ardi Pramono sebagai narasumber menyampaikan bahwa kenyataan di lapangan banyak dokter yang mengalami dilematisasi memutuskan suatu tindakan kepada pasien yang telah sampai kepada penyakit yang secara medis sulit untuk diharapkan kesembuhannya, atau yang disebut sebagai terminal ill.
WHO melansir bahwa sebesar 70% kematian yang terjadi disumbang oleh penyakit-penyakit kronis. Di antara dilema itu adalah dokter diperhadapkan dengan tindakan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai upaya eutanasia. Eutanasia sendiri, oleh Ardi didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh dokter untuk mengakhiri hidup pasien dengan cara yang tidak meyakitkan selama disetujui oleh pasien dan keluarganya.
Kenyataannya, masih banyak yang salah mengartikan suatu tindakan dokter sebagai eutanasia atau disebut juga dengan istilah physician administered euthanasia. Seperti dalam satu kasus seorang pasien diberikan tindakan sedasi paliatif dengan cara memberikan obat penenang yang bertujuan agar pasien menjadi tenang dan tidak gelisah.
Pihak keluarga dari pasien yang tidak memahaminya menganggap bahwa tindakan dokter tersebut merupakan upaya melakukan eutanasia secara pasif atau dengan kata lain menghentikan segala tindakan atau pengobatan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup si pasien.
Beberapa kasus lainnya di antaranya (1) pengambilan tindakan pertolongan yang mana tindakan tersebut bukan tanpa resiko; (2) mengutamakan pasien yang secara medis lebih bisa diharapkan dibanding pasien yang kecil harapan hidup; (3) memutuskan untuk menetapkan status Do Not Resusciation yang harus dikomunikasikan dengan dialog positif yang didasarkan pada pemahaman tentang masalah medis, etika, budaya, dan agama.
Materi kedua, bertajuk “Pelayanan Pasien Terminal dan Palliative Care di Rumah Sakit Syariah yang disampaikah oleh Iman Permana. Dalam presentasinya Iman menyampaikan bahwa Tidak sedikit penyakit yang pemicunya adalah psikis atau cara pandang seseorang.
Misalnya satu kasus pasien yang mengalami hyperurisemi atau asam urat akut diakibatkan oleh pola makan yang tidak teratur karena memiliki mindset bahwa semua makanan yang dihalalkan tuhan pasti tidak akan berdampak buruk. Mindset seperti ini menjadi akar dari penyakit fisik yang dideritanya. Dalam sejarahnya pula, kedokteran dan spritual dulunya merupakan sesuatu yang padu.
Dulu diagnosa bagi orang yang sakit itu hanya ada dua, dikarenakan dosa atau dikarenakan setan yang merasuki. Itulah kenapa dalam sejarah Eropa, orang sakit dibawa ke Geraja dan dirawat oleh Biarawati. Sekarang, dengan kemajuan ilmu kedokteran, medis dan spiritual mulai dipisahkan, padahal hal itu tidak selamanya benar, sebab berdasarkan tesis pertama, terdapat pula penyakit yang disebabkan oleh penyakit psikis dan penyakit ini dapat disembuhkan melalui pendekatan spritual.
Poin penting ini menjadi dasar konsep rumah Sakit yang berbasis syariah, yaitu rumah sakit yang dalam pengelolaannya mendasarkan kepada maqashid as-syariah utamanya pada perhatian terhadap pemeliharaan agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh an-nasl) dan harta (hifzh al-mal). Kaitannya dengan eutanasia dan PAS, dalam RSK (Rumah Sakit Syariah) tindakan eutanasia merupakan hal tidak diperbolehkan.
Rumah sakit syariah lebih mengedepankan dan merekomendasikan terapi Paliatif (Palliative Care) yaitu sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lainnya, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan/berduka.
Dengan demikian, secara sederhana terapi paliatif ini merupakan upaya untuk memberikan pendampingan kepada pasien yang telah didiagnosis menderita penyakit terminal ill dengan pendampingan positif berupa perawatan dan dukungan moral spritual. Di Indonesia sendiri, sudah terdapat konsep Hu Care yang dikonsepsikan oleh Sagiran yang bergerak pada terapi paliatif sesuai dengan pandangan Islam.
Pendampingan diberikan dengan memberikan siraman spiritual akan hakikat hidup dan kematian, nilai ibadah dan kehidupan selanjutnya sebagai tujuan hakiki dari kehidupan. Terapi ini diberikan semenjak pasien didiagnosa, proses menuju penyakit yang semakin parah, pada fase kritis hingga pasca kematian dengan memberikan pendampingan kepada keluarga yang ditinggalkan
Seperti pada sesi pertama di sesi kedua juga diisi dengan dua materi; pertama bertajuk “Eutanasia dan Physician Assisted Suiside (PAS) di Indonesia Tinjauan Perspektif Etika dan Hukum” dan kedua “Eutanasia dalam Perspektif Hukum Islam.” Siti Ismijati Jenie sebagai narasumber materi ini di awal presentasi makalahnya memberikan perbedaan definisi antara Eutanasia dan PAS.
Secara sederhana dapat dibedakan bahwa jika tindakan dilakukan oleh tenaga medis meski melalui izin si pasien maka tindakan tersebut lazimnya disebut eutanasia. Namun apabila yang melakukan adalah si penderita sendiri dengan bantuan tenaga medis seperti menyediakan bahan dan alatnya maka tindakan tersebut disebut sebagai physician assisstend suiside (PAS).
Membicarakan keduanya tidak akan terlepas dari perspektif etika dan hukum, karena memang dalam prakteknya baik eutanasia maupun PAS akan berbenturan dengan nilai etika dan hukum utamanya yang tegak di Indonesia. Dari segi etika, eutanasia dan PAS berhadapan langsung dengan etika kedokteran.
Berdasarkan dari nilai-nilai kedokteran yang dilandasi dari sumpah profesi, mulai dari sumpah hippokrates, deklarasi Genewa, sumpah dokter indonesia hingga Pedoman Penegakan Konsil Kedokteran nomor 17/KKI/VIII/2006, yang menjunjung tinggi kesucian hidup seseorang dan mengharuskan dokter untuk berupaya sekuat tenaga mempertahankan kehidupan maka dengan jelas praktek eutanasia dan PAS sangat tidak sejalan bahkan bertentangan dengan etika kedokteran yang didasarkan pada poin pokok tersebut.
Namun demikian, meski bertentangan tetapi belum ada sanksi tertulis yang secara jelas menyatakan akibat dari pelanggaran ini. Beda halnya apabila diperhadapkan dengan nilai hukum. Beberapa undang-undang, baik secara tersirat seperti UUD 1945, UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan KUHP. UUD 1945 maupun secara tersurat seperti pasal 344 KUHP, pasal 345 KUHP menyatakan ketidakbolehan eutanasia dan PAS dipraktekkan di Indonesia dalam keadaan apapun.
Sebab dalam pandangan hukum Indonesia, hak hidup seseorang dilekatkan kepada hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga dokter sebagai manusia juga pasien tidak berhak untuk menentukan kematian dan kehidupan. Dalam pasal 344 dan 345 dengan tegas menyatakan bahwa bagi pihak medis yang menghilangkan nyawa seseorang baik karena keinginan pribadi maupun keinginan orang lain, maka dipenjara selama-lamanya 12 tahun.
Sementara bagi yang sengaja membujuk orang lain untuk melakukan bunuh diri, membantu dan menolong serta memberikan sarana untuk melakukan tindakan tersebut maka diancam penjara paling lama 4 tahun.
Di sesi terakhir, Syamsul Anwar mengisi materi kedua. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid dalam presentasinya memaparkan hasil pertemuan agama-agama samawi di Casino Via IV, Vatikan, Senin 28 Oktober yang mana hasil tersebut menjadi cikal bakal diadakannya halaqah ini.
Dalam pernyataan yang disepakati oleh 16 perwakilan dari tiga agama samawi bahwa dengan tegas setiap agama tidak memperbolehkan praktek eutanasia dan PAS.
Dalam dokumen pernyataan yang ditandatangani pada pertemuan tersebut yang diterjemahkan oleh Syamsul Anwar dituliskan secara jelas “kita menolak bentuk apa pun dari eutanasia –yaitu tindakan mengakhiri hidup secara langsung, sengaja dan dikehendaki- dan juga bunuh diri dengan bantuan medis- yaitu membantu perbuatan bunuh diri secara langsung sengaja dan dikehendaki- karena keduanya secara fundamental bertentangan dengan nilai hidup manusia yang tidak dapat diubah, karena itu, secara inheren dan konsekuensinya, perbuatan tersebut adalah keliru secara moral dan agama, serta harus dilarang tanpa perkecualian apa pun.”
Dalam kesempatan tersebut, berulang kali Syamsul Anwar menyatakan bahwa sudah saatnya Muhammadiyah memperbaharui falsafah pelayanan kesehatannya, atau yang beliau istilahkan dengan “Perkhidmatan Hospalusia”. Bahwa setidaknya dalam falsafah kesehatan modern yang harus dianut oleh setiap amal usaha muhammadiyah yang bergerak di dunia kesehatan dan kedokteran mencakup tiga care; hospis care, palliative care dan lansia care.
Pada poin ketiga inilah sejatinya Muhammadiyah secara khusus ketinggalan dari upaya perawatan terhadap lansia yang telah dilakukan di negara-negara lain. Semisal di Jepang dan korea selatan, sudah ada tempat-tempat panti untuk merawat lansia dan mendampingi hari-hari mereka. Muhammadiyah dalam hal ini tidak boleh kalah, tidak hanya menyediakan panti asuhan untuk generasi anak dan remaja, tetapi juga memberikan pelayanan pada pendampingan orang tua yang telah lanjut usia.
Kontributor: Qaem Aulassyahied