EtalaseFatwaProduk

SHALAT JAMA‘, QASHAR, DAN SHALAT JAMAAH

SHALAT JAMA‘, QASHAR, DAN SHALAT JAMAAH

Penanya:

H. Muhda Hadisaputro, SH., M.Si.

Jl. Tebet Timur Dalam Jakarta

 

Pertanyaan:

  1. Akhir-akhir ini di kota besar seperti Jakarta, keadaan lalu lintas sehari-hari di hari kerja semakin padat merayap dan tidak jarang macet total semata-mata karena terlalu banyaknya kendaraan. Berjam-jam orang berada di kendaraan tanpa dapat berbuat banyak dan tiba di tujuan (di rumah dari pulang kerja) sudah larut malam. Waktu Asar, Maghrib dan Isya‘ masih di kendaraan. Bagaimana tuntunan untuk menjalankan ibadah yang wajib kita lakukan itu pada kondisi lalu lintas seperti itu? Bagaimana dalilnya?
  2. Shalat berjamaah besar fadlilahnya. Sebuah keluarga tinggal dua orang suami istri. Suami shalat wajib di masjid sesuai dengan keutamaannya, dan istri melaksanakannya di rumah sesuai dengan tuntunan keutamaannya. Untuk dapat meraihh fadlilah shalat berjamaah, adakah tuntunan bagi suami melakukan shalat sunat di rumah yang pada saat itu istri menjadi makmum dengan niat shalat wajib? Bagaimana dalilnya?

 

Jawaban:

1.

Shalat lima waktu sebagaimana yang telah dimaklumi adalah salah satu rukun Islam; yang oleh karenanya harus ditegakkan pelaksanaannya oleh setiap muslim, manakala tiba waktunya. Dalam kondisi normal (tanpa udzur/halangan) Islam mengajarkan pelaksanaan shalat untuk sesuai dengan waktu yang ditetapkan untuk masing-masing, juga dengan kaifiyah (tatacara) yang telah ditetapkan.

Dalam kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan seorang muslim mengalami kesulitan untuk melaksanakan shalat wajib sebagaimana yang dilaksanakan pada  kondisi normal (tanpa udzur/halangan), Islam memberi kemudahan, adakalanya berupa kemudahan yang berkaitan dengan waktu pelaksanaannya yakni dengan menjama‘ (mengumpulkan dua macam shalat dalam satu waktu tertentu) dan adakalanya berupa keringanan dalam pelaksanaanya yaitu dengan mengqashar (memendekkan/meringkas) jumlah raka’atnya.

Keringanan atau kemudahan yang diberikan itu diungkapkan dalam ajaran Islam, melalui  beberapa ayat al-Qur’an dan al-Hadits.

Allah berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ. [الحج (22): 78]….

Artinya: “… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Hajj (22): 87].

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. [البقرة (2): 185].

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [al-Baqarah (2): 185].

Rasulullah saw bersabda:

الدِّينُ يُسْرٌ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ. [رواه البخاري عن أبى هريرة].

Artinya: “Agama itu mudah; agama yang disenangi Allah yang benar lagi mudah.” [HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.].

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا … [رواه البخاري عن أنس بن مالك].

Artinya: “Mudahkanlah dan jangan mempersukar …” [HR. al-Bukhari dari Anas ibn Malik ra.].

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa keringanan dalam menegakkan shalat, diberikan dengan mengqashar (meringkas). Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي اْلأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا. [النساء (4): 101].

Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” [QS. an-Nisa (4): 101].

Dalam beberapa hadits diterangkan, antara lain:

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): “Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru”. Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” [HR. Muslim].

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw shalat dhuhur di Madinah empat raka’at dan shalat ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at.” [HR. Muslim].

Hadits yang menerangkan shalat jama’ antara lain:

عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Mu’adz ra ia berkata: Kami pergi bersama Nabi saw dalam perang Tabuk, beliau melaksanakan shalat dhuhur dan ashar secara jama‘, demikian juga antara maghrib dan ‘isya dilakukan secara jama‘. [HR. Muslim].

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika  berangkat dalam bepergiannya sebelum terdelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur terlebih  dahulu kemudian naik kendaraan.” [Muttafaq ‘Alaih].

Berkaitan langsung dengan pertanyaan saudara, kami sampaikan hadits-hadits sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu’Abbas ra, ia berkata: Bahwa Nabi saw shalat di Madinah tujuh dan delapan raka’at; dhuhur, ashar, maghrib dan ‘isya.“ [Muttafaq ‘Alaih].

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah saw shalat dhuhur dan ‘ashar di Madinah secara jama‘, bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya kepada Sa’id; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnu’ Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: Beliau menghendaki agar tidak mernyulitkan seorangpun dari umatnya.” [HR. Muslim].

Asy Syaukani dalam kitab Nailul Authar Juz 3 halaman 263, menerangkan bahwa menurut sebagian ulama’ shalat jama‘ yang dilakukan oleh Rasulullah saw, adalah karena ada udzur.

Berdasar  hadits dan keterangan di atas, Bagian Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berpendapat bahwa jika ada udzur (halangan) yang menyulitkan pelaksanaan shalat untuk dikerjakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan untuk masing-masing dari lima shalat wajib, maka dibolehkan untuk dilaksanakan dengan menjama‘ antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan ‘isya.

2.

Untuk menjawab pertanyaan nomor 2, kami sampaikan terlebih dahulu hadits-hadits sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَانْحَرَفَ رَجُلٌ فَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى وَحْدَهُ وَانْصَرَفَ فَقَالُوا لَهُ أَنَافَقْتَ يَا فُلاَنُ قَالَ لاَ وَاللهِ وَلَآتِيَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَأُخْبِرَنَّهُ فَأَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا أَصْحَابُ نَوَاضِحَ نَعْمَلُ بِالنَّهَارِ وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى مَعَكَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُعَاذٍ فَقَالَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata: Adalah kebiasaan Mu’adz shalat bersama dengan Nabi saw, kemudian mendatangi kaumnya lalu mengimami mereka. Pada suatu malam setelah ia shalat ‘isya’ bersama Nabi saw, lalu ia mendatangi kaumnya dan mengimami mereka. Ia memulai dengan bacaan surah al-Baqarah. Kemudian ada seseorang yang memisahkan diri dan bersalam. Lalu ia shalat sendirian sampai selesai. Orang-orang berkata kepadanya: Apakah anda orang munafik wahai Fulan? Ia menjawab; Demi Allah, tidak. Kemudian saya akan mendatangi Rasulullah saw dan akan kuberitahukan hal itu. Setelah ia sampai kepada Rasulullah saw, ia berkata: Wahai Rasulullah, saya ini adalah tukang siram kebun kurma bekerja seharian, sedangkan Mu’adz telah shalat ‘isya bersamamu, kemudian mendatangi kami untuk mengimami shalat ‘isya dan ia memulai dengan surah al-Baqarah. Kemudian setelah itu Rasulullah saw menemui Mu’adz, dan bersabda: Wahai Mu’adz: Jangan kau membuat kekacauan. Bacalah dengan surat ini dan surat itu.“ [HR. Muslim].

Dari hadits di atas dapat diambil makna bahwa orang yang telah shalat berjama’ah, dibolehkan untuk shalat lagi sebagai imam pada suatu jama’ah (kelompok orang) yang akan melaksanakan shalat secara berjama’ah.

عَنْ مِحْجَنٍ الأَدْرَعِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَحَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَصَلَّى وَلَمْ أُصَلِّ فَقَالَ لِي أَلاَ صَلَّيْتَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ صَلَّيْتُ فِي الرَّحْلِ ثُمَّ أَتَيْتُكَ قَالَ فَإِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَهُمْ وَاجْعَلْهَا نَافِلَةً. [رواه أحمد].

Artinya: “Diriwayatkan dari Mihjan Ibn Adra’ ia berkata: Saya mendatangi Nabi saw ketika beliau berada di masjid, kemudian datanglah waktu shalat, kemudian beliau shalat, tetapi saya tidak shalat. Lalu beliau bertanya kepada saya: Mengapa kamu  tidak shalat? Saya menjawab: Wahai Rasulullah, sungguh saya telah shalat di dalam kemah, kemudian saya mendatangi anda. Beliau lalu bersabda: Apabila kamu datang ketika orang sedang shalat, maka shalatlah bersama mereka, jadikanlah shalatmu sebagai shalat sunat.” [HR. Ahmad].

Dari hadits di atas dapat diperoleh keterangan bahwa orang yang telah melakukan shalat wajib, kemudian menjumpai orang lain sedang melakukan shalat wajib, maka disunatkan kepada orang tadi untuk mengikuti shalatnya. Shalat yang dilakukan dinilai sebagai shalat sunnat.

Berdasarkan hadits-hadits di atas, Bagian Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berpendapat bahwa:

  1. seseorang yang telah melaksanakan shalat wajib, kemudian melihat orang lain akan atau sedang shalat baik ia sendirian maupun berjama’ah, dianjurkan shalat bersama mereka. Termasuk dalam hal ini suami yang telah shalat berjama’ah di masjid menjadi imam bagi isterinya yang shalat di rumah.
  2. shalat yang kedua kalinya dinilai sebagai shalat sunnah, bukan shalat wajib.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

Related Articles

One Comment

  1. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Saya sebagai warga ingin bertanya. Di tempat saya ada sebuah masjid Muhammadiyah akhir2 ini ada permasalahan yg harus segera diselesaikan oleh dewan Tarjih. yakni; Ketua takmir, dan wakilnya tersinggung sehubungan kritik jamaah terhadap pemasangan layar LCD secara permanen menutupi kaligrafi ayat al-Quran . Kemudian takmir tersebut bereaksi -semua kaligrafi- yang sudah terpasang bertahun-tahun di dinding masjid dicabut, dan dihapus semuanya. Sehingga ruangan masjid tidak nyaman , dan tidak ditemukan lagi kaligrafi yang bisa dibaca jamaah ketika masuk masjid. Kata ketua takmir “Kaligrafi quran tidak boleh dipasang di dinding masjid. Bakal mengundang setan” kemudian dia bacakan tanya-jawab agama, entah dari mana sumbernya. Bagaimana menurut Majelis Tarjih dengan fatwa demikian?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button