Bagaimana Pembagian Warisan Menurut Islam ?
Pertanyaan Dari:
Saudara R. Indra P, Jakarta, HP 08572931XXXX
(pertanyaan disampaikan melalui sms)
Pertanyaan:
Tetangga saya berselisih pendapat dalam menyelesaikan pembagian warisan dari anggota keluarganya yang meninggal dunia, tetapi karena saya kurang mengetahui penyelesaiannya saya minta tolong kepada bapak untuk membantu menyelesaikan pembagian warisan tetangga saya tersebut. Kasusnya sebagai berikut: Seorang wanita yang mempunyai dua (2) orang anak angkat kawin dengan seorang laki-laki (duda) yang sudah mempunyai tiga (3) orang anak. Dari perkawinannya yang kedua ini tidak mempunyai anak. Isteri selain mempunyai 2 anak angkat juga mempunyai lima (5) orang keponakan laki-laki, tiga (3) orang anak dari kakak laki-laki kandungnya dan 2 (dua) orang lagi anak dari adik laki-laki kandungnya, kemudian si istri meninggal dunia. Harta peninggalannya sebagian besar merupakan harta bersama atau gono gini. Pertanyaannya: Bagaimana cara menyelesaikan pembagian warisan mereka. Siapa saja ahli waris yang berhak mendapat warisan, apakah tiga (3) anak laki-laki dari suaminya juga berhak mendapat warisan?
Jawaban:
Sebelum dilakukan pembagian warisan terlebih dahulu harus diketahui apa saja harta peninggalan atau tirkah pewaris, yang dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ [4] ayat 11, 12 disebut dengan ma taraka (مَا تَرَك) yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris. Untuk mengetahui apa saja yang dimiliki seseorang dalam harta keluarga perlu diketahui dan dilakukan pemilahan; pertama adalah harta asal atau harta bawaan atau gawan, yaitu kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum melakukan perkawinan, baik atas usaha sendiri, dari warisan, hibah, hadiah. Harta asal setelah pemiliknya kawin dapat berubah wujud, seperti semula sebidang tanah menjadi sebuah rumah. Perubahan wujud ini tidak menghilangkan esensi harta asal. Kedua, harta bersama atau gono gini ialah harta yang diperoleh oleh suami isteri atau oleh salah satunya setelah melakukan perkawinan dan selama terjadi ikatan perkawinan. Sekalipun dua macam harta ini berasal dari urf Indonesia yang merupakan kondisi riil masyarakat, akan tetapi tidak bertentangan dengan hukum Islam, artinya hukum Islam dapat membenarkan pemilahan seperti ini, termasuk bisa menyetujui adanya harta gono gini atau harta bersama.
Harta bersama merupakan urf dalam sebuah masyarakat yang adat istiadatnya tidak memisahkan antara hak milik suami dan isteri yang diperoleh dan selama mereka terikat dalam perkawinan. Dalam urusan rumah tangga tidak dipisahkan harta penghasilan suami dan penghasilan isteri. Harta pencaharian suami bercampur baur dengan harta penghasilan isteri. Dalam rumah tangga seperti ini rasa kebersamaan lebih menonjol dan menganggap akad nikah mengandung persetujuan kongsi (syirkah) dalam membina rumah tangga, bahkan lebih kuat dari sekedar syirkah yang dikenal dalam muamalah, karena dalam perkawinan suami isteri telah bersyarikat lahir dan batin. Dengan demikian seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih banyak menghasilkan dalam usaha memperoleh harta itu. Oleh karena itu sifat kegotongroyongan lebih menonjol dalam masyarakat seperti ini. Di Indonesia, adat kebiasaan seperti ini menjadi lebih kuat karena telah dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Jika salah seorang suami isteri meninggal dunia, masalah pertama yang harus diselesaikan sebelum pembagian harta warisan adalah penyelesaian pembagian harta bersama.
Untuk melihat lebih lanjut posisi harta bersama atau harta gono gini, dapat dilihat dari kajian muamalat, bahwa harta gono gini dapat dikategorikan sebagai hasil syirkah atau join antara suami isteri. Dalam perkawinan, suami dan isteri dipandang telah melakukan syirkah atau kongsi. Dalam konteks konvensional, suami merupakan tulang punggung keluarga, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumahtangganya. Dalam kondisi seperti ini, sekalipun isteri secara riil tidak bekerja menghasilkan harta, akan tetapi telah dipandang mempunyai kongsi, menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk mengurus rumah tangga, sehingga bekerja tidak harus selalu diartikan bekerja di luar rumah. Syirkah yang seperti ini dalam muamalah bisa dikategorikan ke dalam syirkah abdan yang oleh hukum Islam diperbolehkan. Lebih-lebih apabila isteri selain mengatur manajemen ekonomi rumah tangga, juga ikut bekerja secara riil menghasilkan harta, maka syirkah seperti ini disebut syirkah inan yang juga diperbolehkan oleh hukum Islam.
Apabila suami isteri itu bercerai atau salah seorang suami isteri meninggal dunia, harta bersama atau gono gini dibagi dua bagian, sebagian untuk suami dan sebagian lagi untuk isteri. Apabila dihubungkan dengan pertanyaan saudara, maka harta peninggalan pewaris adalah harta bawaan atau harta asal milik isteri (kalau ada) ditambah separoh dari bagian gono gini. Seandainya pewaris pada waktu hidupnya ada meninggalkan hutang dan atau wasiat, dari harta peninggalannya terlebih dahulu dikeluarkan untuk membayar hutang dan wasiatnya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
… مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا اَوْ دَيْنٍ … [النسآء (4): 12]
Artinya: “… sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu …” [QS. an-Nisa’ (4) ayat 11]
Adapun para ahli waris yang berhak mendapat warisan ialah: suami dan lima (5) orang keponakan laki-laki. Anak angkat bukan ahli waris, akan tetapi kepada anak angkat yang belum menerima wasiat atau hibah bisa diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) bagian dari harta peninggalan sesudah dikeluarkan untuk membayar hutang dan wasiat terlebih dahulu. Pemberian wasiat wajibah ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya”.
Besarnya bagian para ahli waris sebagai berikut: Bagian suami adalah separoh (1/2) bagian karena pewaris (isteri yang meninggal dunia) tidak mempunyai keturunan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat 12 surat an-Nisa’:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَجُكُمْ اِنْ لَـمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ … [النسآء (4): 12]
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak …” [QS. an-Nisa’ (4) ayat 11]
Bagian lima (5) keponakan laki-laki sebagai ahli waris pengganti dari saudara laki-lakinya pewaris yang sudah meninggal lebih dahulu mendapat sisa setelah diambil bagian suami. Dua (2) orang saudara laki-laki pewaris sebagai ‘asabah atau qarabah menurut istilah lainnya. Ahli waris ‘asabah memperoleh sisa setelah diambil bagiannya ahli waris zawu al-furud, dalam kasus ini yaitu suami. Dengan demikian bagian lima orang keponakan laki-laki sebesar setengah bagian, yaitu sisa setelah diambil bagiannya suami setengah (1/2) bagian. Dari setengah bagian ini harus dibagi dua lebih dahulu, seperempat (1/4) bagian diberikan kepada tiga orang keponakan yang menggantikan ayahnya (kakak laki-laki dari pewaris) lalu dibagi rata kepada tiga orang dan seperempat (1/4) bagian lagi diberikan kepada dua orang keponakan, menggantikan ayahnya (adik laki-laki dari pewaris) dan dibagi rata antara dua orang keponakan tersebut.
Sebagai contoh, apabila harta bersamanya senilai Rp. 360.000.000,- lalu dibagi dua bagian terlebih dahulu, separoh (Rp. 180.000.000,-) sebagai haknya suami dan separohnya lagi (Rp. 180.000.000,-) merupakan bagian isteri. Bagian isteri sebesar Rp. 180.000.000 (kalau ada ditambah harta bawaannya) yang merupakan tirkah atau harta peninggalan pewaris yang akan dibagi di antara para ahli waris. Dari Rp. 180.000.000 diambil dahulu sepertiga (1/3) bagian yaitu Rp 60.000.000,- untuk melaksanakan wasiat wajibah dan diberikan kepada dua (2) orang anak angkatnya isteri, masing-masing memperoleh Rp. 30.000.000,- Sisa setelah dikeluarkan untuk wasiat wajibah (Rp. 180.000.000 – Rp. 60.000.000) = Rp. 120.000.000,- dibagikan kepada suami dan lima orang keponakan. Bagian suami adalah ½ x Rp. 120.000.000,- = Rp. 60.000.000,- dan sisanya (Rp. 120.000.000 – Rp. 60.000.000) = Rp. 60.000.000 diberikan kepada lima orang keponakan sebagai ahli waris pengganti dari ayah mereka, yaitu dua (2) orang kakak laki-laki dan adik laki-lakinya pewaris. Bagian dua orang saudara sebesar Rp. 60.000.000,- dibagi dua bagian, sebagian (Rp. 30.000.000) merupakan bagian kakak laki-lakinya pewaris kemudian diberikan kepada tiga orang anaknya, masing-masing mendapat Rp. 10.000.000,- Separohnya lagi (Rp. 30.000.000) sebagai bagian adik laki-lakinya pewaris dibagikan kepada dua orang anak laki-lakinya, masing mendapat Rp. 15.000.000,-.
Adapun tiga orang anak laki-laki dari suami pewaris bukan ahli waris, karena ia sebagai anak tiri yang tidak ada hubungan nasab/kekerabatan dengan pewaris.
***
FATWA TENTANG PEMBAGIAN WARISAN (2)
Pertanyaan Dari:
Seorang ibu di Tanah Abang Jakarta Pusat
(nama dan alamat lengkap ada pada redaksi)
Pertanyaan:
Saya seorang isteri dari seorang laki-laki yang telah meninggal dunia, mempunyai permasalahan mengenai warisan. Untuk itu mohon penjelasan dan jawaban. Adapun permasalahannya, almarhum suami saya meninggal dunia dan meninggalkan seorang isteri, tidak ada keturunan anak, tetapi mempunyai saudara kandung 3 (tiga) orang, yang 2 (dua) orang sudah meninggal dunia, tinggal 1 (satu) orang sudara laki-laki saja. Almarhum membuat wasiat 1/3 (sepertiga) bagian dari seluruh harta warisan untuk kepentingan agama Islam antara lain untuk Persyarikatan Muhammadiyah Yogyakarta dan Jakarta. Adapun yang saya tanyakan: Pertama, apakah peraturan Pengadilan Agama/ Kompilasi Hukum Islam sejalan dengan putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah? Kedua, apakah wasiat dikeluarkan dari keseluruhan harta atau dari pembagian setelah gono gini/ harta bersama?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaannya semoga jawaban kami bisa difahami oleh ibu. Pertanyaan ibu yang pertama, apakah Kompilasi Hukum Islam sejalan dengan putusan Majelis Tarjih? Perlu ibu ketahui bahwa materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdiri dari tiga buku, Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Penyusunan KHI ini dipandang penting karena sampai saat itu belum terdapat buku standar, Kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan dan rujukan bersama para hakim di Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara yang menjadi wewenangnya, sehingga bisa terjadi kasus yang sama dapat lahir putusan berbeda jika ditangani oleh hakim yang berbeda.
Dari sudut teori hukum, produk peradilan agama bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Untuk itu pemerintah memprakarsai pembuatan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Materi KHI tersebut pada mulanya disiapkan oleh sebuah tim (yang dibentuk atas kerjasama antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Dalam pembuatan draftnya tim tersebut telah bekerja dengan melibatkan berbagai unsur, antara lain pihak Perguruan Tinggi dalam hal ini IAIN, terutama untuk mengkaji berbagai kitab fiqh, para alim ulama dan pihak-pihak lain yang dipandang mempunyai kemampuan dalam bidang hukum Islam. Materi KHI juga digali dari yurisprudensi peradilan agama, dan dari hasil studi banding kepada beberapa Negara. Selanjutnya draft tersebut dibahas dalam lokakarya dengan para alim ulama, tanggal 2 sampai 5 Februari 1988 dan setelah mendapat penyempurnaan kemudian untuk pemasyarakatannya dibuat dalam bentuk Instruksi Presiden, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
Sepengetahuan kami, tidak semua materi KHI didasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah as-Sahihah, melainkan ada juga hasil ijtihad yang dalam beberapa hal juga memperhatikan urf Indonesia. Oleh karena sebagiannya merupakan hasil ijtihad, bisa saja berbeda dengan pandangan Majelis Tarjih kalau kami membahas persoalan tersebut. Namun demikian kami belum melakukan pembahasan terhadap keseluruhan materi KHI, sehingga kami belum bisa menyampaikan apakah seluruh materi KHI sejalan atau tidak dengan pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Hanya saja perlu ibu ketahui, apabila suatu persoalan diajukan untuk dimintakan penyelesaian kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama memutuskan dengan mendasarkan kepada ketentuan yang ada dalam KHI, maka putusan tersebut mengikat bagi para pihak.
Pertanyaan ibu yang kedua, apakah wasiat dikeluarkan dari keseluruhan harta atau dari pembagian setelah gono gini/ harta bersama. Dapat kami kemukakan bahwa suami ibu berwasiat yang besarnya 1/3 itu sudah benar, karena menurut hukum Islam seseorang berwasiat maksimal 1/3 harta (demikian juga menurut ketentuan Pasal 195 ayat (2) KHI). Oleh karena itu kalau ada orang yang berwasiat melebihi sepertiga, maka kelebihannya batal, kecuali kalau disetujui oleh semua ahli waris. Bahwa wasiat itu maksimal sepertiga adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqas dari bapaknya radiyallahu ‘anhu, sebagai berikut:.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي فَقُلْتُ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِي مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا فَقُلْتُ بِالشَّطْرِ فَقَالَ لَا ثُمَّ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيرٌ أَوْ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ … [رواه البخارى]
Artinya: “bahwasanya Rasulullah saw mengunjungiku pada tahun haji wada’ di waktu saya sedang menderita sakit keras. Saya berkata, sesungguhnya saya sedang menderita sakit keras dan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang akan mewarisiku kecuali seorang anak perempuan saya, apakah boleh saya bersadaqah (berwasiat) sebanyak duapertiga hartaku? Rasul menjawab, jangan. Saya bertanya lagi, kalau seperduanya?, jangan, jawab Rasulullah, lalu Rasul berkata, cukup sepertiga saja karena sepertiga itu besar dan banyak. Sesungguhnya apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak…”.
Selanjutnya mengenai harta yang diwasiatkan, menurut hukum Islam seseorang hanya bisa berwasiat terhadap harta kepunyaannya sendiri, tidak bisa berwasiat dari harta orang lain. Dalam urf Indonesia yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, harta keluarga itu bisa terdiri dari beberapa bagian. Ada yang berupa harta bawaan, ada juga harta bersama atau harta gono gini. Harta bersama merupakan kepunyaan suami isteri. Oleh karena itu kalau suami isteri itu bercerai atau meninggal dunia, maka harta bersama dibagi dua bagian dahulu, sebagian merupakan haknya suami dan sebagian lagi merupakan miliknya isteri. Oleh karena itu terhadap pertanyaan ibu dapat dijawab bahwa pertama-tama harta gono gini dibagi dua bagian terlebih dahulu, sebagaian merupakan haknya ibu dan sebagian lagi merupakan haknya almarhum suami ibu. Dengan demikian sepertiga wasiat suami ibu adalah sepertiga (1/3) dari harta gono gini yang merupakan bagiannya suami ditambah harta bawaan suami (kalau ada) karena setengah dari harta bersama itulah yang merupakan harta miliknya suami yang nanti setelah dikeluarkan untuk membayar wasiat akan dibagi di antara ahli waris, termasuk ibu sebagai isteri masih berhak mendapat ¼ bagian sebagai ahli waris dari harta gono gini-nya suami ibu, karena pewaris tidak mempunyai anak/keturunan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 12:
… وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ …. [النسآء (4): 12]
Artinya: “… Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu”. [QS. an-Nisa’ (4) ayat 12]
Setelah diambil oleh isteri sebesar seperempat (1/4) bagian, sisanya diberikan kepada saudaranya pewaris sebagai ahli waris ‘asabah, dalam hal ini saudara mendapat tiga perempat (3/4) bagian. Hal ini sebagaimana diatur dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 176:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ … [النسآء (4): 176]
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah), katakanlah “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudari perempuan, maka bagi saudarinya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya , dan saudaranya yang laki-laki mempusakai harta peninggalan saudara/saudarinya jika ia tidak mempunyai anak…” [QS. an-Nisa’ (4) ayat 176].
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa apabila seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai seorang saudari perempuan sekandung atau sebapak, maka bagian saudarinya setengah bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, apabila almarhum hanya mempunyai saudara laki-laki sekandung atau sebapak, maka saudaranya itu berhak mewarisi dari harta peninggalan saudara atau saudarinya yang meninggal. Hanya saja dalam ayat di atas tidak disebutkan secara eksplisit berapa bagian saudara. Menurut hukum Islam karena saudara dalam mewarisi tidak disebutkan bagiannya, maka ia termasuk ahli waris ‘asabah yang berhak memperoleh bagian sisa apabila bersama dengan ahli waris zawu al-furud atau menerima semua harta peninggalan apabila tidak ada ahli waris zawu al-furud. Apabila hal ini dikaitkan dengan pembagian harta peninggalan suami ibu, karena ada ahli waris ashabul furud yaitu ibu sendiri sebagai isteri yang berhak mendapat seperempat (1/4) bagian, maka bagian seorang saudara laki-lakinya almarhum adalah sisanya, yaitu tigaperempat (3/4) bagian. Oleh karena almarhum ada meninggalkan wasiat, seperti dijelaskan di atas bagian ibu ¼ bagian dan bagian saudara sebesar ¾ bagian adalah setelah dikeluarkan terlebih dahulu untuk membayar wasiat sebesar 1/3.
***
FATWA TENTANG PEMBAGIAN WARISAN (3)
Pertanyaan Dari:
Bapak A. Rustayim Mesier,
Ketua Cabang Muhammadiyah Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Jawa Barat
Pertanyaan:
Bibi/Tante saya mempunyai anak, salah satunya meninggal dunia, meninggalkan isteri dan anak-anaknya. Di samping isteri dan anak-anak, dia meninggalkan harta gono-gini berupa harta kekayaan. Mohon penjelasan berapa bagian para ahli waris. Menurut ustadz di tempat mereka tinggal, bahwa ibunya (Bibi/Tante) saya mendapatkan warisan sebanyak 1/6 %. Mohon bila ada al-Qur’an atau hadisnya saya minta penjelasan.
Jawaban:
Mohon maaf karena suatu dan lain hal pertanyaan Bapak baru bisa diberikan jawaban sekarang. Dalam kasus yang bapak pertanyakan, bahwa pewarisnya adalah anak dari Tante/Bibi bapak dan Tante/Bibi bapak itu sebagai ibu dari pewaris yang meninggal dunia. Dapat juga diketahui bahwa pewaris selain mempunyai ibu juga mempunyai isteri, anak, dan saudara. Dengan demikian ahli waris dari almarhum adalah: ibu, isteri, anak-anak, dan saudara. Kewarisan mereka diatur dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 11, yaitu mengatur bagian warisan anak-anak dan ibu pewaris, dan dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 12 yang mengatur bagian warisan isteri dari suaminya yang meninggal.
Bagian ibu (dalam hal ini Tante/Bibi pak Rustayim Mesier) sebesar seperenam (1/6) bagian, bukan 1/6 % seperti yang bapak sebutkan. Berbeda antara seperenam bagian dengan 1/6 %, kalau seperenam itu dijadikan prosen, kurang lebih 16,66 %. Ibu pewaris mendapat seperenam bagian karena pewaris mempunyai anak. Hal ini sebagaimana diatur dalam firman Allah surat an-Nisa’ (4) ayat 11.
…. وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ …[النسآء (4): 11]
Artinya: “… dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak …” [QS. an-Nisa’ (4) ayat 11].
Dalam ayat di atas disebutkan bapak atau ibunya pewaris mendapat seperenam apabila pewaris mempunyai walad. Kata walad mengandung arti anak atau keturunan selanjutnya dari anak, yaitu cucu, cicit dan seterusnya ke bawah. Dalam kasus yang Bapak Rustayim tanyakan karena pewaris mempunyai anak, maka bagian ibu pewaris adalah seperenam bagian.
Bagian isteri adalah seperdelapan (1/8) bagian atau as-sumun karena pewaris ada mempunyai anak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 12:
… وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ …. [النسآء (4): 12]
Artinya: “… Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu”. [QS. an-Nisa’ (4) ayat 12].
Dalam kasus yang Bapak tanyakan, oleh karena pewaris mempunyai anak maka isteri pewaris mendapat seperdelapan bagian.
Mengenai bagian anak-anak pewaris, karena pak Rustayim tidak menyebutkan lebih lanjut berapa orang anak-anak pewaris dan apa saja jenis kelaminnya, kami mengalami sedikit kesulitan menjelaskannya. Tetapi secara garis besarnya dapat kami jelaskan sebagai berikut. Apabila anak-anak itu laki-laki dan perempuan, maka mereka sebagai ‘asabah bil ghair (atau sebagai qarabah menurut istilah yang lain) dan mendapat sisa setelah diambil bagian ibu dan isteri pewaris, kemudian dibagi di antara anak-anak dengan ketentuan bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Apbila anak pewaris itu laki-laki saja, ia sebagai ‘asabah binnafsi (sebagai qarabah) dan mendapat sisa setelah diambil bagiannya ibu dan isteri, kalau hanya seorang sisa tersebut merupakan hak ia semuanya, tetapi kalau anak laki-laki itu lebih dari seorang, maka dibagi rata di antara mereka. Apabila anak-anak pewaris itu perempuan dan mereka dua orang atau lebih, bagian mereka adalah duapertiga (2/3) bagian, lalu dibagi rata di antara mereka. Apabila anak pewaris itu perempuan dan hanya satu orang, bagiannya adalah setengah (1/2) bagian. Bagian anak-anak pewaris seperti yang disebutkan tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 11:
يُوصِيكُمُ الله فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُ نْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ …[النسآء (4): 11]
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan dua orang atau lebih maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta”. [QS. an-Nisa’ (4) ayat 11].
Perlu kami jelaskan bahwa apabila anak pewaris itu perempuan saja, baik seorang maupun beberapa orang, yang dalam kasus ini mewarisi dengan ibu dan isteri pewaris, setelah harta peninggalan dibagi di antara mereka akan ada sisa. Oleh karena tidak ada ahli waris ‘asabah yang bagiannya adalah sisa setelah dibagikan kepada para ahli waris zawil furud atau ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan (dalam contoh ini yaitu ibu, isteri, dan anak perempuan), maka sisanya ini harus dibagi kembali kepada para ahli waris sesuai dengan besar kecilnya fard atau bagian mereka. Pengembalian sisa lebih kepada para ahli waris sesuai dengan bagiannya tersebut dalam hukum kewarisan Islam disebut dengan istilah radd (الرد).
Gambaran perhitungannya sebagai berikut:
Diandaikan harta peninggalan pewaris, dalam hal ini separo dari harta gono gini ditambah harta bawaannya (kalau ada) senilai Rp. 480.000.000,
- Apabila anak-anak pewaris itu laki-laki dan perempuan perhitungannya sebagai berikut:
Ibu 1/6 bagian, isteri 1/8 bagian, anak laki-laki dan anak perempuan ‘asabah bil ghair. Asal masalahnya 24. Ibu mendapat 1/6 x 24 = 4 bagian, isteri mendapat 1/8 x 24 = 3 bagian. Anak laki-laki dan anak perempuan: 24 bagian – (4 + 3) = 17 bagian. Dari harta peninggalan Rp. 480.000.000, ibu memperoleh 4 x Rp. 480.000.000 : 24 = Rp. 80.000.000, isteri memperoleh 3 x Rp. 480.000.000 : 24 = Rp. 60.000.000. Anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh 17 x Rp. 480.000.000 : 24 = Rp. 340.000.000. Selanjutnya Rp. 340.000.000 dibagi antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sehingga bagian mereka harus dibagi tiga bagian, dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian lagi untuk anak peremuan. Dengan demikian anak laki-laki mendapat 2 x Rp. 340.000.00 : 3 = Rp. 226.666.667 dan bagian anak perempuan adalah 1 x Rp. 340.000.00 : 3 = Rp. 113.333.333,-
Apabila anak laki-lakinya dua orang dan anak perempuan satu orang, maka harus dibagi lima bagian, empat bagian untuk dua orang anak laki-laki dan satu bagian lagi untuk untuk satu anak perempuan. Seperti itulah pola pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Apabila anak pewaris itu hanya anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki dan anak perempuan di atas, semuanya diberikan kepada anak laki-laki sebagai ‘asabah. Apabila anak laki-laki lebih dari seorang, maka dibagi rata di antara mereka.
- Apabila anak-anak pewaris itu hanya perempuan dan mereka dua orang atau lebih, bagian mereka adalah duapertiga (2/3) bagian. Pembagiannya sebagai berikut: Ibu 1/6 bagian, isteri 1/8 bagian, dua orang anak perempuan 2/3 bagian. Asal masalahnya 24. Ibu mendapat 1/6 x 24 = 4 bagian, isteri mendapat 1/8 x 24 = 3 bagian, dua anak perempuan 2/3 x 24 = 16 bagian. Jumlah bagian ibu, isteri, dan dua anak perempuan adalah 4/24 + 3/24 + 16/24 = 23/24. Dengan demikian masih ada sisa harta warisan sebesar 1/24 bagian. Sisa lebih ini harus dibagikan lagi (di-radd-kan) kepada para ahli waris sesuai dengan besar kecilnya fard (bagian) mereka. Untuk keadilan semua ahli waris harus menerima radd, termasuk isteri. Oleh karena semua ahli waris berhak menerima radd maka cara pembagiannya adalah harta peninggalan dibagi dengan jumlah bagian ahli waris yang lebih kecil dari asal masalah, dalam contoh ini jumlah bagian para ahli waris adalah 23. Dengan cara perhitungan seperti ini sudah termasuk perhitungan radd Maka pembagiannya sebagai berikut: Ibu memperoleh 4 x Rp. 480.000.000 : 23 = Rp. 83.478.261, isteri memperoleh 3 x Rp. 480.000.000 : 23 = Rp. 62.608.696, dan dua anak perempuan memperoleh 16 x Rp. 480.000.000 : 23 = Rp. 333.913.043,- Bagian untuk anak-anak perempuan selanjutnya dibagi rata di antara mereka.
- Apabila anak pewaris itu perempuan dan ia hanya satu orang, ia mendapat 1/2 bagian. Dalam hal inipun akan terjadi radd, perhitungannya sebagai berikut: Ibu 1/6 bagian, isteri 1/8 bagian, satu orang anak perempuan 1/ 2 bagian. Asal masalahnya 24. Ibu mendapat 1/6 x 24 = 4 bagian, isteri mendapat 1/8 x 24 = 3 bagian, satu anak perempuan ½ x 24 = 12 bagian. Jumlah bagian ibu, isteri, dan dua anak peremouan adalah 4/24 + 3/24 + 12/24 = 19/24. Dengan demikian masih ada sisa harta warisan sebesar 5/24 bagian. Sisa ini dibagikan lagi (di-radd-kan) kepada para ahli waris sesuai dengan besar kecilnya fard (bagian) mereka. Pembagiannya sebagai berikut: Ibu memperoleh 4 x Rp. 480.000.000 : 19 = Rp. 101.052.631, isteri memperoleh 3 x 480.000.000 : 19 = Rp. 75.789.474,-, dan anak perempuan mendapat 12 x Rp. 480.000.000 : 19 = Rp. 303.157.895
Adapun mengenai harta gono gini, dalam jawaban kami terhadap beberapa pertanyaan sebelum ini telah dikemukakan. Pada esensinya, Islam bisa menerima urf Indonesia tentang harta gono gini dan pembagiannya, yaitu apabila suami isteri bercerai atau apabila salah satunya meninggal dunia, harta gono gini dibagi dua bagian, sebagian untuk suami dan sebagian lagi untuk isteri. Oleh karena dalam kasus yang Bapak Rustayim tanyakan, yang dimaksud dengan harta peninggalan pewaris ialah separoh dari harta gono gini ditambah harta asal atau harta bawaan pewaris (kalau ada). Untuk itu silahkan Bapak membaca beberapa fatwa yang ada sebelum ini.
***