Pikiran-Pikiran tentang Risalah Akhlak Filosofis
Oleh. Ahwan Fanani (MTT PWM Jateng)
Halaqah Pra Munas Tarjih XXXI di Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan tanggal 29 Februari – 1 Maret sangat strategis untuk menyongsong era 4.0 Langkah Majelis Tarjih ini sangat penting mengingat di zaman yang bergejolak ini, warga persyarikatan membutuhkan pegangan etik yang lebih kuat.
Murtadla Mutahhari menegaskan bahwa tidak ada satu moral yang tidak memiliki akar pada agama. Dalam Islam, akhlak adalah bagian integral syariat Islam dalam pengertian luas (keseluruhan utuh ajaran Islam). Syariat sebagai keseluruhan ajaran Islam bisa diringkas dalam Iman – Islam – Ihsan yang kadang disebut dengan wilayah akidah, syariah (dalam pengertian sempit) dan akhlak.
Pada Munas di Jakarta tahun 2000, Majelis Tarjih sudah mengakomodasi wilayah ihsan dan akhlak-tasawuf itu dalam pendekatan irfani, yaitu ihsan atau perasaan dekat kepada Allah dalam menjalankan ibadah dan muamalah sehingga selalu memilih cara yang lebih baik sebagai wujud kecintaan kepada Allah.
Risalah itu bisa dibaca dalam kerangka keprihatinan di kalangan Bapak/ Ibu pimpinan dan ulama di Majelis Tarjih bahwa akhlak kita seringkali ditujukan untuk memenuhi kebutuhan duniawi semata. Kita didorong berinfaq hanya sekedar agar dapat balasan di dunia atau mengaji sekedar agar berprestasi di dunia semata.
Hal demikian tidak dimaksudkan untuk mengabaikan urusan dunia karena Muhammadiyah telah menegaskan bahwa tugas kita, menurut Alquran, adalah menjadi khalifah di bumi, yaitu sebagai hamba Allah yang diperintahkan untuk memakmurkan dunia. Oleh karena itu Muhammadiyah mengambil visi kemajuan, bukan hanya bagi warga Muhammadiyah, tetapi juga untuk umat Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia sebagai esensi rahmatan lil alamin.
Aspirasi mengenai rumusan akhlak Islami itu tidak lahir dari ruang kosong. Pokok-pokok kesadaran mengenai akhlak sudah menjadi bagian dari dokumen resmi Muhammadiyah. Pernyataan mengenai akhlak itu muncul di Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang menyatakan bahwa: “Masyarakat yang sejahtera, aman, damai dan makmur hanya dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan, gotong royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu.”
Pernyataan itu mengindikasikan bahwa akhlak adalah prasyarat untuk mencapai masyarakat sejahtera. Pernyataan senada bisa ditemukan dalam Kepribadian Muhammadiyah; dalam Matan Keyakinan dan Citation-Cita Hidup Muhammadiyah (yang menyatakan bahwa akhlak adalah salah satu bidang kerja Muhammadiyah untuk pelaksanaan ajaran Islam), dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (yang menuntut warga Muhammadiyah untuk meneladani perilaku Rasulullah dalam mempraktikkan akhlak mulia).
Dalam Halaqah telah tersedia draft Risalah Akhlaq Filosofis yang disusun oleh para ulama dan ilmuwan Muhammadiyah. Mereka mencoba menggali rumusan-rumusan filisofis akhlak Islam itu dari konsep-konsep Alquran (nafs, lubb, birr, qalb, dll); dari penjelasan para ulama Islam, seperti ala-Ghazali dan Ibn Maskawaih; dan dari konsepsi etik yang berkembang dalam filsafat maupun dari karya-karya ulama Muhammadiyah, seperti Hamka dan Buya Yunahar Ilyas.
Ada beberapa model susunan akhlak filosofis yang muncul dalam diskusi.
1. Akhlak berbasis tasawuf dengan orientasi pembersihan diri dan hati (al-Ghazali) atau pembersihan pikiran dari kerancuan dan diri dari nafsu (Ibnu Qayyim).
2. Akhlak berbasis kesadaran rasional seperti pengembangan kualitas substantif manusia untuk menjadi manusia adil (Ibnu Maskawaih dalam Tahdzib al-Akhlaq) atau mengembangkan adab dan keutamaan manusia berdasarkan akalnya yang dituntun oleh wahyu dan hadis (Abu Hasan al-Mawardi dalam Adab al-Dunya wa ala-Din).
3. Akhlak yang bersifat teo-antroposentris.
Muncul pikiran dalam Halaqah bahwa Risalah Akhlak Filosofis yang disusun Majelis Tarjih didasarkan atas masalah nyata yang dihadapi warga, bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dengan landasan tauhid dan ihsan. Konsep kebahagiaan itu telah diuraikan oleh Buya Hamka dalam Tasawuf Modern.
Namun, masih ada beberapa pekerjaan rumah, seperti apakah ihsan yang dimaksud Muhammadiyah itu sama dengan pengertian hulul (manunggaling kawula-Gusti) ala ala-Hallaj; mukasyafah (penyingkapan tabir ilahi dalam diri) ala al-Ghazali; ataukah zuhud ala Hasan Bashri, Ahmad bin Hanbal, dan para ahli hadis. Ihsan ala zuhud ini di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Suparman Syukur sebagai tafsir irfani, yaitu al-zuhud dan al-wara.
Untuk perbaikan naskah Risalah, para peserta halaqah dan jawaban para narasumber sampai kepada beberapa pikiran:
1. Perlunya pendahuluan bagi Risalah Akhlaq Filosofis yang memuat asbab al-nuzul (latar belakang) penyusunan Risalah sehingga arah dari Risalah itu lebih jelas
2. Pengaitan Risalah tersebut dengan berbagai dokumen Majelis Tarjih dan PP serta pemikiran para ulama Muhammadiyah agar Risalah tidak menjadi produk lepas dan asing, menjadi satu kesatuan pemikiran dan semangat dari pandangan-pandangan dasar Persyarikatan.
3. Perlunya penulisan rujukan Alquran dan hadis secara jelas agar rumusan filosofis yang ada memiliki kaitan dengan nash dan penghalusan tata tulis draft.
4. Penyusunan sistematika yang menggambarkan keutuhan alur berpikir.
5. Kejelasan posisi Risalah itu dalam tata putusan atau produk Tarjih dan siapa kejelasan siapa audiensnya.
6. Risalah berisi rumusan-rumusan mendasar dan lembam sehingga selalu aktual serta bisa ditafsirkan oleh generasi-generasi selanjutnya.
Tugas demikian tidaklah ringan. Namun, para peserta dan narasumber halaqah menyadari arti penting Risalah tersebut bagi warga Muhammadiyah dan bagi umat manusia.