Pertanyaan Dari:
Alif Furqoni A.W., IMM Komisariat Universitas Brawijaya Malang
(disidangkan pada hari Jum’at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Saya mau tanya, bagaimana hukumnya membaca ‘shadaqallahu al’adzim’ setelah tilawah al-Quran? Sebab ada suatu harakah yang berpendapat bahwa membaca itu setelah tilawah termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Mohon penjelasannya, terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam Wr. Wb.
Terima kasih kami haturkan kepada saudara Alif Furqoni, apa yang saudara sampaikan sesungguhnya mewakili pertanyaan banyak kalangan dari warga Muhammadiyah. Pertanyaan saudara sesungguhnya pernah pula diajukan ke Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan jawabannya telah dimuat pada Buku Tanya Jawab Agama Jilid I (hal 16). Saudara kami persilahkan untuk merujuknya. Berikut ini tambahan jawaban dari kami.
‘Shadaqallahul-’adzim’ (صَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُ) maknanya adalah “telah benarlah Allah yang Maha Agung”. Memang tidak ditemukan adanya ayat al-Qur’an atau hadis yang menerangkan secara eksplisit (sharih) praktek atau perintah Nabi Muhammad saw untuk mengucapkan lafal tertentu sesudah membaca al-Qur’an. Al-Qur’an hanya mengajarkan bahwa sebelum membacanya kita terlebih dahulu harus mengucapkan lafal ta’awudz. Dalam surat an-Nahl ayat 98, Allah berfirman;
.فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
[النحل، 16: 98]
Artinya: “Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk”. [QS. an-Nahl (16): 98]
Namun demikian, praktek yang berlaku umum di tengah masyarakat adalah mengucapkan lafal “shadaqallahul-‘azhim” seperti yang saudara tanyakan. Dalam penelusuran kami, sesungguhnya penggunaan lafal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Para mufasir dalam beberapa kesempatan setelah menerangkan tafsir suatu ayat, terkadang menimpali tafsirannya dengan ucapan “shadaqallahul-‘azhim”. Jika saudara memiliki program “al-Maktabah asy-Syamilah” kemudian memasukkan kalimat tersebut di himpunan kitab-kitab tafsir, saudara akan menemukan bahwa lafal tersebut digunakan oleh banyak mufasir di berbagai tempat. Misalnya, sebagai contoh digunakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, Ibnu Ajibah dalam Tafsir Ibnu ‘Ajibah, asy-Syanqithi dalam Adlwahul-Bayan dan Sayid Qutb dalam Fi Zhilalil-Qur’an. Menurut hemat kami, lafal ini digunakan sesungguhnya sebagai bentuk penghormatan (al-Qurtubi: I/27) dan penegasan (afirmasi) komitmen seorang muslim akan kebenaran berita dan kandungan al-Qur’an yang difirmankan Allah Swt.
Dalil implisit (ghairu sharih) yang umumnya dijadikan sandaran untuk bacaan ini adalah al-Qur’an surat Ali Imran ayat: 95.
.قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
[آل عمران، 3: 95]
Artinya: “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS. Ali Imran (3): 95]
Ayat ini jika dilihat dari konteksnya memang berbicara tentang Bani Israil. Melalui ayat tesebut, Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah Swt untuk menegaskan kepada Bani Israil bahwa al-Qur’an adalah benar (akurat) tentang kisah-kisah yang ia bawa mengenai Bani Israil di masa lalu. Namun, ber-istidlal (mengambil dalil) dari ayat ini bukannya sama sekali tidak dibenarkan. Dalam hukum tajwid dibolehkan membaca ayat ini dengan berhenti setelah lafal “Allah”, atau bisa disebut waqf jaiz (tempat yang dibolehkan berhenti). Jika kita berhenti di sini, maka ayat ini dapat melahirkan makna yang independen dari ayat sebelumnya dan lafal sesudahnya. Sehingga makna umumnya adalah ucapan “shadaqallahu” tidak mesti diucapkan hanya di depan Bani Israil yang meragukan kebenaran al-Qur’an, melainkan dapat dibaca kapanpun jika ia dibutuhkan. Adapun penambahan lafal ‘al-‘azhim’ dalam shadaqallahul–‘azhim adalah sebagai bentuk ta’zhim (pengagungan) terhadap Allah Swt.
Berangkat dari keterangan di atas, maka pendapat yang dapat kita pegang adalah lafal “shadaqallhul-‘azhim” boleh diucapkan kapan pun, terutama setelah mendengar informasi yang berhubungan dengan kebenaran informasi yang dibawa al-Qur’an. Demikian juga pengucapannya setelah membaca al-Qur’an. Ia dapat diterima dan bukan merupakan bid’ah (mengada-ada) dalam urusan agama. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini adalah pelafalan kalimat tersebut tidak boleh diiringi dengan keyakinan bahwa ia adalah sunah Nabi saw yang diajarkan secara khusus, apalagi menganggapnya sebagai kewajiban agama. Sehingga, orang yang mengakhiri bacaan al-Qur’an tidak harus membaca bacaan ini dan orang yang tidak membaca bacaan ini setelah membaca al-Qur’an juga tidak menyalahi tuntunan agama. Selain itu, catatan lainnya adalah hendaknya lafal ini tidak diucapkan setelah membaca ayat al-Qur’an di dalam ibadah salat, karena salat adalah ibadah mahdlah yang kita hanya diperkenankan mengikuti petunjuk agama dalam pelaksanaannya.
Wallahu a’lam bish-shawab. *M-Rf)
Dalam terjemahan QS.3.ayat 95 kurang kata “tidak” … termasuk orang-orang musyrik.
Sebenarnya sama saja, sebab sudah ada kalimat dan “Bukanlah” ia termasuk orang-orang musyrik.
1. Arti versi pertama
“Katakanlah (Muhammad), “Benarlah (segala yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang musyrik.”
(QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 95)
2. Arti versi kedua
Artinya: “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan “bukanlah” dia termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS. Ali Imran (3): 95]