Etalase

Berqurban, Memanusiakan dan Memajukan oleh Dr. Ustadi Hamsah, M.Ag

Khutbah Shalat Iduladha 10 Zulhijah 1443 H/9 Juli 2022 M

Assalaamu’alaikum wr. wb.

اَلْحَمْدُ للهِ الْقَائِلِ (وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً) وَأَشْهَدُ أّنْ لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ أَمَّا بَعْدُ
فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

Hadirin Yang Dirahmati Allah …

Pada pagi ini kita berkumpul di tempat yang barakah ini semata-mata karena panggilan Allah, bukan karena yang lain-lain.

Dalam merayakan ‘Idul Qurban ini, marilah kita petik beberapa pelajaran yang terkandung di dalamnya. Tentu, tujuannya adalah untuk menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam mengarungi kehidupan secara individu atau pun bermasyarakat dalam mengabdi dan memupuk ketakwaan kepada Allah.

Hadirin yang dirahmati Allah…

Ajaran qurban (sacrifice) dalam Islam merupakan bukti transformasi kesadaran sejarah manusia. Qurban adalah revolusi kemanusiaan. Islam yang dibawa para nabi dan rasul telah mengubah dan mentransformasikan ajaran menjadi lebih berkemanusiaan, termasuk dalam berkurban (sacrifice). Pada pagi yang indah ini, saya akan sampaikan tiga pelajaran dari qurban yang merupakan transformasi kesadaran kemanusiaan yang patut kita renungkan,

  1. Qurban: dari offering (sesaji-persembahan) ke surrender (kepasrahan, ketundukan)

Sembelihan yang telah kita laksanakan merupakan bentuk ketundukan dan kedekatan kita kepada Allah, maka ibadah ini disebut dengan qurban yang atinya “dekat”. Dengan demikian qurban bukanlah korban! Kita harus membedakan dua istilah itu, ber-qurban berarti kita mendekat kepada Allah dengan berbagai ketundukan dan ketakwaan yang disimbolkan melalui penyembelihan hewan kurban. Ber-qurban artinya menjadikan apa saja yang telah dianugerahkan oleh Allah untuk semata-mata untuk mendekatkan diri (qurban) kepada Allah semata. Sebaliknya, kalau ibadah ini kita artikan sebagai “korban” maka dengan nikmat dan anugerah Allah yang sedemikian besar tidak cukup bagi kita mengorbankan satu ekor sapi atau unta, atau kambing untuk mengimbangi anugrah nikmat yang begitu banyak tersebut. Oleh karena itu, dalam ber-qurban Allah tidak membutuhkan darah dan daging hewan qurban melainkan “nawaitu” kita, niat kita, ketakwaan kita, dan ketundukan kita kepada Allah semata. Allah berfirman,

Lan yanâlallâh luhûmuhâ wa dimâ’-uhâ walâkin yanâluhut taqwâ
minkum, kadzâlika sakharahâ lakum litukabbirullâha ‘alâ mâ
hadâkum, wa basyiril muhsinîn.

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (QS. Al-Hajj: 37)

Penjelasan ini mengantarkan kita pada pemahaman bahwa qurban dalam Islam bukan persembahan darah dan daging binatang kepada Allah, namun pernyataan iman dan ketundukan kita kepada Allah dengan cara menyisihkan sebagian rezeki yang telah diberikan oleh Allah kepada kita yang berupa binatang untuk disembelih, lalu kita makan, kita simpan, dan kita bagikan kepada orang lain. Mengapa kita mau menyisihkan sebagian harta kita untuk dibelikan hewan udlhiyah dan kemudian kita sembelih? Jawabnya adalah karena hal ini merupakan bentuk ketaatan kita pada perintah Allah dalam rangka menjadi orang yang tidak terputus (selalu tersambung) barakah hidup kita dari Allah. Allah mengatakan dalam surah al-Kautsar:

Innâ a’thainâ kal kautsar
Fashalli li rabbika wanhar
Inna syâni`aka huwal abtar

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.

Daging binatang yang telah disembelih dipersilahkan untuk dimasak, dimakan, disimpan, dan dibagikan kepada sanak saudara di sekeliling kita. Inilah ajaran qurban dalam Islam, yang sangat berbeda dengan sesaji atau persembahan (offerings) yang keseluruhan binatang/apapun yang dikorbankan diserahkan kepada yang disembah. Inilah hal yang membedakan sistem sacrifice dalam Islam dengan sistem keyakinan dan kepercayaan lainnya.

  1. Qurban: transformasi dari demonic (kekejaman) ke humanity (kemanusiaan)

Ibadah Qurban yang kita lakukan hari ini adalah bentuk ittiba’ (mengikuti) syari’at Nabiullah Ibrahaim ketika diperintahkan untuk berkurban dengan menyembelih Ismail, putranya. Peristiwa itu dimulai dari awal kehidupan Ibrahim sampai datangnya mimpi untuk menyembelih Ismail. Kemudian dilanjutkan dengan kisah pembangunan ka’bah dan kota Makah. Allah menerangkan yang artinya,

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al-shaffat [37]: 102)

Kisah itu diabadikan oleh Allah untuk pelajaran dan ikutan bagi generasi sesudahnya,

Wa taraknâ ‘alaihi fil âkhirînz
Wa salâmun ‘ala Ibrâhîm

Kami abadikan Ibrahim itu untuk generasi yang datang kemudian Kesejahteraanlah bagi Ibrahim
(QS. As-Shaafat: 108-109)

Keseluruhan episode kehidupan Ibrahim tersebut kemudian dijadikan tonggak ajaran haji (manasik haji) yang pada hari ini puncaknya, yakni wukuf di Arafah. Para hujjâj (jamaah haji) dari seluruh dunia berkumpul di Padang Arafah, bertafakur, berzikir, dan bermunajat, pasrah total kepada Allah sebagaimana sesosok jenazah terbungkus kain putih (ihram). Hanya mengharap ridla dan kasih sayang Allah. Pada hari itu hanya Allah saja yang Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Dahsyat. Manusia hanya kecil dan lemah. Di Arafah inilah semuanya tunduk, sederajat, dan sama di hadapan Allah. Hanya ketakwaan saja yang membedakan mereka di hadapan Allah.

Kisah Ibrahim dalam menunaikan “perintah” untuk menyembelih Ismail, yang kemudian Ismail ditukar dengan gibas yang besar (QS. Al-Shaffat [37]: 107), memberi pelajaran kepada kita bahwa Islam, agama tauhid ini, memberikan transformasi pemikiran dan kesadaran akan pentingnya humanity, kemanusiaan, kepada seluruh umat manusia. Bagaimana mungkin ini terjadi?

Hadirin yang dirahmati Allah …

Sebelum datangnya agama tauhid, agama hanif, yakni Agama Islam, sebagian besar bangsa manusia melakukan “qurban” dengan cara menyembelih dan mempersembahkan darah dan daging manusia bagi sesembahan mereka, berupa seorang gadis perawan, atau seorang lelaki perjaka. Tujuannya untuk menolak kesengsaraan atau wabah, atau tujuan-tujuan materiil lainnya. Sistem keyakinan dan keagamaan seperti ini adalah sistem demonic religion, keyakinan yang anti kemanusiaan! Islam tidak begitu!

Agama tauhid datang sejak Nabiullah Adam diajarkan di dalamnya ibadah qurban dengan binatang, bukan manusia! Kisah ini terekan dalam riwayat Qabil dan Habil. Kebiasaan berkurban dengan binatang ini pun dalam sejarahnya akhirnya bergeser menjadi keyakinan demonic kembali dengan persembahan darah dan daging manusia. Oleh karena itu, Allah kemudian menyempurnakan qurban dengan memberikan gambaran pada kisah Ibrahim dan Ismail sebagaimana di atas. Kisah itu diawali dengan diperintahkannya menyembelih Ismail, anak lelaki perjaka, namun, ketika telah sempurna persiapan penyembelihan, Allah menggantinya dengan gibas yang besar. Inilah transformasi besar kemanusiaan yang diajarkan Islam melalui ibadah qurban ini. Supaya manusia tahu, bahwa humanity adalah pilah ajaran Islam yang lurus!

Lafaz wa fadainâ hu bi dzibhin ‘adhîm (kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar) dalam al-Qur’an di atas memberi gambaran bahwa Allah mengajarkan qurban bukan dengan manusia namun dengan binatang. Ini merupakan sebuah “transformasi” besar yang menyadarkan bahwa manusia adalah puncak kemuliaan makhluk, sehingga harus dimuliakan sebagaimana Allah telah memuliakannya. Peristiwa Ibrahim ini pun menjadi tonggak sistem keyakinan dan keberagamaan yang humanis, manusia adalah pelaku bukan objek. Inilah Islam, inilah kebenaran hakiki itu!

Pesan yang dapat kita tangkap adalah bahwa humanity (kemanusiaan) dalam Islam adalah puncak kesadaran sebagai manusia. Kesadaran ini pada akhirnya harus melandasi sikap dan perilaku kita kepada manusia lainnya, yakni membangun relasi antar manusia secara humanis. Menciptakan kedamaian dan rahmat bagi sekalian alam.

  1. Qurban: dari transaction (transaksi) ke piety (kesalehan)

Hadirin yang dirahmati Allah …

Seluruh ibadah kepada Allah selalu diorientasikan menuju ketakwaan, seperti sholat, puasa, zakat, haji, pernikahan, pemerintahan, dan lain-lain serta yang hari ini kita rayakan adalah ibadah qurban. Semuanya berujung pada ketakwaan., pada kesalehan, dan pada ketaatan mutlak kepada Allah semata!

Namun, terkadang kita semua bertanya, “Apa sebenarnya ketakwaan itu? Seperti apa bentuknya? Mengapa semua berpesan supaya bertakwa?”

Takwa merupakan sebuah upaya untuk menciptakan hidup berkemajuan, yakni kemajuan yang diiringi oleh kesadaran tertinggi akan kehadiran Allah dalam keseharian kita, baik sendiri atau bersama-sama. Kalau kita mendengar dari para ulama, para kyai, para ustad, mengatakan bahwa, “takwa adalah menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangannya”, maka pengertian itu tidak salah, tetapi perlu diperjelas dan diperdalam lagi supaya mengantarkan kita pada pemahaman dan kesadaran yang mendorong untuk kemajuan. Kalau pengertian takwa hanya berhenti pada pengertian saja (yangtidak mengentarkan pada hidup berkemanjuan), maka pengertian itu menjadi kering dan hampa. Kita butuh pemahaman tentang takwa yang hangat dan transformatif!

Hadirin yang dirahmati Allah …

Lantas apa dan bagaimana takwa yang transformatif itu?

Takwa adalah bentuk kesadaran tertinggi yang kita miliki, yakni kesadaran bahwa Allah tidak jauh dari kita, Allah selalu menyertai kita, Allah dekat dengan kita, Allah melihat dan mendengar kita, Allah membimbing kita. Allah hadir dalam keseharian kita. Hadir dalam kesadaran kita, kita akan selalu sadar bahwa Allah melihat, mengawasi, mendengar seluruh perbuatan kita. Inilah esensi ketakwaan!

Jadi, ketika kita berqurban, kita berusaha mendekat sedekat-dekatnya kepada Allah supaya kita selalu ingat bahwa Allah juga selalu menyertai kita kapan pun di mana pun. Dengan dasar inilah Rasulullah bersabda,

اتق الله حيثما كنت  وأتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن


Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada dan iringilah
perbuatan burukmu dengan perbuatan baik (karena perbuatan baik itu akan menghapus dosa dari perbuatan buruk), dan bergaullah dengan manusia lain dengan akhlak yang baik … (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Dengan kesadaran takwa yang kita bangun melalui ibadah qurban kita itu, akan melahirkan sikap yang ihsan, sebuah sikap yang akan memberikan kedamaian bagi semuanya. Karena Islam adalah rahmah bagi sekalian alam, maka misi itu harus kita usung dengan semangat ihsan. Ihsan dalam berbagai hal, termasuk dalam memperlakukan binatang sembelihan seperti sekarang ini. Rasulullah bersabda,

عن أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:إن الله كتب الإحسان على كل شيءفإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته  (رواه مسلم)


Dari Abu Ya’la Syidad bin Aus Rodhiyallahu ‘anhu dari Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,” Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan [baik] dalam segala sesuatu, maka jika engkau membunuh, maka hendaknya engkau membunuh dengan baik, dan jika engkau menyembelih [sembelihan], maka hendaklah engkau menyembelih dengan baik, dan hendaknya seseorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya”
[HR Muslim]

Jamaa’ah yang dirahmati Allah

Bagaimana membina kesadaran takwa tersebut supaya bermakna dan membawa kemajuan kita?

Marilah kita secara perlahan memulai dengan memperhatikan seluruh peristiwa di sekitan kita, termasuk kewajiban qurban ini. Allah telah membentangkan seluruh tanda kekuasaan-Nya supaya kita selalu dekat dengan Allah dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah.

Sanurîhim âyâtina fil âfâ-qi wa fi anfusihim hatta yatabayyana lahum annahul haq. Awalam yakfi bi Rabbika annahû ‘alâ kulli syai-in syahîd.

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fushilat: 53)

Tanda-tanda kekuasaan Allah itu akan mengantarkan kepada kesadaran bahwa Allah itu Haqq adanya dan selalu menyaksikan keberadaan dan aktifitas kita sehari-hari. Hidup kita selalu dilingkupi dengan berbagai tanda (ayat) kebesaran Allah, baik dalam diri kita maupun alam lingkungan yang berada di luar diri kita. Kesadaran ini akan membawa kita bahwa Allah dekat dengan kita melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah Maha Dekat, itulah esensi ketakwaan itu.

Dalam konteks keilmuan, ketakwaan itu terungkap dalam bentuk yang paling esensi dalam diri kita sendiri. Namun, manusia terlalaikan dengan dorongan-dorongan negatif. Ketika terbiasa menuruti dorongan-dorongan negatif itu manusia akan semakin menjauh dari Allah dan hilanglah ketakwaan itu.

Lantas, bagaimana kita bisa menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai wujud kedekatan kita kepada Allah?

Hadiri yang dirahmati Allah …

Berikut ini saya sampaikan beberapa tanda kekuasaan Allah yang ada dalam diri kita sebagai wujud kedekatan Allah pada kita …

Seorang ahli Genetika Molekuler dari Amerika Prof. Dean Hamer setelah meneliti lebih dari 2000 sampel DNA dan dia menemukan terdapat kode gen VMAT2 yang menstimulasi manusia untuk “menyatu” dengan Tuhan. Menurut Prof. Dean Hamer kode genetik ini akan memberikan stimulasi manusia untuk berkehidupan spiritual dan relijius yang kemudian disebut dengan “God gene” –gen ketuhanan.

Dari penemuan Prof. Dean Hamer ini semakin nyata senyata-nyatanya bahwa Allah telah memperlihatkan tanda kekuasaan-Nya dalam diri kita dan kita ternyata sangat dekat dengan Allah dengan kehidupan relijius dan spiritual kita. Namun, karena terlampau kita menuruti dorongan negatif maka potensi ketuhanan itu tidak dihiraukan bahkan diingkari.

Kemudian dalam Ilmu Neurologi sekumpulan ahli yang dipimpin oleh Prof. Vilayanur Ramachandaran menemukan gelombang neurotik yang mendorong manusia untuk berkehidupan relijius yang disebut dengan “God Spot” atau “God Module”. Penemuan ini memberikan gambaran yang jelas bahwa Allah selalu menghendaki kita untuk menyadari bahwa Dia –Allah selalu bersama kita, selalu menyertai kita bahkan kedekatan Allah kepada kita melebihi kedekatan urat leher kita sendiri. Allah berfirman,

Wa laqad khalaqnal insâna wa na’lamu mâ tuwaswisu bihî nafsuhû, wa nahnu aqrobu ilaihi min hablil warîd

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (QS. Qaf: 16).

Dengan memperhatikan seluruh bentangan tanda-tanda kekuasaan Allah itu maka marilah kita selalu mendekat sedekat-dekatnya kepada Allah melalui apapun yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita, dan dalam berbagai bentuk aktifitas kita.

Hadirin yang dirahmati Allah …

Ketika kita telah menyadari bahwa Allah hadir dan mengawasi seluruh perbuatan kita, tibalah saatnya kita mengaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari. Ketakwaan kepada Allah yakni ke-Maha Hadir-an Allah itu ketika kita sadari secara penuh akan melahirkan ethics dan ethos. Ethics akan melahirkan sistem nilai yang positif, bersemangat, motivatif, dan penuh gairah untuk mencapai kemajuan. Etika yang dibangun harus selalu bersandarkan pada nilai-nilai yang ditetapkan oleh Allah. Kemudian ethos akan melahirkan semangat, jiwa mandiri, karakter yang kuat. Etos ini pun selalu berorientasi pada capaian-capaian yang diridlai oleh Allah.

Inilah tahqîqi îmân, yakni keimanan yang melahirkan ketakwaan dan mengantarkan pada kemajuan secara individu dan sosial dengan landasan kesalehan (piety), dan bukan hanya taqlîdi îmân, yakni keimanan yang hanya untuk memenuhi kepuasan pribadi tanpa memperdulikan kehidupan sosial, terlebih bila hanya bernuansa transaksional.

Dengan ethics dan ethos yang dibangun dari ketakwaan, tentu kita akan terhindar dari pemikiran, sikap, dan perbuatan yang negatif karena selalu merasa “dihadiri” oleh Allah. Dengan demikian akan tercipta sebuah masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafûr, sebuah masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, masyarakat yang adil dan makmur dengan berlandaskan asas-asas kemanusiaan dan ketuhanan.

Ibadah qurban kita hari ini adalah awal dan baru permulaan untuk menciptakan masyarakat tersebut dengan memperkuat kesadaran takwa, bukan hanya sekedar daging dan darah hewan. Semoga ibadah qurban kita ini diridali oleh Allah dan dapat meningkatakan kesadaran kita untuk meraih kemajuan di masa mendatang, aamiin.

Marilah kita panjatkan doa kepada Allah semoga seluruh amalan kita diterima dan seluruh kesalahan dan dosa kita diampuni oleh Allah, dan kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang muttaqin

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ

اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ

اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ بَلَدِنَا هٰذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button