Pertanyaan Dari:
Hery Sopari, Desa Cikole, Kec. Cimalaka Sumedang 45353 Jawa Barat.
Instansi: Kantor Kementerian Kehutanan (Balai Taman Nasional Wakatobi)
(disidangkan pada hari Jum’at, 22 Jumadilakhir 1434 H / 3 Mei 2013 M)
Pertanyaan:
Assalamu alaikum w. w.
Mengenai as-Sunnah banyak orang berpendapat bahwa itu adalah sunat Rasul (hukumnya sunnat). Pemahaman saya, as-Sunnah adalah pedoman/petunjuk/manhaj/jalan yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw. Pemahaman saya, as-Sunnah sendiri hukumnya fardhu, dan bisa jadi hukumnya sunat, hal tersebut tergantung penekanan hadisnya. Misalnya hadis, “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Hadis dimaksud merupakan fardhu untuk diikuti. Yang ingin saya tanyakan, sebenarnya hukum syara (fardhu, sunnat, dll) itu bagaimana asal muasalnya bisa terbentuk. Lalu bagaimanakah di zaman Nabi sendiri, sehingga kita mengetahui kapan hadis itu menjadi fardhu dan kapan menjadi sunnat, mengingat ada hadis “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka bukan golonganku.”
Terima kasih atas jawaban Majelis Tarjih, mudah-mudahan ada manfaatnya buat saya pribadi, umumnya buat umat Islam Indonesia.
Wassalamu alaikum w. w.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam w. w.
Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Pertanyaan saudara bisa kami simpulkan terkait dengan pembahasan mengenai metode penemuan dan penyimpulan hukum (thuruq istinbath al-ahkam) dalam Islam yang notabene dilakukan oleh para ahli hukum Islam. Bidang keilmuan yang terkait dengan bahasan ini adalah ushul fikih.
Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an dan Hadis adalah sumber ajaran dan hukum Islam yang berisikan teks atau nash tertulis dari firman Allah dan sabda Nabi-Nya sebagai petunjuk manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah kitab pentunjuk dan bimbingan agama secara umum dari Allah, maka otentisitas teksnya tidak diragukan lagi. Namun ketentuan hukum di dalamnya tidak bersifat rinci. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an merupakan kaidah-kaidah umum. Hanya beberapa yang diperinci, seperti kewarisan dan perkawinan. Sedang Hadis sebagai penjelasan al-Qur’an oleh Nabi saw, periwayatan teks-teksnya tidak semuanya autentik (shahih). Sehingga hanya hadis-hadis yang shahih dan hasan saja yang dapat menjadi sumber hukum.
Teks al-Qur’an dan Hadis berisikan pernyataan-pernyataan hukum yang perlu dipahami dan disimpulkan sehingga muncul aturan-aturan yang konkret sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kata-kata dalam pernyataan tersebut sangat penting. Dalam ilmu ushul fikih, para ahli hukum Islam membahas tema ini dalam bahasan ragam metode penyimpulan (thuruq istidlal), salah satunya adalah metode penyimpulan hukum dari kata-kata/lafal-lafal (thuruq istidlal min alfazh). Teks al-Qur’an dan Hadis banyak disimbolkan dengan kata kerja yang mewakili tingkah laku manusia dalam bahasa Arab, sebagai bahasa yang digunakan. Terkait dengan masalah ini, dalam bahasan ushul fikih, lafal terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu:
(a) Musytarak (homonim), yaitu kata yang mempunyai dua makna atau lebih dengan kegunaannya yang banyak. Contohnya kata mata (al-‘ain) yang bisa dimaksudkan pada beberapa makna. Ada mata manusia, mata-mata (jasus), mata air (al-ma’). Semuanya bisa digunakan tergantung indikasi (qarinah) lafal tersebut;
(b) Lafal ‘am (umum), yaitu lafal yang mengarah pada satu makna yang dapat terealisir pada beberapa kesatuan yang banyak dan tidak bisa dihitung atau dibatasi dalam sebuah lafal, sekalipun pada kenyataannya terbatas. Biasanya kata-kata yang sifatnya umum. Contohnya adalah manusia (al-insan) yang mencakup seluruh anak cucu Adam;
(c) Lafal khas (khusus), yaitu lafal yang artinya dapat terealisir pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan yang dapat dihitung atau terbatas. Seperti kata ‘Mukhlis’, ‘wanita’, dan ‘lelaki’. Nabi Saw. bersabda; دَعِي الصَّلاَةَ أّيَّامَ أَقْرَائِكِ [da’iy ash-shalah ayyama aqra’iki], artinya “tinggalkan shalat pada hari-hari haidmu” (HR. Ahmad). Kata haid dalam hal ini menunjukan suatu kekhususan. Lafal khas terbagi menjadi dua:
(c.1) muthlaq, yaitu lafal yang mengarah pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan tanpa ada batasan khusus. Sebagai misal adalah sabda Nabi saw tentang perintah sedekah fitrah, أَدُّوا عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ [addu ‘ala kuli hurrin wa ‘abdin], artinya “laksanakanlah untuk setiap hamba yang bebas dan (juga para) budak” (HR. ad-Daruqutni). Perintah untuk hamba yang bebas-merdeka dan budak di sini tanpa ada batasan maksud yang lain;
(c.2) muqayyad, kebalikan dari muthlaq, yaitu lafal yang mengarah pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan dengan batasan khusus. Contohnya dalam riwayat sedekah fitrah di atas terdapat tambahan kata, مُسْلِمٍ [… muslimin] (HR. at-Tirmidzi), menunjukkan adanya batasan khusus.
Lafal khas dapat berbentuk perintah atau bentuk informasi yang terkandung dalam pengertian perintah, maka lafal itu memberi arti mengharuskan (al-‘ijab/pewajiban). Oleh sebab itu, pernyataan hukum dalam al-Qur’an dan Hadis dapat disimpulkan sebagai sebuah kewajiban, jika dalam pernyataan-pernyataan tersebut terdapat bentuk perintah yang memerintahkan secara pasti atau terdapat indikasi (qarinah) ke arah sebuah kepastian. Misalkan dalam hadis, اِسْتَنْزِهُوا مِنَ اْلبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنْهُ [istanzihu min al-bauli fainna ‘ammata adzab al-qabri minhu], artinya, “sucikanlah diri kalian dari air kencing, karena pada umumnya azab neraka dari hal tersebut” (HR. ad-Daruqutni). Kata “istanzihu”, dalam tata bahasa arab diklasifikasikan sebagai bentuk fi’il amr (kata kerja imperatif/perintah).
Bentuk imperatif (perintah) dapat dipalingkan dari arti mewajibkan kepada makna lain karena ada indikasi yang mengarah kepada pengertian lain, seperti makna membolehkan (al-ibahah) dan an-nadbu (sunnah/anjuran). Misal pengertian yang membolehkan dalam sebuah Hadis, إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ اْلمُعَلِّمَ فَقَتَلَ فَكُلْ وَإِذَا أَكَلَ فَلاَ تَأْكُلْ فَإِنَّمَا أَمْسَكَهُ عَلَى نَفْسِهِ [idza arsalta kalbaka al-mu’allima faqatala fakul, wa idza akala fala ta’kul, fainnama amsakahu ‘ala nafsihi], yang artinya “jika kamu mengirim anjing (buruanmu) yang terlatih lalu (hewan buruannya) terbunuh, maka makanlah. Jika (hewan buruan tersebut kau temukan telah) dimakan oleh anjingmu, jangan kamu makan, karena itu bagiannya.” (HR. al-Bukhari). Contoh dari pengertian yang sunnah (an-nadbu) adalah hadis, أَسْبِغِ اْلوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ [asbighi al-wudhu’ wakhallil baina al-ashabi’], artinya “ratakanlah (air) wudhu dan selailah jari-jari (tangan dan kakimu) (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, dalam memahami teks-teks perintah (amr) akan sangat tergantung pada indikasi-indikasi (qara’in) yang ada, di mana kadang menunjukkan pada kewajiban, kebolehan (mubah), sunnah (an-nadbu), petunjuk (irsyad), dan doa. Dalam masalah inilah, para ulama ahli hukum Islam banyak berbeda pendapat ketika menyimpulkan suatu hukum dengan simbol/istilah tertentu seperti sunnah muakkad, yang dalam mazhab Hanafi artinya adalah wajib. Tapi jika kembali kepada kaidah ushul dalam hal ini, pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban (al-ashlu fi al-amri lil-wujub).
Lafal khas dapat pula berbentuk larangan (an-nahyu) atau berbentuk informasi dalam pengertian larangan. Oleh karenanya, lafal ini menurut para ahli hukum Islam, dapat menunjuk pada pengertian haram dan karahah (makruh). Meski pada dasarnya, larangan itu mengarah pada pengharaman (an-nahyu yaqtadhi at-tahrim), tapi terkadang dengan indikasi yang ada, dapat mengarah pada kemakruhan. Contoh dari pengertian yang haram adalah sebuah hadis, لاَ تَجْمَعُوا اْلمَرْأَةَ بَيْنَ عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا [la tajma’u al-mar’ah baina ‘ammatiha au khalatiha”], artinya “jangan kau campuri (nikahi) seorang gadis sekaligus bibinya” (Muttafaq alaihi). Contoh dari pengertian yang makruh adalah sebuah hadis, إِذَا شَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فيِ اْلإِنَاءِ ثَلاَثًا [idza syaraba ahadukum fala yatanaffas fil-‘ina’i tsalatsan], artinya “apabila engkau minum, jangan bernafas di dalam gelas tiga kali (bernafaslah di luar gelas)” (HR. al-Bukhari).
Kesimpulan dari kami, diperlukan metode-metode tertentu dalam memahami al-Qur’an dan Hadis kemudian mengamalkannya sesuai dengan maksud-maksud teks atau nash tersebut. Kadang di antara kita muncul pemahaman yang tidak tepat, yaitu dengan menggeneralisir bahwa semua yang datang dan berasal dari Rasul adalah wajib melaksanakannya dengan mendasarkan pada firman Allah surat al-Hasyr (59) ayat 7: وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah]. Juga berdasar sebuah sabda Nabi saw; فَمَن رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي [faman raghiba ‘an sunnati falaisa minni], artinya “siapa yang membenci/tidak mengikuti sunnahku, maka tidak termasuk golonganku” (HR. al-Bukhari). Mengikuti sunnah adalah wajib, tapi harus sesuai dengan bentuk dan maksud dari Sunnah tersebut.
Wallahu a’lam bish-shawwab.