Hukum Menikahi Perempuan Hamil Karena Zina dan Status Anaknya
Pertanyaan Dari:
Ny. Fiametta di Bengkulu
(disidangkan pada Jum’at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M
dan 9 Muharram 1429 H / 18 Januari 2008 M)
Pertnyaan :
- Jika pria dan perempuan yang berzinah ini dinikahkan di saat perempuan tersebut dalam keadaan hamil kemudian bercerai, apakah menurut Hukum Islam, pria itu mempunyai tanggung jawab atau tidak terhadap biaya hidup anak yang lahir dari hasil zinah tersebut?
- Jika tidak bercerai, apakah anak hasil zinah tersebut sama haknya dengan anak-anak yang dilahirkan setelah pernikahan? Baik tentang nashab (hubungan dengan pria tersebut), warisan, wali nikah dan seterusnya?
Jawaban :
Sebelum menjawab pertanyaan saudari tentang pertanggungjawaban pria yang berzina terhadap anak hasil perzinaannya, berikut ini diuraikan hukum menikahi perempuan yang sedang hamil:
Jika A (laki-laki) dan B (perempuan) berzina lalu keduanya menikah ketika si B hamil, maka para ulama sepakat membolehkannya. Hal ini sejalan pula dengan KHI pasal 53 ayat (1) yang berbunyi: “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” dan ayat (2) yang berbunyi: “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”. Pernikahan itu sah dan keduanya boleh melakukan hubungan kelamin layaknya suami istri.
Kemudian jika si B melahirkan anak hasil perzinaan tersebut setelah 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si A. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Setelah itu si A bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang sah. Namun jika si B melahirkan anak hasil zina tersebut sebelum 6 (enam) bulan dari pernikahannya dengan A, maka anak tersebut dinasabkan kepada si B. Si A tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari segi perwalian dan pewarisan, si A tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris-mewarisi dengannya.
Perlu diketengahkan di sini bahwa menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, anak hasil zina yang lahir sebelum 6 (enam) bulan tersebut tetap dapat dinasabkan kepada si A, karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Demikian pula disebutkan dalam UU No. 1/1974 pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Besar kemungkinan, dalam KHI dan UU No. 1/1974 ditetapkan demikian adalah demi kemaslahatan dan kebaikan anak tersebut.
Jika A dan B dalam contoh di atas berzina, lalu B yang sedang hamil menikah dengan C, bukan dengan A yang menghamilinya. Hukum masalah ini diperselisihkan para ulama; ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun demikian kami cenderung untuk membolehkannya, dengan alasan wanita hamil karena zina tidak mempunyai masa iddah, sebagaimana wanita hamil yang diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Setelah mereka menikah maka mereka boleh berhubungan badan layaknya suami istri. Adapun kekhawatiran pendapat yang mengatakan tidak boleh berhubungan badan supaya air mani dua orang laki-laki tidak tercampur dalam rahim wanita tersebut adalah tidak sesuai dengan ilmu kedokteran karena hal itu tidak mungkin terjadi setelah wanita itu hamil. Kemudian, jika anak itu lahir maka ia tidak dinasabkan kepada si A maupun si C karena ia adalah hasil perzinaan. Anak hasil perzinaan tersebut dinasabkan kepada ibunya yaitu B. Setelah itu si C tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatan anak tersebut, karena ia adalah anak istrinya. Namun dari segi perwalian dan pewarisan, si C maupun si A tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris-mewarisi dengannya.
Namun perlu diketengahkan di sini bahwa menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, anak hasil zina tersebut dimungkinkan untuk dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya (si C), karena menurut KHI pasal 99 anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Demikian pula disebutkan dalam UU No. 1/1974 pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Besar kemungkinan, dalam KHI dan UU No. 1/1974 ditetapkan demikian adalah demi kemaslahatan dan kebaikan anak tersebut.
Jika anak hasil perzinaan itu telah dinasabkan kepada pria yang menzinai ibunya karena pria tersebut telah menikahi ibunya itu, lalu pria tersebut menceraikan ibunya itu, maka hubungan antara pria dan anaknya itu tetap sebagai ayah dan anak dari segi nasab, nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan seterusnya. Ini karena perceraian suami istri tidak mempunyai dampak dalam hubungan nasab seorang ayah dengan anaknya.
Demikian jawaban dari kami. Perlu kiranya kami tegaskan di sini bahwa fatwa-fatwa terdahulu yang berkaitan dengan masalah pernikahan wanita hamil dan nasab anak zina telah disempurnakan dengan fatwa ini.
Wallahu a’lam bish-shawab. *mi-mzr)
Keterangan : Fatwa ini mengganti (menyempurnakan) fatwa sebelumnya yang berjudul “Hukum Menikahi Wanita Hamil” yang ada di web ini juga https://tarjih.or.id/hukum-menikahi-wanita-hamil/
bismillah.
Ust, tolong dijawab
Mertua (orang tua istri) saya menikah tanggal 16 juni 1991 dan anak pertamanya (istri saya) lahir tanggal 12 februari 1992 (sekitar 7 bulan lebih) kata mertua anaknya lahir normal dengan berat 3,5 kg.
Saya tidak enak menanyakan apakah anaknya (istri saya) anak zinah apa bukan
Apakah pernikahan kami sah dan apa yang harus saya lakukan?
Assalamualaikum
Bagaimana kalau ada 2 remaja sudah melakukan zina terus menutupi Sampai anaknya lahir …dan orang tua nya baru tahu saat waktu malahirkan dari pihak laki² mau bertanggung jawab manikahinya tapi dalam pertemuan keluarga dan melihat kelakuan perempuan ini sangat tidak baik merendahkan pihak laki² dan merasa di hinakan bagaimana menurut Islam kalau hanya bertanggung jawab kepada anaknya saja dan tidak menikahi ibunya sebab tidak suka dengan kepribadian ibunya dan keluarganya kalau di paksakan menikah takutnya rumah tangganya tidak baik karena selalu saling menyalahkan dan mengungkit permasalah yang lama mohon pencerahannya
Terima kasih