EtalaseFatwaProduk

MASALAH NYANYIAN

MASALAH NYANYIAN

Pertanyaan dari:

Wahriyadi, di Jl. Tomaddualeng No. 3, Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulsel

Pernah dimuat di:

Suara Muhammadiyah No. 12 tahun ke-81/1996

 

Pertanyaan:

Saya ingin menanyakan masalah nyanyian, karena acara televisi sekarang semarak dengan bermacam nyanyian. Pertanyaanya:

  1. Apa hukumnya menyanyi baik oleh perempuan maupun oleh laki-laki?
  2. Apa hukumnya mendengarkan nyanyian perempuan dan menikmati suaranya?
  3. Jika nyanyian itu dilarang untuk dinyanyikan atau dilakukan, bagaimana cara menghindarinya?
  4. Lagu apa yang boleh dinyanyikan atau didengarkan?

 

Jawaban:

Islam adalah agama yang bersikap positif terhadap dunia. Islam bukanlah sebuah agama eskepisme yang menolak segala yang berbau duniawi demi mementingkan kehidupan akhirat semata. Menurut teologi Islam dunia ini adalah anugerah Tuhan kepada manusia seperti sebagai mana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا…

Artinya: “Dia-lah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian…” (QS. Al-Baqarah: 29)

Sebagai anugerah Ilahi dunia ini dalam pandangan Islam adalah baik, ia bukan suatu yang buruk, suatu untergang, yang terbuang dari rahmat Ilahi dan karenanya harus dijauhi. Oleh karena itu dalam menghadapi dunia para ahli fiqih merumuskan pedoman bersikap dalam bentuk kaidah fiqih yang berbunyi,

الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى التَّحْرِيْمِ.

Artinya: Pada asasnya segala sesuatu itu adalah mubah (diperbolehkan) sampai terdapat dalil yang melarangnya.

Nyanyian dalam agama Islam termasuk kategori urusan dunia dan terhadapnya berlaku kaidah fiqih di atas. Dengan kata lain nyanyian itu pada asasnya diperbolehkan, bahkan diperlukan sebagai ekspresi dari rasa keindahan yang dimiliki oleh manusia. Pemenuhan terhadap rasa keindahan itu merupakan kebutuhan yang tidak boleh diingkari jika kita hendak mengakui eksistensi manusia sebagai makhluk estetis. Para filosof hukum Islam merumuskan tiga skala prioritas kebutuhan manusia menurut hukum Islam, yang disebut maslahah, yaitu 1) maslahah daruriyyah, ialah kebutuhan yang harus dipenuhi di mana jika tidak dipenuhi, kelangsungan hidup seseorang akan terancam atau menjadi tidak berarti apa-apa lagi. 2) maslahah hajiyyah, yaitu kebutuhan yang juga harus dipenuhi, hanya saja apabila tidak terpenuhi, kelangsungan hidup seseorang tidak terancam, akan tetapi ia akan menjadi sengsara, mengalami kesulitan dan hidupnya tidak wajar/normal. 3) maslahah tahsiniyyah, ialah kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak menyebabkan terancamnya hidup seseorang dan tidak membuatnya sengsara dan berada dalam kesulitan, kebutuhan ini sifatnya komplementer yang pemenuhannya membuat hidup manusia yang sudah normal menjadi lebih indah dan lebih luks. Kebutuhan terhadap seni secara umum, dan lagu secara khusus, dapat dikategorikan sebagai maslahah tahsiniyyah.

Penjelasan ini bukanlah suatu yang berlebihan. Di dalam hadits Nabi saw. dinyatakan:

إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ. رواه مسلم عن ابن مسعود

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, I:59-60, hadits no. 147)

Selain itu diriwayatkan pula bahwa Rasulullah menghadiri pesta nikah Rubayyi’ binti Mu’awwiz di mana beberapa wanita membawakan nyanyian untuk mengenang keluarganya yang mati syahid dalam perang Badr. Salah seorang penyanyi tersebut minta supaya Rasulullah meramal tentang kejadian besok. Rasulullah mengatakan: “Jauhi meramal, dan terus saja lah bernyanyi.” (Shahih al-Bukhari, VI: 167, hadits no. 5147, “Kitab an-Nikah, Bab Darb ad-Duff”). Seni suara (nyanyian) sebagai ekspresi rasa indah pada manusia dengan demikian tidak dapat dikatakan bertentangan dengan agama. Namun demikian memang perlu diperhatikan bagaimana suatu seni seperti nyanyian itu disajikan. Setiap karya seni memiliki tanda-tanda tekstual dan visual. Apabila teks (isi) nyanyian tersebut mengajak orang kepada jalan yang maksiat atau dibawakan oleh seorang terutama wanita dengan pakaian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, maka hal seperti itu dilarang. Di sini yang dilarang bukanlah nyanyian sebagai suatu ekspresi seni ansich melainkan cara-cara penampilan dan isinya yang membawa kepada kemaksiatan lah yang dilarang.

Di zaman lampau para ulama, khususnya ahli-ahli fiqih, memang sebagian besar mengharamkan nyanyian. Imam Syafi’i dikutip sebagai menyatakan bahwa nyanyian adalah permainan sia-sia (lahw) yang mirip kebatilan, orang yang banyak mendengarkannya menjadi orang tolol dan kesaksiannya di muka hakim tidak sah (karena ada hukum Islam syarat menjadi saksi itu adalah adil, dan orang yang suka mendengarkan nyanyian itu cacat keadilannya). Murid-murid Syafi’i mengharamkan mendengarkan wanita menyanyi. Imam Abu Hanifah menganggap nyanyian itu sebagai dosa (Ihya ‘Ulumuddin, Juz VI, Jilid II: 1121-1122). Sedang Ibnu Qudamah (w. 620), dari mazhab Hanbali, menyatakan memainkan alat-alat musik seperti gambus, genderang, gitar, rebab, seruling, dan lain-lain adalah haram, kecuali duff (tamboren) karena Nabi membolehkannya dalam pesta nikah. Tetapi di luar pesta perkawinan, makruh (al-Mughni, edisi 1994, Jilid III: 40-41). Pandangan para ulama ini sesuai dengan situasi zaman mereka dan keadaan bagaimana nyanyian pada waktu itu disuguhkan.

Keharaman nyanyian biasanya dihubungkan kepada ayat-ayat al-Qur`an yang ditafsirkan terlalu sempit dan kepada hadits-hadits yang tidak shahih. Sebagai contoh, yang dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian adalah firman Allah dalam QS. Luqman: 6

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ [٣١:٦]

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang memperjualbelikan perkataan yang tidak berguna (sia-sia) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”

Kata-kata “perkataan yang tidak berguna” (lahwul-hadits) dalam ayat ini ditafsirkan sebagai nyanyian. Penafsiran ini tidaklah sepenuhnya tepat, karena yang dimaksud dengan perkataan yang tidak berguna (sia-sia) itu sebenarnya adalah segala perkataan yang mengajak orang kepada kesesatan dan kemaksiatan baik terdapat dalam nyanyian maupun dalam wacana lainnya. Jadi kalau suatu teks nyanyian berisi perkataan yang baik dan tidak mengajak orang kepada kesesatan maka tidak termasuk ke dalam larangan ayat tersebut.

Selain itu para ulama mengemukakan pula beberapa hadits yang menyatakan haramnya nyanyian, antara lain hadits Umamah al-Bahili yang diriwayatkan oleh at-Tabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat di atas dalam kitabnya Jami’ul-Bayan, Jilid VIII: 39

لَا يَحِلُّ تَعْلِيمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَلَا بَيْعُهُنَّ وَلَا شِرَاؤُهُنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ.

Artinya: Tidak halal mengajari wanita bernyanyi, menjual serta membelinya, dan harga mereka itu haram.

Hadits ini sangat da’if karena di dalam sanadnya terdapat serangkaian perawi, yaitu Abu al-Mahlab dari ‘Ubaidullah dari ‘Ali ibnu Yazid, yang seluruhnya cacat dan bahkan mereka tertuduh dusta. Kesimpulannya mendengarkan nyanyian yang baik meskipun dibawakan oleh seorang wanita tidaklah haram menurut hukum agama Islam. Nyanyian yang dilarang adalah yang ditampilkan secara bertentangan dengan agama seperti oleh penyanyi dengan pakaian minim dan berisi kata-kata yang menyesatkan dan membawa maksiat.

Related Articles

3 Comments

  1. Bagaimana Memberi saran yang baik kepada teman yang senang /Hoby ke tempat hiburan ? utamanya dari kalangan warga Muhammdiyah sendiri?

  2. Dalil Ijma’ ‘Ulama (Kesepakatan Para ‘Ulama Yang Berkompeten (Mujtahid) Pada Suatu Masa) Akan Haramnya Alat Musik
    Dalil tidak bolehnya menyelisihi ijma’ ‘ulama
    ﴿ وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا ࣖ ١١٥ ﴾
    Artinya: Siapa yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.
    ‌إن ‌الله ‌قد ‌أجار ‌أمتي ‌من ‌أن ‌تجتمع ‌على ضلالة
    Sesungguhnya Allah telah melindungi ummatku dari bersepakat di atas kesesatan(Hasan dengan mengumpulkan jalur-jalurnya, lihat Silsilah As-Shahihah 3/319).

    Nukilan Ijma’ Para ‘Ulama dari Masa Ke Masa
    1) Tidak Ditemukanya Perkataan Sahabat Yang Mengingkari Perkataan Sahabat Ibnu ‘Abbas. Ditambah perkataan sahabat lain yang menunjukkan haramnya alat musik atau nyanyian yang diharamkan. Ini menunjukkan ijma’ sukuti. Padahal kalau ada perselisihan kuat, biasanya ada yang meriwayatkan.
    – Ibnu ‘Abbas
    ‌الدف ‌حرام ‌والمعازف ‌حرام ‌والكوبة ‌حرام والمزمار حرام
    “Rebana itu haram, alat-alat musik itu haram, genderang itu haram, dan seruling adalah haram.”( Dikeluarkan Al-Baihaqi 10/376, 21/138. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Tahriimu Aalat Ath-Tharb, 1/92)
    – ‘Abdullah bin Mas’ud
    الغناء ينبت النفاق في القلب
    “Nyanyian itu menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati”( Diriwayatkan Al-Baihaqi 10/223, Sya’bi Al-Iimaan 4/278. Dishahihkan Syaikh Al-Bani secara mauquf, dalam Tahriim Aalaat Ath-Tharb 145)

    Ada seorang penyanyi bernama Zaadzan yang akhirnya bertaubat setelah mendengar dakwah beliau. Inilah kisah taubatnya, sebagaimana yang diceritakan sendiri oleh Zaadzan.
    وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ: تَابَ عَلَى يَدِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ. وَعَنْ أَبِي هَاشِمٍ الرُّمَّانِيِّ، قَالَ:
    قَالَ زَاذَانُ: كُنْتُ غُلَاماً حَسَنَ الصَّوْتِ، جَيِّدَ الضَّرْبِ بِالطُّنْبُوْرِ، فَكُنْتُ مَعَ صَاحِبٍ لِي، وَعِنْدَنَا نَبِيْذٌ، وَأَنَا أُغَنِّيْهِمْ، فَمَرَّ ابْنُ مَسْعُوْدٍ، فَدَخَلَ، فَضَرَبَ البَاطِيَةَ ، بَدَّدَهَا، وَكَسَرَ الطُّنْبُوْرَ، ثُمَّ قَالَ: لَوْ كَانَ مَا يُسْمَعُ مِنْ حُسْنِ صَوْتِكَ يَا غُلَامُ بِالقُرْآنِ، كُنْتَ أَنْتَ أَنْتَ.
    ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ لأَصْحَابِي: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا ابْنُ مَسْعُوْدٍ.
    فَأَلْقَى فِي نَفْسِي التَّوْبَةَ، فَسَعَيْتُ أَبْكِي، وَأَخَذْتُ بِثَوْبِهِ، فَأَقْبَلَ عَلَيَّ، فَاعْتَنَقَنِي، وَبَكَى، وَقَالَ: مَرْحَباً بِمَنْ أَحَبَّهُ اللهُ، اجْلِسْ. ثُمَّ دَخَلَ، وَأَخْرَجَ لِي تَمْراً

    Zaadzan berkata, “Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu dan pandai memukul gendang. Ketika saya bersama teman-teman sedang meminum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud. Maka dia pun memasuki (tempat kami), kemudian dia memukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya. Dia juga memecahkan gendang kami. Lalu dia berkata, ‘Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an, maka Engkau adalah Engkau … Engkau.’ Setelah itu Ibnu Mas’ud pun pergi. Aku pun bertanya kepada temanku, ’Siapa orang itu?’ Mereka berkata, ’Dia adalah Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dengan kejadian itu, (dimasukkan) ke dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis. Setelah mendapatinya, aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud. Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap ke arahku dan memelukku sambil menangis. Dia berkata, ‘Marhaban (selamat datang) orang yang dicintai Allah. Duduklah!’ Lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku.’”( Siyar A’laamin Nubalaa’, 4/281.)
    – ‘Abdullah bin ‘Umar
    Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
    ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
    ”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian”( Talbiis Ibliis 209)
    – Nafi’ dan Ibnu ‘Umar
    حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ نَافِعٍ، مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ: ” سَمِعَ صَوْتَ، زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ “، وَهُوَ يَقُولُ: يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ؟، فَأَقُولُ: نَعَمْ، فَيَمْضِي حَتَّى، قُلْتُ: لَا فَوَضَعَ يَدَيْهِ، وَأَعَادَ رَاحِلَتَهُ إِلَى الطَّرِيقِ، وَقَالَ: ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا”
    Dari Nafi’ mantan budak Ibnu Umar, bahwa Ibnu Umar pernah mendengar suara penggembala, ia pun menutup telinganya dengan jarinya dan membelokkan arah kendaraanya dari jalan. Ia lalu bertanya, “Wahai Nafi’, apakah engkau mesih mendengarnya?” Aku pun menjawab, “Masih”. Ibnu Umar pun berjalan lagi hingga aku mengatakan, “Tidak dengar”. Maka ia pun melepas kedua tanganya dan mengembalikan kendaraanya pada jalan semula. Kemudian Ia mengatakan, “Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ ketika mendengar suara seruling penggembala, beliau berbuat seperti ini.”( Musnad Ahmad 8/132 No. 4535)

    2) Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz rahimahullah. (101 H)
    Al-Auza’i berkata :
    كتب مع عمر بن عبد العزيز إلى ( عمر بن الوليد ) كتابا فيه “….و إظهارك المعازف والمزمار بدعة في الإسلام ، ولقد هممت أن أبعث إليك من يَجُزُّ جُمَّتك جمَّة سوء.”
    ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis surat kepada ‘Umar bin Al-Waliid yang di diantaranya berisi : “….Perbuatanmu yang memperkenalkan alat musik merupakan satu kebid’ahan dalam Islam. Dan sungguh aku telah berniat untuk mengutus seseorang kepadamu untuk memotong rambut kepalamu dengan cara yang kasar”.( Shahih, dikeluarkan An-Nasai dalam Sunan-nya 2/178 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/270)

    Ini adalah kabar yang jelas menunjukkan bahwa alat-alat musik tidak diperkenalkan pada masa Nabi ﷺ, tidak pada masa khulafa ar-rasyidiin, begitu juga pada zaman khilafah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Dan ‘Umar bin ‘Abdil bin ‘Aziz terlihat jelas mengingkarinya, dengan mengatakan hal tersebut bid’ah atau dengan memotong rambut kepala pelaku di atas dengan cara kasar. Padahal jika seandainya seseorang di zamanya atau sebelumnya yang membolehkan, maka tidak akan mengatakanya bid’ah dan mengingkarinya.( Baca lebih lanjut dalam: الرد على القرضاوي والجديع والثقفي والمرعشلي hal. 360-364)

    3) Ibnu Jarir Ath-Thabari (310 H)
    قال الطبري: ‌فقد ‌أجمع ‌علماء ‌الأمصار ‌على ‌كراهية ‌الغناء والمنع منه
    Ath-Thobari berkata, “Sungguh para ulama di daerah telah sepakat akan dibencinya nyanyian dan melarangnya dari yang demikian.”( Sya’bul Iimaan 7/113 (ط), sebagaimana dinukil oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya 14/56)

    4) Abu Laits As-Samarqandiy (Imam besar Madzhab Hanafi, wafat 393 H)
    الدلالةُ على تحريمِ السماعِ والغناءِ والرقصِ وغيرها من اللهوِ الكتابُ والسنةُ وإجماعُ الأمةِ
    “Pendalilan Atas Keharaman Musik, Nyanyian, Menari, Dan Selainya, Adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Dan Ijma’ Ummat.”( Inaaratul Fikri Bima Huwa Al-Haqqu Fi Kayfiyyatu Adz-Dzikri hal. 105.)

    5) Abul Fatah bin Ayyub Ar-Razi As-Syafi’i (447 H)
    وقال الإمام أبو الفتح سليم بن أيوب الرازي فِي “تقريبه” بعد أنْ ذكَر حديثا فِي تحريم الكُوبَة، وفيها حديثٌ آخَر: إنَّ الله يغفرُ لكلِّ مذنبٍ إلا صاحب عَرطَبة أو كُوبَةٍ والعَرطَبة: العُود، ‌ومع ‌هذا ‌فإنَّه ‌إجماعٌ
    Imam Abul Fatah bin Ayyub Ar-Razi As-Syafi’i berkata pada “Taqriibnya” setelah menyebutkan hadits pengharaman Kubah (gendang kecil -pen), dan pada hadits akhir, “Sesungguhnya Allah mengampuni setiap orang yang berdosa, kecuali pemain ‘Arthobah atau Kubah (gendang kecil -pen). ‘Arthobah ialah ‘uud. Dan yang demikian sesungguhnya ia disepakati(Kaff Ar-Ri’aa’ ‘an Muharramaat Al-Lahwi wa As-Samaa’ 86)
    6) Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib Asy-Syafi’i (450 H)

    “Dan adapun Imam Abu Hanifah … menjadikan nyanyian sebagai dosa. Dan demikian seluruh madzhab penduduk Kuffah, dan Sufyan Ats-Tsauri, dan Hammad, dan Ibrahim An-Nakho’i, dan selain mereka, tidak ada perselisihan diantara mereka. Dan juga tidak diketahui diantara penduduk Basrah perselisihan dalam dibencinya itu, dan dilarang darinya. Kecuali apa yang diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu Al-Hasan Al-‘Anbari, dia tidak melihat masalah dari yang demukian.
    Dan jika jelas dipastikan yang demikian. Maka sungguh telah berijma’ para ulama di daerah telah sepakat akan dibencinya nyanyian dan melarangnya dari yang demikian. Dan ada dua orang yang meninggalkan jama’ah, Ibrahim, dan ‘Abidullah.”( Ar-Raad ‘Ala Man Yuhibbu As-Sama’ 31)

    7) Ibnu Abdil Barr (463 H)

    أَمَّا عِلْمُ الْمُوسِيقَى وَاللَّهْوِ فَمُطَّرَحٌ وَمَنْبُوذٌ ‌عِنْدَ ‌جَمِيعِ ‌أَهْلِ الْأَدْيَانِ عَلَى شَرَائِطِ الْعِلْمِ وَالْإِيمَانِ
    Adapun ilmu tentang musik dan hiburan, maka ditolak dan dibuang, di sisi para ulama agama, atas syarat-syarat ilmu dan iman.( Jami’u Bayaani Al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/790)

    “Diantara profesi yang disepakati keharamannya adalah riba, upah melacur, uang suap, upah yang didapatkan karena menjadi tukang meratap, menyanyi plus musik, menjadi dukun, mengaku-aku mengetahui masa depan dan berita-berita langit serta upah karena meniup seruling dan semua permainan yang sia-sia”.( Al Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, 1/444)

    8) Al-Baghawi As-Syafi’i (516 H)
    ‌وَاتَّفَقُوا ‌عَلَى ‌تَحْرِيم المزامير والملاهي وَالْمَعَازِف
    “Dan mereka (para ulama) sepakat tentang haramnya seruling dan alat-alat musik.”
    9) Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (540 H)
    ‌وأمَّا ‌آلةُ ‌اللَّهو ‌كالطُّنْبُورِ، والمزْمَارِ، والشَّبَّابَةِ، فلا قطعَ فيه، وإن بلغَتْ قيمتُه مُفَصَّلًا نِصَابًا. وبهذا قال أبو حنيفةَ. وقال أصحابُ الشَّافِعِى: إن كانَتْ قيمتُه بعدَ زوالِ تأليفِه نِصابًا، ففيه القَطْعُ، وإلَّا فلا، لأنَّه سَرقَ ما قيمتُه نِصَابٌ، لا شُبْهَةَ له فيه، من حِرْزِ مِثْلِهِ، وهو من أهْلِ القَطْعِ، فوجبَ قَطْعُه، كما لو كان ذهبًا مَكْسُورًا. ولَنا، أنَّه آلةٌ للمَعْصِيَةِ بالإِجْماعِ، فلم يُقْطَعْ بِسَرِقَتِه
    “Adapun alat main musik seperti thunbur (kecapi), mizmar (seruling), dan syabbaabah (semacam seruling)16 maka tidak ada potong tangan (bagi yang mencurinya, -pen) … Sesungguhnya itu adalah alat untuk bermaksiat berdasarkan ijma‟ ulama, maka tidak dipotong tangan jika mencurinya sebagaimana (jika mencuri) khamr tidak dipotong tangannya”.( Al-Baghawi. (540 H). Syarhussunnah 12/383.)

    10) Al-Qadhi ‘Iyadh (544 H), ulama rujukan An-Nawawi
    Abul ‘Abbaas Al-Qurthubi (656 H) menukil Al-Qadhi ‘Iyadh (544H),
    نقل عن القاضي عياض أنه ذكر الإجماع على كفر مستحلّ الغناء
    Diriwayatkan dari Al-Qadhi ‘Iyadh, bahwasanya ia menyebutkan ijma’ (kesepakatan ulama) atas kafirnya orang yang menghalalkan nyanyian.( Kitabul Furu’ Libnu Muflih wa Tashih Al-Furu’ 11/349)
    11) Ibnu Al-Bizari (560 H )
    الشَّبَّابة زمرٌ لا محالة حَرام بالنص، ويجبُ إنكارها ويحرم استِماعها، ولم يقل العلماء المتقدِّمون ولا أحدٌ منهم بحِلِّها وجوازِ استعمالها، ومَن ذهَب إلى حلِّها وسماعها فهو مُخطِئ
    “Asy-Syabaabah (sejenis seruling -pen) dengan pasti haram dengan nash. Wajib mengingkarinya, diharamkan mendengarkanya. Tidak satupun dari ulama terdahulu, mereka menghalalkanya dan membolehkan mendengarkanya. Barangsiapa yang menghalalkanya dan mendengarkanya, maka dia telah keliru.”( Kaff Ar-Ri’aa’ ‘an Muharramaat Al-Lahwi wa As-samaa’ 106)

    12) Ibnu Abi ‘Ushruur (585 H)
    الصواب تحريمُها، بل هي ‌أجدَرُ ‌بالتَّحْريم ‌من ‌سائرِ المزامِيرِ المُتَّفَقِ على تحريمِها؛ لشدَّةِ طربها، وهي شِعارُ الشَّرَبَة وأهلِ الفُسوق
    “Yang benar ialah mengharamkanya, bahkan ia lebih pantas diharamkan daripada seruling-seruling yang disepakati atas keharamanya”. Karena kekuatan musiknya, dan dia menjadi syi’ar/slogan peminum dan orang fasiq.( Kaff Ar-Ri’aa’ ‘an Muharramaat Al-Lahwi wa As-samaa’ 106)

    13) Alauddin Al-Kasani (587 H, ulama Madzhab Hanafiyah)
    (وأما) إظهار فسق يعتقدون حرمته كالزنا وسائر الفواحش التي هي حرام في دينهم، فإنهم يمنعون من ذلك سواء كانوا في أمصار المسلمين، أو في أمصارهم ومدائنهم وقراهم، وكذا المزامير والعيدان، والطبول في الغناء، واللعب بالحمام، ونظيرها، يمنعون من ذلك كله في الأمصار والقرى؛ لأنهم يعتقدون حرمة هذه الأفعال كما نعتقدها نحن فلم تكن مستثناة عن عقد الذمة ليقروا عليها
    “Mereka (para ulama) meyakini haramnya menampakkan kefasikan seperti zina yang merupakan perbuatan haram dalam agama. Dan mereka telah melarang perbuatan tersebut, baik di negeri-negeri kaum Muslimin maupun di negeri dan desa mereka. Demikian juga seruling-seruling, sitar, gendang untuk nyanyian, permainan musik di pemandian umum, semua ini sama dengan hal itu (kefasikan). Dan mereka telah melarang semua ini di kota-kota dan desa-desa. Karena mereka telah meyakini semua hal tersebut haram sebagaimana kami juga meyakininya”.( Badai’us Shana’i, 7/113-114)

    14) Ibnu Ash-Shalaah As-Syafi’i (643 H)
    ‌وَأما ‌اباحة ‌هَذَا ‌السماع ‌وتحليله فَليعلم أَن الدُّف والشبابة والغناء إِذا اجْتمعت فاستماع ذَلِك حرَام عِنْد أَئِمَّة الْمذَاهب وَغَيرهم من عُلَمَاء الْمُسلمين وَلم يثبت عَن أحد مِمَّن يعْتد بقوله فِي الْإِجْمَاع والاخلاف أَنه أَبَاحَ هَذَا السماع وَالْخلاف الْمَنْقُول عَن بعض أَصْحَاب الشَّافِعِي إِنَّمَا نقل فِي الشبابة مُنْفَردا والدف مُنْفَردا
    “Adapun pembolehan samaa’ (mendengarkan) ini dan penghalalannya maka ketahuilah bahwa rebana, syabaabah (semacam seruling), dan nyanyian, jika terkumpulkan maka mendengarkannya adalah haram di sisi para imam madzhab dan selain mereka dari kalangan para ulama Islam. Tidak valid dari seorang pun yang perkataannya mu’tabar (dianggap) dalam ijma‟ dan perselisihan bahwa ia membolehkan model samaa’ seperti ini. Adapun khilaf yang dinukilkan dari sebagian ulama Syafi‟íyah maka hanya terbatas pada syabaabah saja atau rebana saja (jika tidak digabungkan dengan alat yang lain)”( Fatawa Ibnu Ash-Sholaah 2/500)

    15) Abul ‘Abbaas Al-Qurthubi (656 H)
    ‌فأما ‌ما ‌أبدعه ‌الصوفية ‌اليوم من الإدمان على سماع المغاني بالآلات المطربة؛ فمن قبيل ما لا يُختلف في تحريمه، لكن النفوس الشهوانية والأغراض الشيطانية قد غلبت على كثير ممن ينُسِب إلى الخير وشُهر بذكره، حتى عموا عن تحريم ذلك وعن فحشه
    “Adapun apa yang diada-adakan (bid’ah) oleh kaum Sufiyah pada hari ini berupa sikap terus-menerus dan ketergantungan untuk mendengar lagu-lagu yang disertai alat-alat musik maka termasuk perkara yang tidak diperselisihkan mengenai keharamannya. Akan tetapi, jiwa yang dirasuki syahwat dan tujuan-tujuan yang berasal dari bisikan setan telah mendominasi banyak orang yang dinisbatkan kepada kebaikan dan terkenal dengan kebaikan tersebut, hingga akhirnya orang-orang buta akan haramnya dan buruknya hal ini”.( لمفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم (2/534))

    وَقَال الْقُرْطُبِيُّ: أَمَّا الْمَزَامِيرُ وَالأَوْتَارُ وَالْكُوبَةُ فَلَا يُخْتَلَفُ فِي تَحْرِيمِ اسْتِمَاعِهَا ‌وَلَمْ ‌أَسْمَعْ عَنْ أَحَدٍ مِمَّنْ يُعْتَبَرُ قَوْلُهُ مِنَ السَّلَفِ وَأَئِمَّةِ الْخَلَفِ مَنْ يُبِيحُ ذَلِكَ، وَكَيْفَ لَا يَحْرُمُ وَهُوَ شِعَارُ أَهْل الْخُمُورِ وَالْفُسُوقِ وَمُهَيِّجُ الشَّهَوَاتِ وَالْفَسَادِ وَالْمُجُونِ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يُشَكَّ فِي تَحْرِيمِهِ وَلَا فِي تَفْسِيقِ فَاعِلِهِ وَتَأْثِيمِهِ

    16) Imam An-Nawawi As-Syafi’i (676 H)
    ‌بَلِ ‌الْمِزْمَارُ ‌الْعِرَاقِيُّ وَمَا يُضْرَبُ بِهِ الْأَوْتَارُ حَرَامٌ بِلَا خِلَافٍ
    “Seruling Iraqi dan semua alat musik bersenar hukumnya haram tanpa ada perselisihan.( An-Nawawi (676 H). Raudhah Ath-Thaalibiin 11/228.)

  3. Dalil-Dalil Akan Haramnya Alat Musik dan Nyanyian Yang Disertai Alat Musik

    A. Dalil Al-Qur’an Al-Karim
    1. Surah Luqman: 6
    ﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ وَّيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ ٦ ﴾
    “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
    menghinakan” (QS Luqman: 6)
    Berikut penafsiran generasi terbaik:
    a. Tafsir Ibnu Mas’ud (Sahabat Nabi Muhammad ﷺ)
    Ibnu Mas’ud berkata tentang lahwul hadits (perkataan sia-sia)
    الغناء، والذي لا إله إلا هو
    “Demi Allah yang tidak ada Tuhan yang disembah selainNya, itu adalah nyanyian”.( Tafsir At-Thobari 18/534)
    b. Tafsir Ibnu ‘Abbas (Sahabat Nabi Muhammad ﷺ)
    Demikian juga Ibnu ‘Abbas berkata,
    هو الغناء ونحوه
    “Dia adalah nyanyian dan semisalnya”.( Tafsir At-Thobari 18/535)
    c. Tafsir Jabir
    Demikian juga Jabir berkata,
    هو الغناء والإستماع له
    “Itu adalah nyanyian dan mendengarkanya”.( Tafsir At-Thobari 18/536)
    d. Tafsir Al-Hasan
    Al-Hasan berkata,
    لَهُوَ الحَدِيْثِ المَعَازِفُ والغِنَاءُ
    “Lahwul hadits adalah alat musik dan nyanyian”.( Tafsir Al-Qurthubi 14/52 dan Tafsir Ibnu Katsir 6/331)
    e. Begitu juga Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Qotadah, An-Nakho’i, Al-Hasan, dan Makhuul.( Lihat Tafsir Ibnu Katsir 6/331 dan Zaadul Masiir 3/430)
    Meskipun ada tafsiran lain dari lahwul hadits selain dari nyanyian akan tetapi para ahli tafsir menyebutkan bahwa nyanyian dan yang semisalnya termasuk dari keumuman lahwul hadits (lihat Tafsir At-Thobari 18/539).

    Al-Qurthubi berkata:
    هَذَا أَعْلَى مَا قِيلَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ، وَحَلَفَ عَلَى ذَلِكَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ إِنَّهُ الْغِنَاءُ
    “Dan ini (yaitu lahwul hadits adalah nyanyian) merupakan pendapat yang tertinggi tentang ayat ini, dan Ibnu Masúd telah bersumpah tiga kali dengan nama Allah yang tidak ada sesembahan selainnya bahwa itu adalah nyanyian”.( Tafsir Al-Qurthubi 14/52)

    Asy-Syaukani berkata:
    ‌وَهُوَ ‌قَوْلُ ‌الصَّحَابَةِ ‌وَالتَّابِعِينَ
    “Dan ini adalah pendapat para sahabat dan tabi’in”.( Fathul Qodiir 4/270)
    B. Hadits Nabi Muhammad ﷺ
    1. Hadits Shahih Al-Bukhari No. 5590 jilid 7 hal. 106 (ط)
    وَقَالَ ‌هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا ‌صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا ‌عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ حَدَّثَنَا ‌عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلَابِيُّ حَدَّثَنَا ‌عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي ‌أَبُو عَامِرٍ أَوْ ‌أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ وَاللهِ مَا كَذَبَنِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ ‌وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
    Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka, lalu seseorang mendatangi mereka -yaitu orang fakir- untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.’(Shahih Al-Bukhari No. 5590 (ط السالطتنية 7/106))
    Pengharaman musik dari hadits ini ditinjau dari tiga sisi:
    Pertama, sabda Nabi “menghalalkan”. Ini menunjukkan bahwa hukum alat-alat musik adalah haram. Akan tetapi, akan ada kaum dari umat ini yang akan menghalalkannya dan Nabi menyebutkan hal ini dalam rangka mencela. Dari sisi ini, sudah menunjukkan kenyataan. Dari orang yang dianggap ustadz bergelar agama berjoget dengan musik hingga orang awam.
    Kedua, Nabi menggandengkan alat-alat musik dengan perkaraperkara yang sangat jelas haram berdasarkan ijma‟ ulama, yaitu zina, kain sutra (bagi lelaki), dan khamr. Ini merupakan sisi pendalilan secara Iqtiroon (Ketika ada dua hal disandingkan dalam sebuah perkataan, maka itu menunjukkan kesamaan hukumnya. Dalil ini menjadi kuat ketika menjelaskan tentang hukum yang diinginkan dari konteks kata-kata itu.)
    Ketiga, Nabi mengabarkan bahwa ada orang-orang yang menghalalkan keempat perkara ini (zina, khamr, kain sutra bagi lelaki, dan alat musik) dan ditimpakan gunung terhadap mereka, dan sebagian yang lain dirubah menjadi hewan . Ini menunjukkan adanya ancaman, dan hukum asal adanya ancaman adalah keharaman. 
    2. Hadits Shahih Musnad Ahmad
    حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ، وَعَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالا: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ حَبْتَرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ‌إِنَّ ‌اللهَ ‌حَرَّمَ ‌عَلَيْكُمِ ‌الْخَمْرَ، ‌وَالْمَيْسِرَ، ‌وَالْكُوبَةَ ، وَقَالَ: كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
    Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Malik dan Abdul Jabbar bin Muhammad mereka berdua berkata, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah yakni Ibnu Umar, dari Abdul Karim dari Qais bin Habtar dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr, judi, dan gendang bagi kalian.” Beliau juga bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram.” (Isnad Shahih, dikeluarkan di Musnad Ahmad 4/382)

    ‌حدثنا ‌أبو ‌أحمد ‌حدثنا ‌سفيان ‌عن ‌علي ‌بن ‌بَذيمة ‌حدثني ‌قيس ‌بن ‌حَبْتَر ‌قال: ‌سألتُ ‌ابن عباس عن الجرّ الأبيض واَلجرّ الأخضر والجرّ الأحمر؟، فقال: إن أول من سأل النبي – صلى الله عليه وسلم – وفدُ عبد القيس، فقالوا: إنا نصيب من الثَّقَل، فأيّ الأسقية؟، فقال: “لا تشربوا في الدُّبَّاء والمزفَّت والنَّقير والحنَتْم، واشربوا في الأسقية”، ثم قال: “‌إن ‌الله ‌حَرَّم ‌عليّ”، ‌أو “‌حَرَّم ‌الخَمرَ والميسرَ والكُوبة، وكلُّ مسكرٍ حرام”، قال سفيان: قلتُ لعلي بن بَذِيمة: ما الكُوبة؟، قال: الطَّبْل
    Telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ali bin Badzimah, telah menceritakan kepadaku Qais bin Habtar berkata, aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang guci putih, guci hijau, dan guci merah, maka dia menjawab, “Sesungguhnya yang pertama kali menanyakannya Nabi ﷺ adalah utusan Abdul Qais, mereka berkata, “Sesungguhnya kami memperoleh peralatan, tempat-tempat air mana (yang boleh digunakan)?” beliau menjawab, “Janganlah kalian minum dari Ad Dubaa’, Al Muzaffat, An Naqir dan Al Hantam, tapi minumlah dari tempat-tempat air yang terbuat dari kulit.” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepadaku” atau beliau mengatakan, “Mengharamkan khamr, judi, dan gendang (musik), dan setiap yang memabukkan adalah haram.” Sufyan mengatakan; Lalu aku katakan kepada Ali bin Badzimah, “Apakah Al Kubah itu?” dia menjawab, “Thabl (gendang)”. (Isnad Shahih, dikeluarkan di Musnad Ahmad 3/125)
    حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ نَافِعٍ، مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ: ” سَمِعَ صَوْتَ، زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ “، وَهُوَ يَقُولُ: يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ؟، فَأَقُولُ: نَعَمْ، فَيَمْضِي حَتَّى، قُلْتُ: لَا فَوَضَعَ يَدَيْهِ، وَأَعَادَ رَاحِلَتَهُ إِلَى الطَّرِيقِ، وَقَالَ: ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا”
    Dari Nafi’ mantan budak Ibnu Umar, bahwa Ibnu Umar pernah mendengar suara penggembala, ia pun menutup telinganya dengan jarinya dan membelokkan arah kendaraanya dari jalan. Ia lalu bertanya, “Wahai Nafi’, apakah engkau mesih mendengarnya?” Aku pun menjawab, “Masih”. Ibnu Umar pun berjalan lagi hingga aku mengatakan, “Tidak dengar”. Maka ia pun melepas kedua tanganya dan mengembalikan kendaraanya pada jalan semula. Kemudian Ia mengatakan, “Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ ketika mendengar suara seruling penggembala, beliau berbuat seperti ini.”( Musnad Ahmad 8/132 No. 4535, (Isnad Hasan menurut Syu’aib Al-Arna’uth begitu juga dalam Musnad Ahmad No. 4965, Banyak yang mengatakan, bahwa Al-Bani menshahihkan hadits ini (lafadz زمارة راع atau seruling penggembala) diantaranya dalam صحيح الكتب التسعة وزوائده 458/3342 dan المسند الموضوعي الجامع للكتب العضرة 18/112 dan dalam Aplikasi Ensiklopedi Hadits.))

    حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ حَاتِمِ بْنِ حُرَيْثٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‌لَيَشْرَبَنَّ ‌نَاسٌ ‌مِنْ ‌أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، ‌يُعْزَفُ ‌عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ، وَالْمُغَنِّيَاتِ، يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الْأَرْضَ، وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
    Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Ma’n bin Isa dari Mu’awiyah bin Shalih dari Hatim bin Huratis dari Malik bin Abu Maryam dari Abdurrahman bin Ghanm Al Asy’ari dari Abu Malik Al Asy’ari dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh sebagian dari umatku akan meminum khamr yang mereka namai dengan selain namanya, akan bernyanyi dengan para biduan disertai alat musik. Allah akan menutupi kehidupan mereka dan akan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.”’(Sunan Ibnu Maajah 2/1333 No. 4020. Dishahihkan Dr. Sa’id bin ‘Ali (Lihat الغناء والمعازف في ضوء الكتاب والسنة وآثار الصحابة 64) dan Syaikh Al-Bani (Lihat المسند الموضوعي الجامع للكتب العشر 2/137))
    وله شاهد يزداد به قوة من حديث جابر بن عبد الله عن عبد الرحمن بن عوف قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إني ‌لم ‌أنه ‌عن ‌البكاء ‌ولكني ‌نهيت ‌عن ‌صوتين ‌أحمقين ‌فاجرين: صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان
    “Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat hiburan / kesenangan, permainan, dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.”( Al-Hakim 4/40, Al-Baihaqi 4/69. Lihat Tahriim Aalaat Ath-Tharb 52)

    PENAFSIRAN NYANYIAN BUKANAH PENAFSIRAN YANG SEMPIT, NAMUN PENAFSIRAN PALING KUAT YANG DITAFSIRKAN SAHABAT DAN TABI’IN. DAN TIDAK HANYA NYANYIAN, TETAPI SELAIN NYANYIAN BERUPA SESUATU YANG MELALAIKAN BISA DIMASUKKAN KE DALAM KEUMUMAN AYAT

    WALLAHU A’LAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button