Pelajaran Iman, Akhlak, dan Ilmu dari Bulan Ramadhan (Khutbah Idul Fitri 1444 H)
Oleh: M. Rofiq Muzakkir, Lc., MA., Ph.D.
Pelajaran Iman, Akhlak, dan Ilmu dari Bulan Ramadhan
(Khutbah Idul Fitri 1444 H)
Oleh: M. Rofiq Muzakkir, Lc., MA., Ph.D.
اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَ بِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُنْيَا وَ الدِيْنِ
وَ الصَّلَاةُ و السَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
وَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَ اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَ لله الْحَمْدُ
Hadirin dan hadirat jamaah shalat idul fitri yang Allah muliakan
Mengawali hari indah di tanggal 1 Syawwal ini, kita semua bersyukur kehadirat Allah Swt atas nikmat yang Allah berikan kepada kita: nikmat Iman, Islam, al-Quran, dan nikmat bulan Ramadhan yang baru saja berlalu. Shalawat dan salam kita lantunkan untuk Nabi kita Muhammad Saw yang karena mengikuti sunnah nya lah, hari ini kita semua melaksanakan shalat idul fitri di tanah lapang ini.
Kaum muslimin dan muslimat rahimakumullah
Hari raya adalah oasis bagi manusia dalam perjalanan hidup nya. Tidak ada manusia yang bisa menjalani kehidupan dengan keseriusan seutuhnya tanpa ada hiburan yang mengisinya. Itulah sebabnya mengapa sejarah manusia sejak dulu kala selalu mengenal hari raya dan festival. Masyarakat Yunani Kuno mengenal festival Panathenaic. Masyarakat Jepang sampai hari ini merayakan festival Obon. Di India ada festival Diwali. Di masyarakat Barat modern ada budaya Halloween, Thanksgiving, dan Christmas.
Dalam Islam, ada dua hari raya yang disyariatkan Allah, yaitu idul fitri dan idul adha. Kedua-duanya mengandung makna ilahi (ketuhanan) dan insani (kemanusiaan) atau memiliki dimensi vertikal (hubungan manusia dengan Allah) dan horizontal (hubungan sesama manusia).
Sahabat Anas bin Malik menceritakan asal usul hari raya Islam. Sebelum Nabi Muhammad Saw berhijrah ke kota Madinah, penduduk Yatsrib dulu memiliki dua hari raya, di mana mereka bersenang-senang, tetapi di dalamnya ada unsur kesyirikan. Ketika Islam datang, Allah mengganti dua hari raya itu dengan dua hari raya yang lebih baik.
عن أنسٍ رَضِيَ اللهُ عنه، قال: قَدِمَ النَبِيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: قَدْ أبْدَلَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى
Hari raya idul fitri memiliki dimensi vertikal karena ia terkait dengan ibadah puasa, suatu ibadah mulia yang melatih jiwa-jiwa muslim untuk taat kepada Allah. Kita meninggalkan makan, minum, dan syahwat hanya karena Allah. Oleh karena itu, firman Allah dalam hadis Qudsi: al-ṣiyāmu lī, wa anā ajzī bih (puasa untuk Ku, dan Akulah yang akan membalasnya).[1] Puasa adalah bulan tarbiyah (pendidikan) bagi umat Islam: kita belajar bagaimana meninggalkan apa yang kita inginkan sekalipun mampu kita lakukan.
Hari raya idul fitri juga memiliki dimensi vertikal karena kita mengawali kegembiraan kita dengan shalat. Inilah kegembiraan yang sejati: bermula dengan takbir (menganggungkan Allah), tahmid (memuji Allah), ruku dan sujud (meletakkan kening kita dan merendahkan diri kita di hadapan Allah), sebagai bentuk syukur kita kepada-Nya. Hari raya Islam dengan demikian bukan hari untuk sekedar berpesta pora dan mengumbar kesia-siaan.
Hari raya idul fitri juga memiliki dimensi horizontal (hubungan antar sesama). Syariat zakat fitri yang telah kita tuntaskan sebelum kita berangkat ke tempat ini adalah bukti bahwa hari raya juga adalah syariat yang terkait dengan hubungan sesama manusia. Rasulullah mengatakan bahwa zakat fitri diwajibkan dengan tujuan membersihkan diri orang yang berpuasa (tuhratan lis ṣāimi) dan untuk memberi makan kaum fakir miskin (ṭuʿmatan lil masākin).[2] Zakat fitri harus diberikan kepada orang tidak mampu. Sabda Rasulullah Saw:
أَغْنُوْهُمْ عَنِ الطَوَافِ فَي هَذَا الْيَوْمِ
Cukupkanlah orang-orang miskin dari bertawaf/berkeliling-keliling hari ini [untuk ikut mencari sesuap makanan agar bisa merasakan kegembiraan].[3]
Dimensi horizontal pada idul fitri juga terdapat dalam perintah Nabi Muhammad agar semua unsur masyarakat: baik tua, muda, laki-laki dan perempuan, pergi ke tanah lapang. Dalam hadis riwayat dari sahabat Ummu Atiyah disebutkan bahwa nabi memerintahkan agar kaum perempuan yang haid pun juga hadir ke tanah lapang, dengan ketentuan mereka berada di pinggir lapangan.[4] Oleh karena itu sangat dianjurkan hukumnya seorang suami mengajak istrinya dan anaknya agar bisa merayakan festival Islam hari ini bersama-sama umat Islam yang lain. Hadis ini penting untuk dicatat sebagai penegasan agama bahwa perempuan adalah unsur penting dalam kehidupan manusia. Kaum perempuan adalah setengah dari kehidupan. Mereka adalah tiang penyangga peradaban.
Sisi hubungan kemanusiaan yang juga sangat menonjol dalam hari raya idul fitri adalah tradisi kaum muslimin menyambung silaturahmi: saling mengunjungi, mengucapkan selamat, melantunkan doa taqabballāhu minnā wa minkum (semoga Allah menerima ibadah kita semua), dan mengucapkan permohonan maaf lahir dan batin untuk kesalahan di masa lalu.
Pada hari raya ini simpul silaturahmi semestinya diuraikan dan kesalahpahaman serta permusuhan semestinya diakhiri. Tidak layak bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya seiman, apalagi kerabat dekatnya.
Wahai muslim, kalahkan egomu, redakan amarah mu, sambung silaturahmi mu yang mungkin pernah terputus. Rasulullah Saw. mengatakan:
تُفتَحُ أبوابُ الجنَّةِ يومَ الاثنينِ و الخميسِ، فيغفرُ اللهُ عزَّ وجلَّ لِكلِّ عبدٍ لا يُشرِكُ باللهِ شيئًا، إلَّا رجلًا كانَ بينَه وبينَ أخيهِ شحناء، فيقول: أنظروا هذينِ حتَّى يصطلحا، أنظِروا هذينِ حتَّى يصطلِحا ،أنظِروا هذينِ حتَّى يصطلِحا ((رواه مسلم))
Pintu jannah dibuka pada hari Senin dan Kamis, dan kemudian setiap hamba (Allah) diberikan pengampunan jika dia tidak menyekutukan Allah dalam ibadah. Tetapi orang yang di dalam hatinya ada dendam terhadap saudaranya (Muslim), mereka tidak akan dimaafkan dan mengenai mereka akan dikatakan dua kali: Tangguhkan pengampunan pada dua orang ini sampai keduanya berdamai, tangguhkan pengampunan pada dua orang ini sampai keduanya berdamai.[5]
Kaum muslimin dan muslimat yang Allah muliakan
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَ اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَ لله الْحَمْدُ
Ibadah Ramadhan yang baru saja berlalu sesungguhnya memberikan kita tiga fondasi atau landasan pokok untuk mengisi kehidupan kita di bulan-bulan selanjutnya. Landasan ini melekat erat dalam ibadah puasa, tilawah Quran, shadaqah, qiyamul lain, dan seluruh ibadah yang kita lakukan satu bulan penuh. Tiga landasan tersebut adalah: iman, akhlak, dan ilmu.
Iman
Bulan Ramadhan menguatkan iman kita kepada Allah Swt: iman bahwa Dia adalah Dzat yang maha berkuasa, bijaksana, tahu segala-galanya, mendengar dan melihat, dan mengatur kehidupan di dunia dengan kasih sayang-Nya.
Al-Quran menyebut bahwa iman yang kuat yang lahir dari madrasah Ramadhan ibarat akar pohon yang kokoh (aṣluhā tsābitun), yang tidak akan tercerabut walalupun apapun terjadi.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit (QS. Ibrahim: 24).
Ketika angin kencang berhembus, rumah dan mobil bisa beterbangan, tapi pohon besar dengan akar kuat ini tidak berubah dari posisinya. Iman kepada Allah inilah yang menjadi fondasi pada saat terjadi musibah dan cobaan besar dalam hidup kita. Kita mungkin saja mengalami peristiwa kehilangan pekerjaan, raibnya barang berharga, jatuh sakit, kecelakaan, atau ditinggal orang yang dicintai. Tetapi itu semua tidak akan merubah diri kita. Kita tetaplah hamba Allah yang mengimani bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya yang maha Rahman dan Rahim. Tanpa iman ini, kita hanya seperti daun, mudah terbang ke mana-mana dibawa angin. Tanpa iman kepada Allah, apapun yang terjadi dalam hidup kita menjadi tidak ada makna.
Kaum muslimin dan muslimat jamaah shalat idul fitri yang Allah muliakan,
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَ اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَ لله الْحَمْدُ
Hari ini di masyarat global, khususnya dunia Barat, kita menjumpai satu tren yang disebut dengan ateisme baru (new atheism). Sebagai akibat dari sekulerisasi dan dunia yang serba materi, keberadaan Tuhan, yang semestinya menjadi fitrah yang melekat dalam hati manusia, justru semakin dipertanyakan. Menurut data statistik mutakhir, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama di Amerika Serikat hampir menyentuh angka 30 % dari total populasi.[6] Angka ini mencakup kaum ateis (yang tidak percaya keberadaan Tuhan), agnostik (orang yang ragu tentang keberadaan Tuhan) dan orang yang tidak mengikuti agama manapun. Ini artinya jika kita menemui 10 orang Amerika, tiga diantaranya adalah orang yang tidak lagi percaya kepada syariat agama. Angka ini di Eropa Barat jauh lebih tinggi.
Di antara penyebab masyarakat Barat modern menjadi ateis atau agnostik adalah ketidakmampuan mereka menjelaskan permasalahan penderitaan dan kesulitan dalam hidup (the problem of pain and suffering in life). Pertanyaan orang Barat: jika Tuhan memang ada, kenapa ada kegagalan, rasa sakit, kemiskinan, kecelakaan, bencana alam, kesedihan, dan semua jenis penderitaan dalam hidup manusia. Rupanya dalam kamus masyarakat Barat modern, hidup manusia adalah hanya persoalan pleasure (kesenangan). Rasa sakit tidak boleh ada dalam hidup manusia.[7]
Ini sungguh suatu ironi: semakin modern hidup manusia, semakin tidak mampu ia menanggung atau bahkan sekedar menjelaskan makna kesulitan hidup. The more you become modern, the more life is meaningless for you.
Dalam iman umat Islam, semua penderitaan manusia ada maknanya: rasa sakit, rasa payah, dan kesusahan dimaknai sebagai bagian dari ibadah. Ia dapat menjadi penebus dosa. Pain and suffering are redemptive in Islam. Bahkan kita meyakini bahwa jannah Allah tidak akan kita capai jika kita belum pernah merasakan penatnya bekerja keras, lemas, lesu, payah dalam beribadah. Itulah mengapa kita begitu menikmati puasa, menikmati haji yang membutuhkan perjuangan fisik dan finansial.
Bagi kita kaum muslimin, hidup yang sepenuhnya terbebas dari cobaan dan rasa sakit adalah kehidupan setelah kita mati, kelak di akhirat, di mana tidak ada lagi rasa takut dan khawatir, lā khaufun ʿalaihim walā hum yaḥzanūn: kehidupan yang kenikmatan nya tidak akan ada batasnya.
Kaum muslimin dan muslimat jamaah shalat idul fitri yang Allah muliakan,
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَ اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَ لله الْحَمْدُ
Akhlak
Bulan Ramadhan juga mengajarkan kepada kita untuk terus memperbaiki akhlak. Dalam al-Quran disebutkan bahwa akhlak adalah buah langsung dari iman. Sebagaimana pohon yang sehat yang selalu disiram dengan air secara teratur akan melahirkan buah yang segar, maka iman yang kuat, yang dibina dengan ibadah satu bulan penuh, juga akan melahirkan akhlak yang indah. Hanya saja, jika buah dari pohon biasa hanya muncul sesuai musimnya, atau hanya setahun sekali, akhlak sebagai buah dari iman muncul setiap saat. Ini yang Allah sebut dalam surat Ibrahim ayat 25:
تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا
Masalah akhlak bukan masalah sederhana bagi manusia modern hari ini. Banyak filosof yang menyebut bahwa saat ini kita tengah hidup pada era krisis akhlak (the crisis of ethic).[8] Kerusakan yang ada di sekitar kita berpangkal dari akhlak ini.
Pada tingkat global, hari ini kita menyaksikan suatu kekuatan dahsyat yang mendorong kita untuk menormalisasi penyimpangan seksual LGBT. Pada tingkatan global kita juga menyaksikan budaya alkoholisme dan kehidupan bebas menjadi norma yang diterima di banyak negara. Angka depresi juga sangat tinggi di negara maju dan kota-kota besar.
Pada tingkat nasional, di dalam negeri kita juga menghadapi masalah moral. Selama beberapa bulan terakhir kita menyaksikan berita: penegak hukum melakukan pembunuhan dan merekayasa kasus, penegak hukum terlibat jual beli narkoba, keluarga pejabat yang pamer kekayaan, sampai pejabat tertangkap tangan korupsi di bulan puasa. Ini belum lagi masalah akhlak yang lahir dari perkembangan digital modern: kecanduan game di kalangan generasi muda, dan mentalitas yang rusak oleh pornografi.
Kaum muslimin dan muslimat jamaah shalat idul fitri yang Allah muliakan,
Tidak ada obat dari semua permasalahan akhlak ini kecuali kita sebagai bangsa dan umat kembali kepada al-Quran. Kitab suci ini kita pegang kuat-kuat ajaran nya (khudzil kitāba bi quwwah)[9], dan kita amalkan isinya (fat tabiʿūhu wat taqū laʿallakum turhamū)[10]. Al-Quran akan menjadi penyembuh bukan hanya untuk penyakit di dalam diri umat Islam sendiri, tetapi juga untuk penyakit global.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. (Yunus ayat 57)
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah setiap elemen kehidupan harus menyadari pentingnya peranan nya masing-masing dalam ekosistem akhlak. Sekali satu bagian masyarakat merobohkannya, maka keseluruhan bangunan moral bangsa akan roboh. Al-Quran mengatakan:
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan takutlah kamu sekalian dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya. (al-Anfal: 24)
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَ اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَ لله الْحَمْدُ
Ilmu
Bulan Ramadhan juga mengajarkan kepada kita untuk terus mencintai dan mengakrabi ilmu. Di bulan Ramadhan yang lalu, sehari minimal dua kali kita mendengar ilmu Allah dikaji: di waktu subuh dan tarawih. Kebiasaan mengkaji ilmu ini perlu kita teruskan di bulan-bulan selanjutnya.
Seorang pengkaji Islam dari Amerika Serikat, Franz Rosenthal yang menulis buku fenomenal The Knowledge Triumphant menyebut bahwa sifat inti peradaban Islam adalah konsep ilmu. Ciri unik dari peradaban ini tidak dijumpai pada peradaban-peradaban lainnya dalam sejarah manusia, kata Rosenthal.
Penilaian Rosenthal sesungguhnya tidaklah meleset. Coba perhatikan: wahyu pertama dalam al-Quran adalah tentang ilmu. Kata ʿilm, ʿaql, lub-albāb, tadabbur, fikr-tafakkur juga berulang-ulang muncul disebut Allah dalam kitab suci ini. Nabi Muhammad selalu mendorong para sahabatnya menjadi ahli ilmu. Tawanan perang Badar, misalnya, jika tidak memiliki uang, mereka bisa menebus dirinya dengan mengajar sahabat Nabi baca tulis.
Sejarah Islam, betapapun sering mengalami turbulensi dan up-and-down akibat dinamika politik, selalu memproduksi gagasan-gagasan konseptual yang mencengangkan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Para khalifah, amir, dan sultan dalam sejarah pra modern, yang sekalipun seringkali dianggap identik dengan gaya hidup glamor, selalu memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan di pusat keunggulan-keunggulan. Bahkan bangsa Mongol yang meruntuhkan Baghdad dan terkenal dengan sifat barbarik, ketika masuk Islam, langsung merekrut para ilmuwan untuk mengembangkan pengetahuan.
Kaum muslimin dan muslimat jamaah shalat idul fitri yang Allah muliakan,
Hari ini kita berhadapan dengan suatu fenomena ironi. Akibat dari kemajuan media komunikasi dan digital, budaya ilmu semakin terkikis di tengah kita. Waktu kita lebih banyak habis di depan gadget, media sosial, dan youtube, ketimbang membaca buku atau menghadiri majelis ilmu.
Budaya membaca kita rendah. Kualitas pendidikan kita juga belum banyak meningkat. Budaya sekedar copy paste di perguruan tinggi menjamur. Pada saat Amerika Serikat, Eropa, dan Cina sedang berlomba-lomba dalam pengembangan sains, kita masih menjadi penonton pasif dan obyek tempat orang lain memasarkan ide dan gagasan.
Semangat menuntut ilmu di bulan Ramadhan harus kita rawat: berjalan abadi di bulan-bulan selanjutnya. Inilah yang akan membuat kita menjadi bangsa unggul dan berdaya saing. Inilah yang membuat kita menjadi umat yang selalu menang dalam kompetisi global.
Kaum muslimin dan muslimat jamaah shalat idul fitri yang Allah muliakan,
Demikian pesan idul fitri yang dapat saya sampaikan. Sebagai rangkuman: Ramadhan yang telah berlalu memberikan kita kekuatan iman untuk kita buktikan menjadi akhlak yang indah di kehidupan sehari-hari. Bulan Ramadhan juga mengajarkan kita untuk selalu mendekatkan diri kepada ilmu. Setiap saat, setiap waktu.
Doa
الْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُولِهِ الْـمُصْطَفَى، وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى
Ya Allah yang maha mendengar, segala puji hanya untuk Engkau. Hanya kepada-Mu kami berdoa, meminta tolong, berharap, dan menyadarkan semua keinginan kami.
Ya Allah Tuhan semesta Alam, sampaikan salawat kami kepada kekasih-Mu, junjungan kami, Nabi Muhammad Saw.
Ya Allah yang maha pengampun, ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa kedua orang tua kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami waktu kami kecil.
Ya Muqallibal qulūb (Wahai Zat yang maha membolak-balikkan hati kami), tetapkanlah hati kami dalam ketaatan kepada-Mu.
Jadikan hati kami istiqamah di jalan-Mu. Jangan Engkau bengkok kan hati kami setelah Engkau beri kami petunjuk di bulan Ramadan.
Ya Allah yang Maha mulia. Terimalah ibadah puasa kami, terima lah shalat tarawih dan tahajjud kami, terimalah sedekah dan zakat kami, terimalah baca al-Quran kami, terimalah seluruh ibadah kami di bulan-Mu yang mulia, bulan Ramadan.
Ya Allah yang maha mengetahui segala yang tersembunyi, yang mengetahui segala aib dan maksiat. Hidup kami penuh ya dosa, Ya Allah. Ampunilah dosa dan kealpaan kami di masa lalu. Sesungguhnya Engkau Maha pengampun.
Ya Allah yang maha menyatukan, satukan hati-hati kami dalam persaudaraan yang teguh dan ketaatan kepada-Mu. Jauhkan kami dari perpecahan yang dapat mengkerdilkan dan menghancurkan kami.
Ya Allah yang maha memberi kekuatan. Berikanlah kami kekuatan untuk meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kami sakiti.
Ya Allah yang pengasih lagi maha penyayang, berikan kami kelapangan dan kebesaran hati untuk memaafkan siapa saja orang yang pernah bersalah kepada kami, baik mereka meminta maaf atau tidak.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu ridha dan surga-Mu serta semua ucapan maupun perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya, dan kami berlindung kepada-Mu dari murka dan neraka-Mu serta semua ucapan maupun perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya.
Rabbanā ātinā fid dunyā ḥasanah, wa fil ākhirāti ḥasanah, waqinā ʿaẓaban nār.
======================================================================
[1] HR Bukhārī (1894), Muslim (1151), al-Tirmiẓi (764), al-Nasāī (2215), Ibn Mājah (1638), Aḥmad (7494)
[2] HR Abū Dāwūd (1609), Ibn Mājah (1827)
[3] HR Al-Bayhaqī dan al-Dāruquṭnī. Beberapa ulama menghukumi hadis ini lemah.
[4] HR Bukhāri (351) dan Muslim (890)
[5] HR Muslim (2565)
[6] https://www.pewresearch.org/religion/2021/12/14/about-three-in-ten-u-s-adults-are-now-religiously-unaffiliated/
[7] https://yaqeeninstitute.org/read/paper/the-problem-of-evil-a-multifaceted-islamic-solution; https://yaqeeninstitute.org/read/paper/why-do-people-suffer-gods-existence-the-problem-of-evil
[8] Thaha Abdurrahman, Suʿāl al-Akhlāq, Musāhamah fī al-Naqd al-Akhlāqī li al-Ḥadātsāh al-Gharbiyyah. Al-Dār al-Bayḍāʾ: al-Markaz al-Tsaqāfiy al-Arabiy, 2000; Wael Hallaq, Reforming Modernity: Ethics and the New Human in the Philosophy of Abdurrahman Taha. Columbia: Columbia University Press, 2019.
[9] QS Maryam 12
[10] QS al-Anʿam 155
=========================================================================
Klik tautan di bawah ini untuk mengunduh file khutbah Idul Fitri