BeritaProdukWacana

Pertumbuhan Pengertian dan Rumusan Manhaj Tarjih

Oleh: Ahwan Fanani (Makalah dalam Sosialisasi Manhaj Tarjih dan KHGT MTT PDM Kota Semarang 21 Juli 2024)

PENDAHULUAN

Istilah Manhaj Tarjih akhir-akhir ini semakin menempati posisi penting dalam pemikiran keagamaan di Muhammadiyah. Meski istilah Manhaj Tarjih baru mengemuka beberapa dasawarsa belakangan ini, namun substansi wawasan dan pola pemahamannya sudah berkembang semenjak awal perkembangan Muhammadiyah. Perumusan Manhaj Tarjih sejalan dengan tumbuhnya kesadaran di kalangan ulama Muhammadiyah bahwa wawasan, prinsip, pendekatan dan metode keagamaan Muhammadiyah perlu dirumuskan secara jelas agar bisa menjadi acuan bersama ulama dan warga persyarikatan.

Oleh karena itu Manhaj Tarjih sebenarnya adalah kristalisasi pandangan dan praktik keagamaan di Muhammadiyah ke dalam rumusan yang lebih jelas. Contohnya adalah Rumusan Pokok Manhaj Tarjih Tahun 1986 yang salah satu menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengikatkan diri dalam salah satu madzhab hukum, meskipun pendapat madzhab hukum bisa dijadikan rujukan sepanjang sejalan dengan jiwa Alquran, sunnah, dan dasar lain. Rumusan ini baru, tetapi sudah dipraktekkan di Muhammadiyah semenjak lama.

Sebelum berdirinya Majelis Tarjih tahun 1928 (setelah diusulkan pada Muktamar Tahun 1927), Muhammadiyah sudah menjalankan shalat Idul Adha di lapangan tahun 1925. Pada tahun 1927, Muktamar Muhammadiyah mendorong penggunaan bahasa pribumi dalam khutbah Jumat. Meskipun saat itu dianggap belum lumrah, saat ini khutbah menggunakan bahasa setempat, meski bacaan-bacaan tertentu masih berbahasa Arab sudah diterima luas. Praktik tersebut dahulu menimbulkan kritikan karena dipandang tidak sesuai dengan pendapat umum di kalangan madzhab fikih.

Hal yang sama berlaku pada penggunaan hisab untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Meski penggunaan hisab tidak dimulai oleh Muhammadiyah, namun Muhammadiyah dikenal sebagai pendukung penggunaan hisab, yang di kalangan ulama madzhab pun bukan dipandang sebagai pendapat mu’tamad mereka. Hisab dipergunakan pula oleh Kiai Ahmad Dahlan untuk mengukur ulang arah kiblat. Penggunaan hisab secara penuh ini ternyata lebih sesuai untuk Menyusun kalender Hijriyah Global.

Semua itu menunjukkan bahwa Manhaj Tarjih, meskipun baru dirumuskan secara rinci tahun 1986-an dan disempurnakan secara sistemik tahun 2000, telah dipraktikkan sejak awal perkembangan Peryarikatan. Manhaj Tarjih adalah ekstraksi dan perluasan pemahaman dan praktik keagamaan dan ijtihad para ulama Muhammadiyah dari masa ke masa. Makalah pendek ini dimaksudkan untuk menguraikan apa dan bagaimana Manhaj Tarjih untuk mendeskripsikan perkembangn konsep tarjih dan rumusan Manhaj Tarjih.

APA MANHAJ TARJIH

Istilah Manhaj Tarjih terdiri dari dua kata, yaitu ‘manhaj’ dan ‘tarjih’. Term manhaj sebenarnya tidak lazim dipergunakan dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam, metode ijtihad dibahas dalam ushul fikih dan kaidah fikih, sedangkan hasilnya dibahas dalam ilmu fikih. Dus, istilah manhaj tidak sama dengan ushul fikih, meskipun di Muhammadiyah kaidah-kaidah ushul menjadi bagian dari ‘Manhaj Tarjih.’ Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2015-2022, menjelaskan bahwa istilah ‘Manhaj Tarjih’ secara harfiah berarti cara melakukan tarjih, namun Manhaj Tarjih lebih dari sekedar cara bertarjih.[1] Penjelasan tersebut menegaskan bahwa manhaj berarti cara, tetapi pada praktiknya Manhaj Tarjih memiliki pengertian lebih luas dari sekedar cara ber-istinbath atau berijtihad dalam bidang hukum.

1. Perkembangan Pengertian Tarjih

a. Pengertian Tarjih

Penjelasan mengenai istilah Manhaj Tarjih tidak dapat dilepaskan dari istilah tarjih. istilah tarjih dikenal dalam disiplin ushul fikih, sebagai mekanisme penyelesaian terhadap pertentangan dua dalil yang secara lahiriyah mengandung petunjuk yang bertentangan. Contohnya, dalam satu Riwayat Nabi Muhammad melarang buang air dengan menghadap atau membelakangi kiblat, tetapi pada Riwayat lain sahabat Abdullah bin Umar melihat beliau buang air membelakangi kiblat.[2]

Kedua dalil tersebut mengandung ta’arudl (pertentangan petunjuk) sehingga memerlukan penyelesaian. Mekanisme pertama penyelesaian ta’arudl adalah dengan kompromi antardalil (jam’ wa taufiq). Jika diterapkan kompromi, maka Riwayat pertama diperlakukan sebagai dalil umum, sedangkan Riwayat kedua diperlakukan sebagai dalil khusus. Kesimpulannya, jika buang air itu dilakukan di luar ruangan atau pada tempat terbuka maka tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat. Sebaliknya, apabila buang air itu dilakukan di tempat tertutup, maka boleh dengan menghadap atau membelakangi kiblat.

Apabila kompromi tidak bisa dilakukan, pertentangan dalil itu bisa diselesaikan melalui tarjih atau nasakh. Tarjih didefinisikan sebagai penguatan salah satu sisi (pengertian dalil) atas pengertian dalil lain.[3] Penguatan itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kekuatan sanad, dengan mempertimbangkan matan (isi hadis), dengan mempertimbangkan petunjuk dalil, atau dengan mempertimbangkan faktor lain.

Contoh tarjih adalah ketika ada dua dalil bertentangan dapat ditemukan pada dua riwayat berikut. Dalil pertama adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim dari istri-istri Nabi Muhammad:

اَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا

Bahwasanya Nabi Muhammad pernah terbangun subuh (pada waktu puasa) dalam keadaan junub

Sementara itu, dalil lain adalah riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah:

مَنْ يُصْبِحُ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ

Barangsiapa pada saat subuh dalam kondisi junub, maka tidak sah puasanya

Kedua hadis ini bertentangan petunjuknya karena hadis pertama menunjukkan bahwa orang yang junub pada waktu subuh tidak batal puasanya, sedangkan hadis kedua menunjukkan bahwa orang junub pada waktu subuh batal puasanya. Ketika dilakukan tarjih dengan melihat aspek sanad, hadis pertama (Bukhari dan Muslim) diriwayatkan dari para istri Nabi Muhammad, sedangkan hadis kedua (Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban) diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dalam perkara junub yang bersifat personal dan privat, riwayat isteri Nabi Muhammad dipandang lebih kredibel dibandingkan Riwayat sahabat yang tidak tinggal satu rumah, yang dalam hal ini adalah Abu Hurairah.

Istilah tarjih dipakai pula dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam madzhab fikih. Contoh, Imam Syafi’i pada qaul qadim berpendapat bahwa waktu shalat maghrib dimulai dengan tengelamnya matahari dan berakhir dengan hilangnya mega merah di langit. Namun, pada qaul jadid, Imam Syafi’i berpendapat bahwa waktu shalat maghrib adalah sekira cukup untuk azan, wudlu, menutup aurat, iqamat dan shalat lima 5 rakaat. Akhirnya berdasarkan penelitian terhadap hadis, Imam Nawawi men-tarjih qaul qadim, bukan qaul jadid yang lazimnya dipandang mewakili madzhab Syafi’i.[4]

Tarjih dalam pengertian “memilih pendapat paling kuat berdasarkan pemeriksaan dalil” itulah yang menjadi alasan awal berdirinya Majelis Tarjih. Majelis Tarjih dibentuk untuk membahas dan memutuskan permasalahan agama yang diperselisihkan oleh warga Persyarikatan dengan mengambil pendapat yang kuat.[5] Majelis Tarjih ini digagas oleh K.H. Mas Mansur yang melihat perlunya dibentuk majelis yang membahas masalah agama untuk menyikapi banyaknya perbedaan pendapat dan faham mengenai hukum agama di Masyarakat yang rawan menimbulkan perpecahan.[6]

Jadi, latar belakang lahirnya Majelis Tarjih adalah untuk merespon perbedaan pendapat hukum sehingga tarjih yang dijalankan adalah terkait penyelesaian perbedaan pendapat. Tugas yang pertama dijalankan Majelis Tarjih adalah menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyah terkait ibadah mahdlah. Tidak mengherankan apabila tema-tema yang dibahas oleh Majelis Tarjih antara tahun 1928 – 1953 banyak terkait dengan ibadah mahdlah, perawatan jenazah, dan wakaf.

Pengertian tarjih yang masih terbatas itu berimbas kepada perumusan ushul fikh oleh Majelis Tarjih. Bahasan ushul fikih oleh Majelis Tarjih awalnya hanya berisi kaidah-kaidah mengenai hadis, seperti hadis mauquf, hadis mursal, hadis dlaif yang berbilang jalur, prioritas jarh atas ta’dil, dan penerimaan riwayat mudallis. Sebagai organisasi yang mengajak untuk kembali kepada Alquran dan sunnah, Majelis Tarjih Muhammadiyah pun menyelesaikan masalah hukum dengan menggunakan langsung dalil Alquran dan hadis. Seiring perkembangan, tema dan metode istinbath di Majelis Tarjih semakin luas dan variatif.

b. Pengertian Manhaj Tarjih

Perkembangan pengertian Manhaj Tarjih tidak lepas dari perluasan pengertian tarjih. Syamsul Anwar menegaskan bahwa aktivitas ketarjihan adalah kegiatan intelektual untuk merespon masalah sosial dan kemanusiaan melalui sudut pandang agama Islam. Manhaj Tarjih ia artikan sebagai: suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan (atau semangat/perspektif), sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan.[7] Pengertian tersebut menunjukkan bahwa Manhaj Tarjih bukan sekedar cara untuk berijtihad dalam bidang hukum Islam, melainkan wawasan, pendekatan, hingga metode praktis dalam melakukan kegiatan ke-tarjih-an, yang merupakan upaya untuk menjawab masalah sosial dan kemanusiaan dengan sudut pandang agama Islam.

Pada Munas ke-32 di pekalongan tahun 2024, pengertian Manhaj Tarjih mengalami penyempurnaan. Manhaj Tarjih diartikan sebagai: sistem yang memuat wawasan, sumber, pendekatan, dan prosedur teknis tertentu dalam melakukan aktivitas intelektual untuk merespon masalah sosial dan kemanusiaan dari perspektif agama Islam. Pengertian Manhaj Tarjih di atas menyempurnakan rumusan yang dikemukakan oleh Syamsul Anwar dengan memperteguh posisi Manhaj Tarjih, bukan hanya sebagai cara ber-istinbath dalam bidang hukum Islam, tetapi sebagai cara pandang keagamaan dan cara untuk memahami agama.

2. Perluasan Tugas Tarjih

Perluasan pengertian Manhaj Tarjih tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Perluasan tersebut tidak lepas dari perluasan tugas Majelis Tarjih pada tahun 1961 dan kemudian tahun 1971-an dalam Qaidah Lajnah Tarjih. Istilah Lajnah Tarjih muncul tahun 1961 dan semakin jelas tahun 1971, sebagai Lembaga yang menangani masalah ketarjihan dibawah koordinasi Majelis Tarjih Pusat. Namun, pada praktiknya istilah Majelis Tarjih lebih popular dan resmi dipergunakan sampai saat ini[8]. Tugas Lajnah Tarjih menurut Keputusan PP Muhammadiyah Tahun 1971 adalah sebagai berikut:

  1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya
  2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah dunyawiyah
  3. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun inisiatif sendiri oleh Majelis berdasarkan nilai kepentingan
  4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahah
  5. Mempertinggi mutu ulama
  6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan[9]

Dengan Qaidah tersebut, tugas ketarjihan semakin luas. Tugas tarjih mencakup penelitian masalah agama; penyusunan tuntunan akidah, ibadah, dan akhlak; memberikan fatwa, sarana mediasi ikhtilaf, penelitian dan pengkajian ajaran Islam, dan pendidikan ulama. Dengan tugas demikian, ketarjihan mencakup masalah penelitian, pendidikan, fatwa, dan penyusunan tuntunan tidak hanya dalam masalah hukum Islam, melainkan juga dalam bidang pemikiran Islam. Karena itu, peran Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) adalah dalam keputusan ketarjihan dan pengembangan pemikiran pembaharuan dalam Islam.[10]

Sejalan dengan perluasan tugas tersebut, nama Majelis Tarjih mengalami perubahan-perubahan. Majelis Tarjih berubah nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) Pada Muktamar Muhammadiyah Tahun ke-41 di Banda Aceh 1995 (pada kepemimpinan Prof. Amin Abdullah) dan kemudian menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) pada tahun 2005 (pada kepemimpinan Prof. Syamsul Anwar). Aktivitas ketarjihan tidak terbatas pada istinbath (penggalian) hukum, melainkan juga dalam bidang pengembangan pemikiran (tajdid) yang menjadi ruh Persyarikatan.

3. Perkembangan Rumusan Manhaj Tarjih

Rumusan Manhaj Tarjih mengalami perkembangan secara bertahap. Manhaj Tarjih tidak dirumuskan jadi sejak awal berdirinya Majelis Tarjih pada tahun 1927/ 1928, melainkan setelah melalui serangkaian diskusi dan perdebatan yang panjang. Berikut ini adalah pokok-pokok Manhaj Tarjih yang disusun menurut perkembangannya.

a. Masalah Lima

Manhaj Tarjih mengalami perkembangan secara bertahap dan semakin menemukan bentuknya akhir-akhir ini. Rumusan Manhaj Tarjih yang bersifat ideologis dapat ditemukan dalam Masalah Lima yang diputuskan dalam Muktamar Khususi Majelis Tarjih di Yogyakarta pada tanggal 29 Desember 1954 s.d. 3 Januari 1955. Masalah Lima ini lahir dari upaya KH Mas Mansur untuk menjawab pertanyaan mengenai pengertian beberapa hal mendasar, yang terkait dengan Amal Usaha Persyarikatan pada tahun 1935 dan dipidatokan pada akhir Kepemimpinannya di PP Muhammadiyah tahun 1952. Amal Usaha Persyarikatan banyak yang terinsipirasi oleh gerakan agama lain, khususnya dalam bidang kendidikan, kesehatan, dan sosial sehingga perumusan Masalah Lima dapat dipandang sebagai Upaya untuk memposisikan persoalan sosial yang terbuka untuk inisiasi dan mana persoalan yang menjadi ranah agama.

Masalah Lima inilah yang menjadi landasan bagi Muhammadiyah untuk menyikapi hubungan antara agama, dunia, dan ibadah. Ahmad Azhar Basyir, Ketua Majelis Tarjih Tahun 1985-1990 memandang Masalah Lima ini sebagai rumusan strategis ang menggambarkan alam pikiran Muhammadiyah mengenai Islam.[11] Arti penting Masalah Lima terletak pada definisi yang jelas mengenai agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas. Pengertian agama menjadi dasar untuk memahami mana yang termasuk ajaran agama dan mana yang bukan. Pengertian dunia memperjelas wilayah pembaharuan atau dinamisasi yang terbuka luas tanpa terkena kategori bid’ah. Pengertian ibadah memperjelas ibadah yang sah menurut agama dan mencegah penyimpangan dalam ibadah. Pengertian sabilillah dan qiyas memperjelas ruang untuk berdakwah di jalan Allah dan penerapan norma agama dalam persoalan-persoalan baru.

b. Kaidah Ushul Fikih

Kaidah ushul fikih dibahas lebih jelas dalam Muktamar Tarjih XXI di Klaten bulan April Tahun 1980 dan telah masuk dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Kaidah ushul fikih ini hanya memuat pembahasan mengenai status hadis, yang meliputi tujuh persoalan, yang dikemukakan di sini secara singkat idenya, yaitu:

  • kehujjahan hadis mauquf
  • kehujjahan hadis mauquf yang dihukumi marfu’
  • kehujjahan hadis mursal shahabi
  • kehujjahan hadis mursal tabi’i
  • kehujjahan hadis dla’if
  • kaidah jarh wa ta’dil
  • riwayat dari mudallis

Jadi, bahasan qaidah ushul fikih ini tidak menggambarkan seluruh tema ushul fikih, melainkan terbatas pada bahasan mengenai kaidah kehujjahan beberapa macam hadis. Qaidah ini menjadi dasar bagi ijtihad secara langsung dengan mengacu kepada hadis karena bahasan-bahasan di atas menjadi obyek perbedaan pendapat di kalangan ulama hadis.

c. Pokok Manhaj Tarjih Tahun 1986

Pokok Manhaj Tarjih dirumuskan oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah hasil Muktamar ke-41 di Surakarta Tahun 1985. Pada tahun 1986 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih tersebut disebarkan ke seluruh wilayah dan dapat diterima. Pokok-Pokok Manhaj Tarjih Kaidah ini memuat pembahasan yang luas, baik menyangkut wawasan, dan metode dalam memahami agama meskipun tidak diuraikan berdasarkan bab. Pokok-Pokok Manhaj Tarjih ini tidak hanya memuat pandangan mengenai hukum Islam, melainkan juga wawasan beragama hingga penggunaan dalil dalam bidang akidah. Pokok-Pokok Manhaj Tarjih tersebut ada 18 dengan ringkasan gagasan sebagai berikut:[12]

  1. Alquran dan sunnah sahihah sebagai dasar istidlal (pengambilan hukum dari dalil)
  2. Keputusan melalui musyawarah dengan ijtihad jama’i (kolektif)
  3. Tidak mengikatkan diri pada madzhab, tetapi dapat menggunakan pendapat madzhab sebagai bahan pertimbangan
  4. Berprinsip terbuka dan toleran
  5. Penggunaan dalil mutawatir dalam bidang akidah
  6. Tidak menolak ijma’ sahabat
  7. Penyelesaian ta’arudl adillah (pertentangan petunjuk antardalil) dengan kompromi baru tarjih
  8. Menggunakan sadd dzari’ah
  9. Ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami Alquran dan sunnah sesuai dengan tujuan syariah
  10. Penggunaan dalil secara komprehensif, utuh dan bulat
  11. Hadis ahad bisa mentakhshis dalil umum Alquran, kecuali dalam bidang ibadah
  12. Prinsip taysir (memudahkan)
  13. Akal bisa dipergunakan dalam memahami masalah ibadah dari Alquran dan sunnah sepanjang diketahui latar dan tujuan
  14. Akal diperlukan dalam perkara dunia untuk kemaslahatan
  15. Pemahaman sahabat terhadap dalil musytarak bisa dipergunakan
  16. Makna dzahir didahulukan atas takwil dalam bidang akidah
  17. Jalan ijtihad: ijtihad bayani, ijtihad qiyasi, dan ijtihad istishlahi
  18. Kaidah-kaidah menggunakan hadis, sebagaimana disebutkan di atas[13]

Pokok-pokok Manhaj Tarjih di atas merupakan rumusan pertama yang detail mengenai Manhaj Tarjih. Meskipun belum sistematis, tapi-tapi pokok-pokok tersebut telah mengeksplisitkan berbagai pandangan, pemahaman, praktik ijtihad dan tajdid di Muhammadiyah.

d. Manhaj Tarjih Tahun 2000

Rumusan Manhaj Tarjih yang lebih sistematis dapat ditemukan dalam hasil Musyawarah Tarjih tahun 2000. Pada tahun ini dilangsungkan dua kali Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-24 tanggal 29-31 Januari 2000 di Universitas Muhammadiyah Malang dan Munas ke-25 tanggal 5 s.d. 8 Juli 2000 M di Pondok Gede Jakarta. Pembahasan mengenai Manhaj Tarjih tersebut dilanjutkan pada Munas ke-26 tanggal 1 s.d.5 Oktober 2003 di Padang. Di antra bahasan pada Munas-Munas tersebut adalah Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Rumusan Munas ke-24 di Malang tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam disahkan pada Munas ke-25 di Jakarta dan. Munas ke-26 di Padang mengamanatkan pengkajian lebih lanjut rumusan tersebut dan menyosialisasikannya kepada masyarakat.

Pembahasan mengenai Manhaj pada Munas ke-24 berlangsung menjadi alot sehingga dilanjutkan dengan Munas enam bulan selanjutnya pada tahun yang sama. Isu yang menjadi polemik adalah mengenai pendekatan bayani, burhani, dan irfani, dengan pendekatan irfani yang masih diperselisihkan. Namun secara bertahap ketiga pendekatakan tersebut telah diterima luas. Hasil dari Munas ke-24 mencakup beberapa hal, yaitu:

1) Sumber Ajaran: Alquran dan sunnah maqbulah yang dipahami secara komprehensif dan integralistik dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara spiral serta penegasan kembali Masalah Lima

2) Manhaj Ijtihad Hukum, yang mencakup:

    • Menjelaskan berbagai istilah teknis dalam hukum, seperti ijtihad, maqashid syariah, ittiba’, taqlid, talfiq, tarjih, sunnah maqbulah, taabbudi, taqquli, qathi’ wurud dan dalalah, dzanni wurud dan dalalah, tajdid dan pemikiran
    • Sumber hukum dan kedudukan Ijtihad. Sumber hukum adalah Alquran dan sunnah sahihah dan ijtihad berdasarkan persamaan illat
    • Pengertian, posisi dan fungsi ijtihad. Posisi ijtihad adalah sebagai metode penetapan hukum, bukan sumber hukum. Lingkup ijtihad adalah masalah-masalah dzanni dan masalah yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah secara eksplisit.
    • Metode, Pendekatan Teknik. Metode: bayani – ta’lili – istislahi. Pendekatan: hermeneutik, historis, sosiologis, dan antropologis. Teknik: ijma – qiyas – mashalih mursalah – urf
    • Ta’arud al-Adillah. Urutan penyelesaian: al-jam’ wa al-taufiq tarjih – nasakh – tawaqquf (ditangguhkan). Tarjih dengan melihat segi: sanadmatan – materi hukum – eksternal.
    • Beberapa kaidah mengenai hadis: kehujjahan hadis mauquf murni – kehujjahan mauquf marfu’qarinah hadis mauquf yang marfu’ – kehujjahan mursal tabi’i – kehujjahan mursal sahabi – hadis dlaif yang banyak jalur – mendahulukan jarh atas ta’dil – penggunaan penafsiran sahabat atas lafal musytarak – mendahulukan makna dzahir atas tafsir sahabat

3) Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam

a) Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam

      • Sumber: Sumber Islam adalah Alquran dan sunnah. Sumber Pemikiran Islam: teks, ilham, realitas
      • Fungsi Pemikiran Islam: mendukung universalisme Islam sebagai petunjuk menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial
      • Metode: ikhbari (naqli) dan nadzari (aqli)
      • Manhaj pemikiran yang dikembangkan dalam Manhaj Tarjih adalah penerjemahan dari

b) Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam

      • Mura’ah (konservasi) atau pelestarian nilai dasar dalam wahyu
      • Tahditsi (inovasi) atau penyempurnaan ajaran Islam
      • Ibda’i (kreasi) atau penciptaan rumusan pemikiran Islam

c) Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam

      • Pendekatan bayani
      • Pendekatan burhani
      • Pendekatan irfani

Selain rumusan di atas, Syamsul Anwar menambahkan aspek wawasan dalam Manhaj Tarjih. Wawasan ini sudah dikandung dalam Pokok Manhaj Tarjih 1986, namun dalam rumusan tahun 2000 justru tidak terjabarkan. Wawasan tersebut antara lain:

a) Wawasan paham agama (mengacu pada definisi agama dalam Masalah Lima)

b) Wawasan Tajdid:

      • Pemurnian dalam bidang akidah dan ibadah
      • Mendinamisasikan kehidupan masyarakat

c) Wawasan Toleransi, yaitu bahwa putusan tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar dan tidak menjatuhkan pendapat yang tidak dipilih oleh tarjih

d) Wawasan Keterbukaan, yaitu bahwa putusan tarjih dapat dikritik dalam rangka perbaikan

e) Tidak berafiliasi madzhab tertentu, meski tidak menafikan pendapat fukaha.[14]

e. Penyempurnaan Manhaj Tarjih 2024

Pada Munas Tarjih ke-32 Pekalongan 23-25 Februari 2024 terdapat beberapa penyempurnaan rumusan wawasan dalam Manhaj Tarjih. Hasil Munas ke-32 tersebut terkait dengan Manhaj Tarjih adalah menyangkut pengertian, wawasan, dan sumber tarjih.

1) Pengertian Manhaj Tarjih menurut Hasil Munas Pekalongan 2024 adalah sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian pengertian tarjih di muka

2) Wawasan dalam Manhaj Tarjih dalam rumusan Munas Pekalongan 2024 menegaskan kembali wawasan-wawasan yang dikemukakan oleh Syamsul Anwar, namun meniadakan rumusan wawasan “tidak berafiliasi madzhab,” dan menggantinya dengan “wawasan wasthiyah” (wawasan moderasi), yang didasarkan atas Risalah Islam Berkemajuan hasil Muktamar ke-48 di Surakarta tahun 2022

3) Pengakuan atas sumber paratekstual. Sebelumnya, Muhammadiyah hanya mengakui dua sumber agama, yaitu Alquran dan sunnah sahihah/ maqbulah. Pandangan tersebut masih dipertahankan, yaitu bahwa Alquran dan sunnah adalah sumber utama ajaran Islam. Selain itu, dalil-dalil ijma’, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab dan urf diakui sebagai sumber paratekstual setelah pada rumusan Manhaj Tarjih 2000, dalil-dalil tersebut masuk dalam Teknik ijtihad. Sumber paratekstual lebih sesuai disebut sebagai ‘dalil paratekstual’ untuk tidak mengacaukannya dengan sumber.

RELEVANSI MANHAJ TARJIH

Manhaj Tarjih sebenarnya merupakan penjabaran dari semangat dasar persyarikatan. Muhammadiyah berdiri untuk mengadakan tajdid atau pembaharuan. Tajdid, menurut Umar Hasyim, adalah upaya untuk mengembalikan wajah beku Islam. Ciri khas dari semangat pembaharuan Islam, menurut HAR Gibb, ada empat. Pertama adalah membersihkan Islam dari pengaruh yang tidak sejalan (bid’ah dan khurafat). Kedua dalah pembaharuan pendidikan untuk mempertinggi martabat umat Islam. Ketiga adalah pembaharuan rumusan ajaran Islam agar sejalan dengan alam pikir modern. Keempat adalah pembelaan Islam dari pengaruh sekulerisme Barat dan ajaran Nasrani.[15] Manhaj Tarjih menyediakan wawasan keagamaan dan pendekatan sekaligus metode dalam menjawab masalah sosial-keagamaan melalui kacamata agama Islam.

Semangat tarjih tidak lepas dari dua kata kunci gerakan Muhammadiyah. Kunci gerakan Muhammadiyah adalah purifikasi dan dinamisasi. Kata kunci pertama menunjukkan sifat keagamaan Muhammadiyah dan kata kunci kedua menunjukkan sikap Muhammadiyah terhadap kemajuan. Purifikasi artinya pembersihan agama dari unsur-unsur yang tidak sejalan dan dinamisasi berarti sikap Muhammadiyah yang terbuka dan aktif dalam pengembangan kehidupan sosial-kemasyarakatan. Dua kata kunci tersebut dapat dilihat cerminanya pada Masalah Lima di atas.

Semangat itu juga yang tercermin dalam berbagai dokumen Persyarikatan. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup ditegaskan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran Islam dalam bidang akidah, akhlak, ibadah dan muamalah. Dalam bidang akidah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam. Dalam bidang akhlak, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam bidang ibadah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah sebagaimana dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Sementara itu, dalam bidang muamalah duniawiyah Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat duniawiyah berdasarkan ajaran agama dan menjadikannya sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT.[16]

Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ditegaskan bahwa landasan dan pedoman hidup warga Persyarikatan adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan pengembangan dari pemikiran-pemikiran formal (baku) yang berlaku dalam Muhammadiyah, seperti; Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Kepribadian muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, dan hasil-hasil Keputusan Majelis Tarjih.[17] Oleh karena itu, Manhaj Tarjih adalah bagian dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah yang selaras dan berkelindan dengan berbagai dokumen pokok persyarikatan lainnya.

PENUTUP

Manhaj Tarjih menempati posisi penting bagi Muhammadiyah sebagai satu system sosial. Menurut Talcott Parsons, setiap sistem sosial memerlukan empat prasyarat untuk keberfungsiannya, yaitu, yaitu adaptation (adaptasi), goal attaintment (pencapaian tujuan), integration (kemampuan menjaga keutuhan), dan latency atau pattern maintenance (pemeliharaan pola). Keempatnya dibutuhkan organisasi untuk bisa eksis dan lestari. Adaptasi adalah kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri dan mengontrol lingkungan. Pencapaian tujuan adalah kemampun sistem untuk merumuskan tujuan yang menjadi arah kegiatan sosial. Integrasi adalah kemampuan untuk menyelesaikan konflik dan mengkoordinasi seluruh elemen sistem. Latensi adalah pemeliharaan dan pelembagaan nilai dasar.[18]

Manhaj Tarjih menjadi bagian penting bagi sistem sosial di Persyarikatan untuk melakukan adaptasi, penentuan arah organisasi, integrasi anggota, dan pemeliharaan nilai dasar Muhammadiyah. Kekuatan nilai ini menjadi modal melestarikan semangat dan gerak perjuangan Muhammadiyah. Kemampuan sistem sosial untuk hidup dan lestari tidak bisa dilepaskan dari kemampuan untuk memelihara dan melembagaan nilai-nilai dasar tersebut. Sosialisasi Manhaj Tarjih adalah sarana untuk pemeliharaan pola dan nilai dasa tersebut bagi warga Persyarikatan.

FOOTNOTE

[1] Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid. 2018): 6

[2]https://tarjih.or.id/sejarah-majelis-tarjih/ Unduh 16 Juli 2024

[3]Abdul Hamid Hakim. Al-Bayan. (Jakarta: Penerbit Saadiyah Putra, T.Th). 181

[4]Lihat Musthafa Dib al-Bigha. Al-Tadzhib fi Halli Matn Abi Syuja’. (Surabaya: al-Haramain. 2010): 28-29

[5]Fathurahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Logos Publishing House. 1995): 64-67

[6]Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan Bekerjasama dengan Lembaga Pustaka dan Informasi. 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan. (Jakarta: Kompas: 2010): 103

[7]Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih: 10

[8]https://tarjih.or.id/sejarah-majelis-tarjih/. Unduh 15 Juli 2024

[9]Lihat dalam Slamet Warsidi. “Fiqh Indonesia: Tradisi Ijtihad dalam Muhammadiyah.” Dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Penyunting). Fiqh Indonesia dalam Tantangan. (Surakarta: FAI UMS. 1991): 49

[10]Sudarno, Syamsul Hidayat dan Mahasri Shohabiya. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi. (Surakarta: LPID Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2010): 102-103

[11]Syamsul Hidayah. Konstruksi Metodologi Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Profetika. Vol. 9, No. 1 (Januari 2007): 99-125

[12]Lihat uraiannya dalam Asmuni Abdurrahman. Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004): 24 dan 84.

[13]Fathurahman Djamil. Metode Ijtihad: 163-164

[14]Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih: 11-19

[15]Umar Hasyim. Muhammadiyah Jalan Lurus, dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, dan Pendidikan: Kritik dan Terapinya. (Surabaya: Bina Ilmu. 1990): 1-3

[16]Lihat Umar Hasyim. Muhammadiyah Jalan Lurus: 216-217

[17]Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2012): 2-3

[18]Michael Haralambos, Martin Holborn, dan Robin Herald. Sociology: Themes ad Perspectives. (London: HarperCollins Publishers Limited. 2008): 860

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button