HUKUM TAKBIR KELILING
Pertanyaan dari:
Sukamto di Ngagul RT.01/V – Muktiharjo – Pati
[Suara Muhammadiyah No. 24 tahun ke-82/1997]
Pertanyaan:
Menurut pembina agama di tempat kami, takbir keliling itu tidak ada tuntunannya dan tidak mengandung nilai syiar apalagi nilai ibadahnya, tetapi malah mengganggu orang lain. sementara kami selalu mengadakan takbir keliling di malam hari raya. Bagaimana menurut pendapat Majelis Tarjih (team fatwa)?
Jawaban:
Takbir keliling yaitu membaca takbir dengan cara dikomando biasanya dilakukan dengan berjalan kaki atau berkendaraan keliling melewati kampung-kampung atau jalan raya. Takbir dengan cara ini memamg tidak dijumpai hadits yang menerangkan seperti itu. Namun demikian, praktek membaca takbir dua hari raya, dapat ditemukan contohnya.
- Dalam riwayat Imam Asy-Syafi’i
(حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا غَدَا إِلَى الْمُصَلَّى كَبَّرَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ. وَفِى رِوَايَةٍ كَانَ يَغْدُو إِلَى الْمُصَلَّى حَتَّى إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ (رواه الشافعى
Artinya: Hadits dari Ibnu Umar (yang memberitakan) bahwa apabila ia berangkat ke tempat shalat ia membaca takbir dan ia nyaringkan suara takbirnya. Dan pada riwayat lain (menceritakan): Ia berangkat ke tempat shalat sampai imam duduk, baru ia berhenti takbir. (Riwayat Imam Asy-Syafi’i)
- Dalam riwayat al-Bukhari
ذَكَرَهُ الْبُخَارِى عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ تَعْلِيْقًا أَنَّهُمَا يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوْقِ أَيَّامَ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُالنَّاسُ بِتَكْبِيْرِهِمَا. وَ ذَكَرَ الْبَغَاوِىُّ والبيهقى ذالك وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ شِدَّةِ تَحِرَّيْهِ لِلسُّنَّةِ يُكَبِّرُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الْمُصَلَّى.
Artinya: Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar (tanpa sanad) bahwa keduanya pergi ke pasar, pada hari kesepuluh sambil membaca takbir dan orang-orang mengikuti takbir mereka. Hal yang demikian juga diriwayatkan oleh al-Bagawi dan al-Baihaqi, bahwasannya Ibnu Umar itu sebagai orang yang selalu memperlihatkan tuntunan nabi membaca takbir dari rumahnya sampai ke tempat shalat.
- Dalam riwayat Ahmad, Ibnu ad-Dunya dan lain-lain
حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عله وسلم: مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلَ فِيْهِنَّ مِنْ هذِهِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ وَالتَّهْلِيْلِ (رواه أحمد وابن أبى الدنيا والبيهقى والطبران)
Artinya: Hadits Ibnu Umar mengatakan: Rasulullah pernah bersabda: “Tiada hari yang lebih besar bagi Allah dan tiada pekerjaan pada hari-hari itu yang lebih disukai Allah dari pada hari-hari sepuluh itu. Oleh karenanya selama itu hendaklah kamu perbanyak membaca” “La ilaha illalla- Allahu Akbar- Al-Hamdulillah.” (HR. Ahmad – Ibnu Abi Dunya dan lain-lainnya)
Dari hadits-hadits di atas, bahwa takbir yang dikumandangkan pada dua hari raya, di samping bermakna syukur pada hari yang penuh kegembiraan juga sekaligus syiar akan keagungan Allah.
Persoalan takbir akan mengganggu orang lain, hal itu tergantung situasi dan cara pelaksanaannya. Jika dilakukan secara beramai-ramai di jalan raya, karena begitu gembiranya, biasanya peserta takbir keliling yang begitu banyak tidak memperdulikan lingkungannya sehingga bisa terjadi kecelakaan. Begitu juga bacaan takbir yang keras (lebih-lebih dengan pengeras suara) pada tengah malam sementara masyarakat sekitar tengah tidur atau istirahat, boleh jadi akan mengganggu mereka. Oleh karena itu takbir akan bernilai syiar apabila dilakukan secara tertib dengan tetap memperdulikan lingkungan, waktu dan teknis pelaksanaannya.