BeritaEtalase

Book Review: Dari Cerenti ke Pulau Midai

Cerita Hidup H. Abbas dan Hj. Maryam

Judul buku      : Dari Cerenti ke Pulau Midai “Cerita Hidup H. Abbas dan Hj. Maryam”
Penulis            : Syamsul Anwar

Penerbit          : IB Pustaka, PT Litera Cahaya Bangsa
Tanggal terbit : 1 Februari 2022
Tempat terbit  : Yogyakarta
Tebal              : xviii + 302 halaman
Nomor ISBN : 978-623-95535-6-2

Syamsul Anwar, guru besar UIN Sunan Kalijaga, banyak menulis tentang masalah-masalah di seputar Hukum Islam. Misalnya buku terakhir sebelum buku ini yang beliau tulis adalah Fatwa Ramadan  yang memuat fatwa-fatwa beliau menyangkut ibadah puasa Ramadan dan diterbitkan oleh IB Pustaka (2021). Kali ini Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid ini menulis tentang sejarah dan biogrtafi dalam buku berjudul Dari Cerenti ke Pulau Midai: Cerita Hidup H. Abbas dan Hj. Maryam.

Cerenti dan pulau Midai adalah dua negeri  berjauhan. Yang pertama terletak di tengah-tengah pedalaman pulau Sumatera (Riau Daratan), dan yang kedua terletak di tengah-tengah Laut Natuna (Riau Lautan). Namun keduanya terkait erat dan dipertautkan satu sama lain oleh kisah-kisah kehidupan warganya.

Buku ini merekam cerita hidup H. Abbas dan Hj. Maryam yang telah menjalani kehidupannya hampir 1 abad. Keduanya adalah orang Kuantan, tetapi lahir di tempat berbeda. Abbas lahir dan dibesarkan di Cerenti, dan Maryam lahir di Midai, dibesarkan di Cerenti. Namun keduanya mencari peruntungan dan menjalani sebagian besar hidup mereka di pulau Midai sebagai perantau.

Ada beberapa alasan mengapa rekaman cerita hidup ini perlu dibuat. Pertama adalah untuk mengabadikan kenangan kedua sosok tersebut, yang merupakan satu dari mata rantai yang mempertalikan dua negeri berjauhan itu. 

Kedua adalah bahwa sejarah hidup seseorang tidak hanya sejarah khusus bagi orang itu saja. Cerita hidup seseorang adalah juga cerita hidup satu kelompok masyarakat di mana orang itu menjadi bagiannya. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam kebersamaan dengan yang lainnya dalam suatu ruang sosio-budaya dan historis yang sama dan diikat oleh tradisi kultural  yang sama pula. Walaupun di dalamnya terdapat keragaman, namun keragaman itu tidak dapat meniadakan unsur-unsur umum yang menjadi milik bersama komunitas tersebut. Oleh karenanya penulisan cerita hidup dua warga Midai ini juga dapat mewakili gambaran tentang masyarakat pulau Midai secara umum.

Buku ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama memuat deskripsi kondisi geografis dan klimatologis serta kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan agama kedua negeri tersebut, Cerenti dan pulau Midai. Bab kedua memuat sejarah pulau Midai secara lebih detail, tempat di mana banyak orang-orang Cerenti merantau dan di mana H. Abbas dan Hj. Maryam menghabiskan lebih dari setengah abad hidup mereka. Pulau ini mulai dibuka pada awal perempat terakhir abad ke-19 melalui projek klappercultuur (budidaya tanaman kelapa) dan coprahandel (perdagangan kelapa) yang diinisiani oleh beberapa pedagang Melayu dan khususnya oleh para bangsawan Kerajaan Riau-Lingga. Projek klappercultuur dan coprahandel ini berhasil membawa kemakmuran kepada penduduknya pada pertukaran abad ke-19 dan abad ke-20 hingga masa konfrontasi dengan Malaysia dengan kekecualian zaman pendudukan Jepang. Hal ini memancing Belanda untuk menguasainya secara efektif. Sebelum adanya projek tersebut, pulau-pulau yang terserak di Laut Cina Selatan ini, tidak menarik di mata Belanda. Bahkan mereka meramalkan bahwa pulau-pulau tersebut tidak mempunyai masa depan sehingga karena tidak urgen bagi kepentingan materiil kolonial. Namun pada awal abaad ke-20 mereka merevisi pandangannya dan karena itu mengambil alih kekuasaan atas kawasan tersebut setelah berhasil membubarkan Kerajaan Riau-Lingga ke mana pulau-pulau itu terbilang. Bab ketiga memuat cerita hidup kedua figur yang ditulis cerita hidup mereka.

Perlu dicatat bahwa meskipun judul buku ini mengesankan cerita tentang hidup H. Abbas dan Hj. Maryam, tetapi sesungguhnya banyak menguak dan menggali sejarah pulau Midai. Raja Chadidjah, istri Raja Alias yang menjadi onderdistricthoofd (amir/camat) pulau Midai pertama, pada tahun 1925 mewakafkan sebagian hartanya di Tanjung Kapal, (sekarang Suak) Midai, untuk pembiayaan penyantunan fakir miskin Mekah dan penyediaan air bersih di Masjidil Haram dalam bentuk sabil. Ini adalah bagian yang unik dari sejarah sebuah pulau kecil, Midai, yang terpencil di tengah Laut Natuna, tetapi berpartisipasi dalam penyantunan di tempat lain yang jauh, Mekah.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button