BeritaFatwaProduk

Dasar Salat Tarawih Empat Rakaat Satu Kali Salam

Sehubungan dengan adanya pertanyaan tentang adanya pendapat bahwa salat Tarawih empat rakaat sekali salam adalah batal, Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan penjelasan sebagai berikut.

Terlebih dahulu kami sebutkan lebih dahulu beberapa hadis yang berhubungan dengan salat malam (qiyāmul-lail / qiyāmu Ramaḍān), terjemahnya, serta penjelasannya, sebelum sampai pada kesimpulannya.

  1. Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhārī dari ’Ā’isyah r.a.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَهِىَ الَّتِى يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ

[رواه مسلم]

Artinya: Dari ‘Ā’isyah, istri Nabi saw, (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah Rasulullah saw melakukan salat pada waktu antara setelah selesai Isya yang dikenal orang dengan ‘Atamah hingga Subuh sebanyak sebelas rakaat di mana beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau salat witir satu rakaat [HR Muslim].

  1. Hadis Nabi saw riwayat Muslim dari ‘Ā’isyah r.a.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا

[رواه مسلم]

Artinya: Dari ‘Ā’isyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah Rasulullah saw salat malam tiga belas rakaat, beliau berwitir dengan lima rakaat dan beliau sama sekali tidak duduk (di antara rakaat-rakaat itu) kecuali pada rakaat terakhir [HR Muslim].

  1. Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a.

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهاَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا

[رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Dari Abī Salamah Ibn ‘Abd ar-Raḥmān (diriwayatkan) bahwa ia bertanya kepada ‘Ā’isyah mengenai bagaimana salat Rasulullah saw di bulan Ramadhan. ‘Ā’isyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan salat sunat di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat [HR al-Bukhārī dan Muslim].

Hadis no. 1 menunjukkan bahwa Nabi saw pernah melakukan salat malam dengan kaifiat dua rakaat lima kali salam dan witir satu rakaat. Hadis no. 2 menunjukkan bahwa Nabi saw salat delapan rakaat, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam. Adapun hadis no. 3 menunjukkan bahwa Nabi saw salat malam di bulan Ramadan delapan rakaat dengan dua kali salam, artinya tiap empat rakaat sekali salam, kemudian dilanjutkan salat witir tiga rakaat dan salam.

Mungkin timbul pertanyaan: dari mana kita memperoleh pengertian sesudah salat empat rakaat lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama, dari perkataan كَيْفَ (bagaimana) pada hadis ketiga yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang kaifiat salat qiyam Ramadan di samping juga menerangkan jumlah rakaatnya. Kedua, kaifiat itu diperoleh dari lafal يُصَلِّي أَرْبَعًا . Lafal itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara zahir (ظاهر), yakni menyambung empat rakaat dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (الفصل), yakni menceraikan atau memisahkan dua rakaat salam kemudian dua rakaat salam. Namun makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam aṣ-Ṣan‘ānī dalam kitab Subulus-Salām (Juz 2: 13).

Hadis ‘Ā’isyah ini menerangkan dalam satu kaifiat salat malam Nabi saw, di samping kaifiat yang lainnya. Hadis ‘Ā’isyah ini harus diamalkan secara utuh baik rakaat dan kaifiatnya. Hadis ‘Ā’isyah ini tidak ditakhsis oleh hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (salat malam harus dua rakaat dua rakaat), dan hadis tersebut tidak mengandung pengertian ḥaṣr seperti dikatakan oleh Muḥammad bin Naṣar. Imam an-Nawawī dalam Syaraḥ Muslim mengatakan bahwa salat malam dengan empat rakaat boleh sekali salam (تسليمة واحدة) dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز (salam sesudah empat rakaat menerangkan hukum boleh (jawaz)). Perkataan an-Nawawī tersebut dikomentari oleh Naṣīruddīn al-Albānī dalam bukunya صلاة التراويح sebagai berikut,

وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلُ الشَّافِعِيَّةِ يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٍ لَقَوْلِ النَّوَوِيِّ بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ

[صلاة التراويح، ص: 17-18]

     Artinya: Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawī raḥimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua rakaat di mana apabila salat empat rakaat dengan satu salam, maka tidak sah, sebagaimana terdapat dalam Kitāb al-Fiqh ’alā al-Mażāhib al-Arba‘ah dan Syarḥ al-Qasṭallānī terhadap Ṣaḥīḥ al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (’Ā’isyah) yang sahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawī yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawī salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafii. Hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapa pun juga yang berfatwa menyalahi ucapan beliau itu [Ṣalātut-Tarāwīḥ, h. 17-18].

Sebagaimana diketahui hadis ‘Ā’isyah itu yang diriwayatkan al-Bukhārī dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadis-hadis lainnya tentang qiyam Ramadan. Sehubungan hal itu Ibn Qayyim al-Jauziyyah menulis di dalam kitab Zādul-Ma‘ād,

وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ بِاللَّيْلِ فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهُوَ اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمُرَاعَاتِهَا ذَلِكَ وَلِكَوْنِهَا أَعْلَمُ اْلخَلْقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا شَاهَدَهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا

[مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا) [زاد المعاد: 1: 244)

     Artinya: Dan apabila lbn ‘‘Abbās berbeda pendapat dengan ‘Ā’isyah mengenai sesuatu hal menyangkut salat malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat ‘Ā’isyah r.a. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibn ‘Abbās, itulah yang jelas, karena ‘Ā’isyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu. ‘Ā’isyah orang yang lebih mengerti tentang salat malam Nabi saw, sedangkan Ibn ‘Abbās hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah r.a.) [Zadul Ma’ad, 1: 244].

Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukānī bahwa kebanyakan ulama mengatakan bahwa salat Tarawih dua rakaat satu salam hanya sekedar menunjukkan segi afdal (utama) saja, bukan memberi faedah ḥaṣr (wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi saw bahwa beliau melakukan salat malam empat rakaat dengan satu salam. Hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى hanya untuk memberi pengertian petunjuk (irsyād) kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya salat dua rakaat dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat rakaat sekali salam.

Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul-Auṭār, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdal) antara menceraikan (الفصل = memisahkan 4 rakaat menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung    (الوصل = empat rakaat dengan satu salam). Sedangkan Imam Muḥammad Ibn Naṣr menyatakan sama saja afdalnya antara menceraikan (الفصل) dan menyambung (الوصل), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi saw berwitir lima rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (الوصل) [Nailul-Auṭaar: 2: 38-39].

Mengenai pendapat atau fatwa Syeikh ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz dalam Majmū‘ Fatāwā-nya dan Dr. Ṣāliḥ Fauzān Ibn ‘Abdillāh al-Fauzān dalam bukunya الملخص الفقهي yang mengatakan salat empat rakaat sekali salam itu salah dan menyalahi sunnah, pendapat itu justru menentang sunnah dan terkesan ekstrim. Hal itu sama juga dengan pendapat sementara orang di Indonesia yang menyatakan salat empat rakaat dengan satu salam adalah ngawur. Mereka itu sangat terpengaruh dengan pendapat sebahagian ulama Syafi’i yang fanatik dalam hal tersebut seperti disebutkan oleh Muḥammad Naṣīruddīn al-Albānī.

Menurut hemat kami, Syeikh ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz, dalam bidang akidah berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh Muḥammad Ibn ‘Abd al- Wahhāb, sedang dalam bidang fikih sangat dipengaruhi oleh paham Aḥmad Ibn Ḥambal (Hanbali), dan itu umum dianut penduduk Saudi Arabia.

Ahli hadis Indonesia seperti Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (dalam bukunya Pedoman Salat, hal 514, begitu juga dalam Koleksi Hadis-Hadis Hukum, V: 130), begitu pula A. Hassan pendiri Persatuan Islam, ahli hadis juga, dalam bukunya Pelajaran Salat, h. 283-284, kedua beliau itu berpendapat bahwa salat tarawih (qiyam Ramadan) empat rakaat sekali salam adalah sah, itu salah satu kaifiat salat malam yang dikerjakan oleh Nabi saw.

Sebagai informasi tambahan kami kutip di sini apa yang ditulis Imam an-Nawawī dalam kitab al-Majmū’ (syarah al-Muhażżab, V: 55), “Al-Qāḍī Ḥusain berpendapat bahwa apabila salat Tarawih dilakukan dua puluh rakaat, maka tidak boleh / tidak sah dikerjakan empat rakaat sekali salam, tetapi harus dua rakaat sekali salam.” Jadi bukan yang dimaksud oleh beliau itu salat tarawih delapan rakaat.

Berdasarkan hasil kaji ulang kami sebagaimana uraian / penjelasan di atas, maka menurut hemat kami hadis tentang salat tarawih empat rakaat sekali salam tidak bermasalah, baik dari sisi matan maupun sanadnya. Dalam buku Tuntunan Ramadan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, telah disebutkan bahwa jumlah rakaat salat tarawih empat rakaat satu salam dan dua rakaat satu salam merupakan tanawuk dalam beribadah, sehingga keduanya dapat diamalkan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button