EtalaseFatwaProduk

Fatwa Tarjih tentang Tanah Wakaf yang Terlantar

FATWA TARJIH TENTANG TANAH WAKAF YANG TERLANTAR

Pertanyaan Dari:

Majelis Wakaf dan ZIS PP Muhammadiyah

(disidangkan pada Jum’at, 2 Jumadats-Tsaniyah 1429 H / 6 Juni 2008 M)

Pertanyaan:

  1. Tanah wakaf terlantar karena tidak/belum ada dana untuk membangun sesuai dengan niat wakif. Dan ini terlantar cukup lama.
  2. Tanah wakaf terlantar sebab tidak dapat dibangun karena niat wakif tidak sesuai dengan kondisi/keadaan setempat misalnya wakaf untuk masjid, padahal sekitar tanah wakaf sudah ada masjid, sehingga tanah wakaf tersebut terlantar.
  3. Untuk menghindari tanah terlantar di atas, kita usahakan membangun di atas tanah wakaf tersebut, bangunan yang bersifat komersial (sesuai dengan letak tanah) misalnya untuk mall, hotel dan sebagainya sepeti yang dilakukan oleh Muhammadiyah Singapura.

 

Jawaban:

Dari pertanyaan yang diajukan dapat diungkapkan dengan kalimat yang lain bahwa tanah wakaf terlantar dapat terjadi karena:

  1. Tidak/belum ada dana untuk membangun sesuai dengan niat wakif.
  2. Niat wakif tidak/kurang mewujudkan kemaslahatan bagi umat/masyarakat setempat, karena di tempat itu telah tersedia sarana yang sama dengan niat wakif.

Persoalannya adalah untuk meghindari agar tanah wakaf tersebut tidak terlantar, bolehkah di atas tanah wakaf tersebut didirikan bangunan yang bersifat komersial?

Wakaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan menahan harta miliknya dari lalu lintas mu’amalat dan menyerahkan manfaatnya untuk kepentingan umat atau anggota masyarakat dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan demikian, wakaf dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk infak atau membelanjakan harta  yang dituntunkan dalam ajaran agama. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berinfak (termasuk wakaf)  dan sekaligus memberikan penghargaan yang sangat tinggi nilainya kepada  wakif (pewakaf). Anjuran itu antara lain terdapat dalam firman Allah:

(لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ (٩٢

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [QS. Ali ‘Imran (3): 92]

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ اْلأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ مَالاً مِنْ نَخْلٍ وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرُحَاءَ وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللهُ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي اْلأَقْرَبِينَ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ishaq Ibn ‘Abdullah Ibn Abi Thalhah bahwa ia mendengar Anas Ibnu Malik ra berkata:Abu Thalhah adalah orang Anshar di Madinah yang terbanyak hartanya yang berupa kebun kurma. Harta yang paling disenangi adalah kebun Bairuha yang berhadapan dengan masjid (nabawi). Rasulullah saw pernah masuk ke kebun itu dan minum airnya yang sangat bagus. Anas berkata, ketika ayat: Lan tanalul-birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun, Abu Thalhah menghadap Rasulullah saw seraya berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah swt telah berfirman: Lan tanalul-birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun. Sesungguhnya di antara harta-harta yang paling saya senangi adalah kebun Bairuha; Harta itu saya shadaqahkan untuk Allah dan saya mengharap balasan kebaikan dan simpanan (pahala) di sisi Allah. Ya Rasulullah silakan apa yang akan anda lakukan menurut petunjuk Allah kepadamu terhadap kebun itu. Anas Ibn Malik berkata: Rasululah saw bersabda: Bagus sekali. Itu harta yang menguntungkan, itu harta yang menguntungkan. Saya telah mendengar apa yang kau ucapkan. Menurut saya, kau shadaqahkan harta itu kepada kaum kerabatmu. Abu Thalhah berkata: Wahai Rasulullah akan saya lakukan hal itu. Kemudian Abu Thalhah membagi harta itu kepada kerabatnya dan anak pamannya.” [HR. al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga, yaitu: shadaqah jariyah (wakaf) ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih.” [HR. Muslim]

Dalam pada itu wakif juga diberi kebebasan untuk memberi persyaratan terhadap harta yang diwakafkan –sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Syara’.  Dalam qaidah fiqhiyyah, disebutkan:

شَرْطُ اْلوَاقِفِ كَالنَّصِّ الشَّارِعِ

Artinya: Syarat yang ditentukan oleh wakif mempunyai kekuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh Syara’.

Atas dasar qa’idah tersebut wakif diberi kebebasan untuk meniatkan atau mengikrarkan tujuan wakafnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Syara’.

Di antara ketentuan Syara’ yakni, menarik (mendatangkan) kemaslahatan dan menolak (menghindari) kerusakan ( جَلْبُ اْلمَصَالِحِ وَدَرْءُ اْلمَفَاسِدِ).

Kemashlatan sebagai dasar dari ajaran Islam, dijelasan oleh Ibnul-Qayyim:

إِنَّ الشَّرِيعَةَ مَبْنَاهَا وَأَسَاسُهَا عَلَى اْلحِكَمِ وَمَصَالِحِ اْلعِبَادِ فَي اْلمَعَاشِ وَاْلمَعَادِ.

Artinya: “Sesungguhnya syari’ah dibangun dan didasarkan kepada hikmah dan kemaslahatan hamba baik untuk kehidupan dunia mapun untuk kehidupan akhirat.” [I’lamul Muwaqqi’in, Juz II halaman 14]

Sejalan dengan pernyataan di atas, asy-Syathibi menegaskan bahwa:

وَضْعُ الشَّرَائِعِ إِنَّمَا هُوَ لِصَالِحِ اْلعِبَادِ فِي اْلعَاجِلِ وَاْلآجِلِ مَعًا.

Artinya: “Ditetapkan hukum-hukum Syariah tidak lain adalah untuk kemaslahatan hamba dalam kehidupan di dunia sekaligus dalam kehidupan di akhiratnya.” [al-Muwafaqat, Juz II halaman 2]

Sedangkan yang berkaitan dengan menghindari kerusakan, banyak ditemui ayat-ayat al-Qur’an yang berisi larangan untuk berbuat kerusakan. Di antaranya yaitu:

وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ (٦٠)…..

Artinya: “… dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” [QS. al-Baqarah (2): 60]

(وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادٗاۚ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ (٦٤…..

Artinya: “…dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” [QS. al-Maidah (5): 64]

وَلَا تَتَّبِعۡ سَبِيلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ (١٤٢)……

Artinya: “… dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” [QS. al-A’raf (7): 142]

Islam melarang kerusakan karena kerusakan adalah perbuatan yang mendatangkan kerugian (kemadlaratan) bagi kehidupan manusia. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. [رواه ابن ماجه]

Artinya: “Diriwayatkan dari ’Ubadah Ibn Shamit bahwa Rasulullah saw menetapkan tidak boleh membuat kemadlaratan dan tidak boleh saling melakukan kemadlaratan.” [HR. Ibnu Majah]

Di antara perbuatan yang  tidak mendatangkan kemaslahatan dan dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian adalah berlaku mubadzir. Islam melarang perbuatan mubadzir ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا (٢٦) إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا (٢٧)…….

Artinya: “… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS. al-Isra’ (17): 26-27]

Berkait dengan permasalahan yang ditanyakan, dapat dikemukakan penjelasan hukum sebagai berikut:

1.Terhadap tanah wakaf yang terlantar karena belum/tidak ada dana untuk membangun sesuai dengan niat wakaf.

Di sini tampaknya tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif, sesungguhnya memiliki nilai mashlahat bagi masyarakat, hanya saja untuk mewujudkan belum tersedia dana, yang akibatnya tanah wakaf untuk sementara ini menjadi terlantar. Jika demikian, maka tujuan wakaf sebagaimana yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif harus dijaga dalam arti harus diupayakan terwujudnya. Sedangkan akibat tidak/belum tersedianya dana untuk membangun sehingga tanah wakaf tersebut menjadi terlantar, harus dihindari, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk perbuatan mubadzir/pemborosan yang dilarang oleh agama. Untuk itu nadhir dibenarkan mengelola tanah wakaf tersebut dengan kegiatan-kegiatan produktif/komersial, yang kelak hasilnya adalah untuk mewujudkan niat wakif.

2. Terhadap tanah wakaf yang terlantar karena tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif kurang mashlahat sebab di tempat itu telah tersedia sarana yang sama dengan yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif.

Dalam kasus ini, jika tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif dipaksakan untuk dilaksanakan, dapat ditebak bahwa harta wakaf baik tanah maupun bangunannya tidak akan mendatangkan mashlahat secara maksimal. Atau dengan kata lain membuka terjadinya perbuatan yang mubadzir. Untuk menghindari tindakan mubadzir ini, menurut hemat kami dapat dilakukan penggantian tujuan wakaf, dengan tujuan yang lain yang paling besar mendatangkan kemaslahatan bagi  umat/masarakat. Jika dipandang bangunan produktif/komersial seperti mall atau hotel adalah alternasi tujuan wakaf yang paling mendatangkan kemashlahatan, tentunya itulah yang dipilih. Namun jika ada alternasi lain, kiranya tidak salah untuk dikaji secara cermat, sehingga akan betu-betul mampu mendatangkan kemashlahatan yang paling besar bagi umat atau masyarakat. Dalam hal ini dapat dipedomani qa’idah fiqhiyyah yang menyebutkan:

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَي الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِاْلمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ

Artinya: Tindakan pemimpin terhadap rakyatnya terikat dengan kemaslahatan yang selektif (yang terkuat).

Hasil dari kegiatan produktif ini digunakan semaksimal mungkin untuk membiayai kegiatan amar ma’ruf nahi munkar,–termasuk untuk membiayai kegiatan masjid, dakwah dan kegiatan kemanusiaan yang lain– disamping untuk biaya opersional kegiatan produktif itu sendiri. Dengan demikian sekalipun tujuan wakaf tanah itu  misalnya untuk bangunan masjid, namun karena di tempat itu sudah berdiri masjid yang cukup representatif, maka penggantian dengan tujuan wakaf yang produktif  yang hasilnya juga untuk masjid bahkan juga amar ma’ruf nahi munkar yang lain, tampaknya tidak akan mengurangi keutamaan dalam berwakaf.

Untuk teknis penggantian tujuan wakaf ini dapat dirujuk pasal 44 Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan jo Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf.

Disebutkan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004:

  • Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta bena wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
  • Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat digunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Dalam Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, disebutkan: Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus berpedoman pada peraturan Badan Wakaf Indonesia BWI.

Disarankan, jika terjadi penggantian tujuan atau peruntukan benda wakaf ini,  hendaknya diberitahukan kepada wakif jika masih hidup atau ahli warisnya jika wakif telah meinggal dunia. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati wakif dan sekaligus untuk menjaga agar tidak terjadi salah sangka atau salah faham dari wakif atau keluarganya yang tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan akibat buruk yang sudah pasti tidak diharapkan oleh semua pihak.

Berkait dengan pengadaan dana untuk mewujudkan tujuan atau peruntukkan wakaf, disarankan agar lebih ditingkatkan sosalisasi wakaf tunai kepada kaum muslimin.

Wallahu a’almm bish-shawab. *dw)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button