EtalaseFatwaProduk

FATWA TENTANG MUSHALLA BERTINGKAT

Pertanyaan Dari:

Sudarmanto, di Yogyakarta

(disidangkan pada hari Jum’at, 15 Rabiulakhir 1435 H / 15 Februari 2014)

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Puji syukur tidak lupa kami panjatkan kehadirat Allah swt., juga shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw..

Kami adalah salah satu pengurus untuk pengembangan Mushalla Al Ikhsan Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Saat ini kami hampir menyelesaikan pembangunan lantai 2 mushalla tersebut. Setelah hampir jadi ini timbul pertanyaan, apakah musholla kami ini dapat digunakan untuk berjamaah dengan 1 imam, oleh karena itu kami menanyakan ke rubrik Tanya Jawab Suara Muhammadiyah yang kami anggap kredibel untuk menjelaskan hal ini.

Untuk lebih jelasnya kami sampaikan gambaran mengenai Mushalla Al Ikhsan sebagai berikut:

Mushalla Al Ikhsan awalnya adalah bagian dari garasi mobil, bentuknya melengkung, kemudian mulai tahun 2012 mushalla diperluas dengan membangun lantai 2, yang persis berada di atas musholla lama. Antara lantai 1 dan lantai 2 ini tidak terhubung. Biasanya   mesjid yang dua lantai itu Imam ada di lantai 1 kemudian di atas imam diberi lubang sehingga ma’mum yang dilantai 2 dapat melihat imam/ma’mum yang di lantai 1, sedang mushalla kami tidak. Untuk itu kami mohon jawaban dari Suara Muhammadiyah bagaimana agar mushalla kami dapat dipakai berjamaah dengan 1 imam.

Atas jawabannya diucapkan terimakasih. Jazakumullah khairan katsiran.

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan dan berikut ini jawabannya:

Di antara syarat supaya salat berjamaah itu sah adalah bersambungnya antara imam dan makmum. Maksudnya, jarak antara imam dan makmum tidak jauh  (masih dalam satu kawasan), haiah atau keadaan imam dapat diketahui oleh makmum, imam dapat dilihat oleh makmum shaf pertama, suara imam dapat didengar oleh sekurang-kurangnya oleh makmum shaf pertama.

Dalilnya, hadis berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي أَصْحَابِهِ تَأَخُّرًا فَقَالَ لَهُمْ : تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي، وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ، لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللهُ [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat shaf para sahabatnya jauh di belakang, lalu beliau bersabda kepada mereka: “majulah kalian dan ikutilah perbuatanku, dan hendaklah orang-orang yang dibelakang mengikuti kalian. Ada kaum yang masih suka jauh shafnya dari imam sehingga Allah menjadikan mereka paling belakang” [HR. Muslim].

Oleh karena itu, berdasarkan syarat tersebut maka tidak sah salat jamaah yang dilakukan oleh seorang makmum di Yogya umpamanya dengan mengikuti imam di Jakarta dengan mengikutinya melalui radio atau televisi. Hal ini karena meskipun makmum dapat mengetahui haiah atau perbuatan imam, namun keduanya terpisah oleh jarak yang jauh.

Berdasarkan syarat tersebut pula, dalam pembangunan masjid atau mushalla yang bertingkat biasanya dibuat bagaimana supaya jamaah bagian atas mengetahui apa yang dilakukan jamaah atau imam di bagian bawah. Di antaranya dibuat lubang dan diberi pengeras suara.

Dalam kasus mushalla saudara yang bertingkat, lubang tidak ada, namun selama jarak antara imam dan jamaah tidak jauh, dan haiah atau keadaan imam bisa diketahui jamaah dan suaranya masih bisa didengarkan oleh jama’ah yang ada di lantai atas, maka itu boleh dan salat berjamaah dianggap sah. Yang perlu ditekankan di sini ialah hendaknya shaf pertama lantai atas tidak menyamai shaf imam, tapi disamakan dengan shaf pertama lantai bawah.

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button