ProdukWacana

Fikih Ikhtilaf Ditinjau dan Perwujudannya dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah

oleh : Ahwan Fanani

Pendahuluan

Perbedaan pendapat dalam Islam telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad. Para sahabat berbeda pendapat mengenai banyak hal sejak saat Nabi Muhammad masih hidup sampai Ketika Nabi Muhammad telah wafat. Dalam satu riwayat disebutkan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ  قَالَ: خَرَجَ رَجُلاَنِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا, ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ. فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ, ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ  فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ. وَقَالَ لِلْآخَرِ: لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ

Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, ia berkata: Dua orang lelaki keluar dalam satu perjalanan. Tibalah waktu shalat, namun keduanya tidak memiliki air. Mereka pun bertayammum dengan debu yang suci, lalu melaksanakan shalat. Namun kemudian mereka menemukan air saat waktu shalat itu masih ada. Salah seorang dari mereka mengulangi shalat dan wudlunya, sedangkan yang satunya lagi tidak mengulang. Kemudian keduanya menemui Rasulullah SAW dan menceritakan hal tersebut. Rasulullah bersabda kepada kepada yang tidak mengulangi shalat: “Kamu telah sesuai dengan sunnah dan shalatmu cukup bagimu.” Dan beliau bersabda kepada yang satunya lagi: “Kamu mendapatkan pahala dua kali.” (HR Abu Dawud dan al-Nasa`i)

Hadis tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, para sahabat pun bisa berbeda pendapat dalam mempraktekkan ajaran agama karena perbedaan kondisi dan pemahaman dalam penyikapi satu kondisi tersebut. Kedua Nabi Muhammad bisa menerima perbedaan pendapat tersebut dengan baik. Dalam satu riwayat dikatakan:

إذا حَكَمَ الحاكِمُ فاجْتَهَدَ ثُمَّ أصابَ فَلَهُ أجْرانِ، وإذا حَكَمَ فاجْتَهَدَ ثُمَّ أخْطَأَ فَلَهُ أجْرٌ (رواه البخاري)

Jika seorang pemimpin berijtihad dan benar hasil ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala.

Namun pada prakteknya, perbedaan pendapat (ikhtilaf) rawan menimbulkan pertentangan dan perpecahan (syiqaq) hingga konflik. Beberapa hari lalu, ada masjid di Pakistan dibom karena melakukan peringatan maulid. Demikian pula hal ini di Indonesia, shalat tarawih dibubarkan karena jumlah rakaatnya berbeda dengan jumlah rakaat yang dilakukan Masyarakat sekitar. Masih banyak lagi kasus kekerasan akibat ikhtilaf yang terjadi di dunia Islam hingga di Indonesia.

Hal demikian menunjukkan adanya persoalan dalam memahami ikhtilaf. Meskipun norma mengenai ikhtilaf telah diletakkan oleh Nabi Muhammad sendiri, namun pada praktiknya pertikaian di antara umat yang bersyahadat kerap terjadi akibat perbedaan pendapat. Kondisi itu menunjukkan kebutuhan untuk memperjelas kembali fikih ikhtilaf (fikih mengenai perbedaan pendapat). Pertanyaannya adalah apa saja ragam ikhtilaf dan bagaimana seharusnya umat Islam, khususnya warga Persyarikatan, menyikapinya ikhtilaf berdasarkan manhaj Muhammadiyah.

Pengertian dan Kedudukan Ikhtilaf

1. Pengertian dan Arti Penting Ikhtilaf

Dalam tradisi Islam, perbedaan pendapat dikenal dengan istilah ikhtilaf maupun khilaf. Ikhtilaf atau khilaf, menurut Raghib al-Ashfahani, mengandung pengertian perbedaan pendapat yang lahir dari perbedaan metode dalam satu pendapat. Ikhtilaf juga tidak selalu mengandung pertentangan, meskipun perbedaan pendapat itu mengandung perbedaan diametral. Istilah ikhtilaf dan khilaf lebih luas dari sekedar pertentangan karena setiap pertentangan merupakan ikhtilaf, tetapi tidak semua ikhtilaf adalah pertentangan (al-Ashfahani, 2009: 294).

Oleh karena itu salah satu karya perbandingan pendapat di kalangan madzhab hukum Islam yang empat diberi judul Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah (Rahmat bagi umat dalam Ikhtilaf para-Imam), karya Abu Abdullah Muhammad bin Abdurrahman al-Dimasyqi. Menurutnya, pengetahuan mengenai kesepakatan (ijma) dan perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara ulama itu penting dan sebagai perkara lazim di kalangan mujtahid dan hakim. Ijma adalah kaidah Islam, sedangkan khilaf di antara para imam madzhab adalah rahmat bagi umat karena menjadikan agama itu sebagai kelembutan dan penghormatan, bukan kesempitan (al-Dimasyqi, T.Th.: 13).

Ada ikhtilaf yang tidak dianjurkan dalam Alquran, yaitu ikhtilaf dalam pengertian penentangan terhadap ajaran para nabi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

عن أبي هُرَيْرةَ عَبْدِالرَّحمنِ بنِ صَخْرٍ رضي الله عنه قال: سمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: “ما نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجتَنبوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فإنَّما أَهْلَكَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ واخْتلاُفُهُمْ على أَنْبِيَائِهِمْ”؛ رَواهُ البُخَارِيُّ ومُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Shakhrin RA, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apa yang aku larang, maka jauhilah apa yang aku perintahkan, maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya orang-orang terdahulu dari kalian dihancurkan oleh kebanyakan bertanya dan ikhtilaf (penentangan) mereka terhadap para-Nabi mereka.

Dengan demikian, ikhtilaf dalam pengertian penentangan terhadap ajaran Rasul bukan termasuk ikhtilaf yang dibenarkan karena hal demikian masuk kategori penentangan. Apabila ikhtilaf itu berarti perbedaan pendapat, maka hal demikian menjadi sunnah yang jamak terjadi dalam masyarakat, bahkan dalam Islam itu sendiri.

Ikhtilaf dalam agama, khususnya dalam hukum Islam, telah terjadi sejak masa sahabat, tabi’in, para imam madzhab hingga masa sekarang ini. Hal itu menunjukkan bahwa ikhtilaf menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah Islam. Perbedaan pendapat itu bisa menjadi Rahmah, saat mengayakan pengetahuan dan perilaku baik manusia, tetapi perbedaan bisa menjadi musibah ketika membawa kepada perpecahan dan pertikaian. Pemahaman mengenai khilaf atau ikhtilah merupakan pengayaan wawasan dan dimensi dalam agama sehingg atidak mudah terjebak dalam pendapat yang sempit atau memutlakkan kebenaran dari pendapat dzanni (praduga berbukti).

Oleh karena itu, para ulama dahulu menjadikan intensivitas keterlibatan dalam kajian ikhtilaf sebagai indikator kepakaran dalam bidang fikih. Pemahaman mengenai ikhtilaf atau khilaf menjadi syarat bagi seorang mufti. Arti penting pengetahuan mengenai ikhtilaf itu diungkap oleh beberapa ulama klasik, sebagaimana riwayat Ibnu Abdul Barr (Wad’an, 2023):

a. Qatadah bin Diamah:

 مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْاِخْتِلَافَ، لَمْ يَشُمَّ أنفَهَ الفِقْهِ

Barangsiapa tidak mengetahui ikhtilaf, makai a belum mencium bau fikih

 

b. Hisyam bin Abdillah al-Razi:

مَنْ لَمْ يِعْرِفْ اخْتِلَافَ الْقِرَاءَةِ، فَلَيْسَ بِقَارِئٍ، وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ اخْتِلَافَ الْفُقَهَاءِ، فَلَيْسَ بِفَقِيْهٍ

Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan qira’ah, maka ia bukan qari’. Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan fikih, makai a bukan fakih.

Dalam karya ushul fikih pun, pemahaman mengenai ikhtilaf mendapatkan perhatian dari beberapa kalangan. Abu Ma’ali al-Juwaini dalam karya ushul fiqh-nya yang popular, al-Waraqat, memasukan pemahaman terhadap khilaf dan madzhab sebagai syarat seorang mufti. Khilaf adalah persoalan yang diperselisihkan, sedangkan madzhab adalah pendapat furu’ yang telah disepakati oleh para ulama dalam satu madzhab. Pemahaman mengenai khilaf, menurut Ibnu Firkah, dimaksudkan agar mufti mengikuti pendapat yang kuat (madzhab) dan tidak menyimpang darinya dengan mengemukakan pendapat baru yang tidak dikenal kemungkinan pemahamannya oleh ulama sebelumnya (Ibnu Firkah, 2010: 186).

Perbedaan pendapat tersebut, dalam sejarah Islam, tidak hanya terjadi dalam bidang fikih semata, melainkan dalam bidang akidah. Lahirnya kelompok Syiah, Muktazilah, Murjiah, dan Ahlussunnah menunjukkan terjadinya ikhtilaf dalam intern umat Islam mengenai akidah. Ikhtilaf tersebut bahkan bisa terjadi pada level lebih spesifik lagi, yaitu antara pengikut ahlussunnah, yaiu ikhtilaf antara kalangan Asy’ariyah dengan Atsariyyah, yang dikenal pula sebagai pengikut Hanbali dan kemudian Salafi.

Pokok perbedaan di antara mereka ada yang sangat mendasar, seperti perbedaan mengenai sifat Allah dan apakah Alquran makhluk atau bukan. Ada pula perbedaan yang lebih berat kepada perbedaan pendekatan dalam memahami agama. Kalangan Asy’ariyah lebih terbuka dengan penggunaan logika dan ta’wil dalam memahami nash-nash akidah, namun kalangan atsariyah menghindari penggunaan logika dan ta’wil dan lebih menitikberatkan kepada tafwidl (mengartikan sifat Allah secara literal, namun menyerahkan makna sebenarnya hanya kepada Allah).

2. Wilayah Ikhtilaf

Meskipun ikhtilaf itu menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, agama, maupun keyakinan, wilayah ikhtilaf yang menjadi perhatian para ulama adalah ikhtilaf dalam persoalan agama. Namun tidak semua persoalan agama menjadi wilayah ikhtilaf. Ada Batasan-batasan tertentu dalam agama yang menerima ikhtilaf dan ada wilayah yang tidak menerima ikhtilaf.

a. Ikhtilaf dalam Bidang Pokok Agama (Ushul al-Din)

Bidang yang menjadi pokok agama (ushul al-din) bukan termasuk wilayah ikhtilaf menyangkut hukum dan kewajibannya. Wilayah tersebut mencakup persoalan akidah dasar, seperti keimanan kepada Allah, kepada Kitab Allah, Rasulullah, Malaikat, Hari Akhir, Qadla dan Qadar, surga, neraka dan alam kubur; dan pokok syariat yang qath’i (jelas dan terang petunjuknya), seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji.  Demikian pula dengan larangan-larangan dasar dalam agama, seperti larangan mencuri, larangan membunuh, larangan berzina, dan larangan berbuat syirik bukan termasuk wilayah ikhtilaf. Penolakan terhadap akidah dasar dan kewajiban pokok syariah serta pembenaran terhadap larangan dasar agama dapat mengakibatkan seorang muslim keluar dari agama (al-Hadlrami, 2013: 66-80).

b. Ikhtilaf dalam Bidang Furu’

Ikhtilaf boleh diterima dalam bidang furu’ (persoalan cabang agama), baik dalam persoalan akidah furu’ maupun masalah fiqhiyyah. Persoalan furu’ dalam bidang akidah seperti hukum tawassul dan sampainya kiriman pahala kepada orang yang meninggal. Hal demikian menjadi obyek perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dari masa ke masa, namun bukan menjadi pokok akidah Islamiyyah.

Bidang fikih adalah wilayah ikhtilaf yang palig banyak terjadi. Berbagai karya mengenai perbedaan pendapat, baik lintas madzhab maupun intra-madzhab telah ditulis para ulama. Ada beberapa karya bagus mengenai ikhtilaf atau perbandingan madzhab dalam tradisi fikih Islam, seperti:

a. Kitab-kitab mengenai khilaf yang ditulis ulama klasik, seperti Uyun al-Adillah fi Masail al-Khilaf bayn Fukaha al-Amshar karya Abu al-Hasan Ali al-Baghdadi atau Ibnu al-Qashar (w. 397 H), yang membahas perbedaan pendapat antara ulama amshar, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Hasan al-Syaibani, al-Auza’i, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Daud al-Dzahiri, Sufyan al-Tsauri, serta beberapa sahabat dan tabi’in, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan al-Zuhri, seperti khususnya dalam bab Thaharah (al-Bagdadi, 2006).

b. Ada kitab-kitab yang dikenal sebagai kitab perbandingan madzhab, seperti Bidayah al-Ijtihad karya Ibnu Rusyd, al-Mugni karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, dan al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri, dan al-Fiqh al-Islami karya Wahbah al-Zuhaili.

c. Bahkan ada karya yang mengulas mengenai perbedaan yang muncul dari satu tokoh saja akibat perubahan fatwa dan perbedaan riwayat yang dinisbatkan kepadanya oleh para muridnya. Karya tersebut contohnya adalah Faraid al-Fawaid karya al-Munawi yang mengulas berbagai pendapat berbeda yang dinisbatkan kepada satu tokoh madzhab Syafi’I (al-Munawi, 1995).

3. Ragam Ikhtilaf

Persoalannya adalah Ikhtilaf terkadang bisa diterima kebenaran keduanya karena bukan dua hal yang bertentangan, namun ada kalanya ikhtilaf itu bersifat kontradiktori, yaitu dua pernyataan yang tidak mungkin kedua-duanya benar, melainkan hanya salah satu saja. Oleh karena itu, ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Ikhtilaf Tanawwu’ (Keragaman Opsi)

Ikhtilaf tanawu’ adalah perbedaan pendapat yang tidak mengandung pertentangan atau saling negasi antara dua pendapat, melainkan kedua-duanya benar. Ikhtilaf tanawwu’ terjadi dalam masalah perbedaan qira’at dalam Alquran, perbedaan bacaan, dan pilihan hukum. Perbedaan bacaan Alquran, misalnya, adalah perbedaan kata مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ  dan مَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. Kedua bacaan tersebut termasuk bacaan yang mutawatir sehingga keduanya diperbolehkan menurut jalur periwayatan masing-masing imam qira’at. Demikian pula dengan perbedaan bacaan dalam shalat, yang memiliki landasan dalam hadis, dan perbedaan pemaknaan nash.

Contoh paling umum perbedaan pemaknaan nash adalah perintah Rasulullah kepada pasukan yang diutus untuk memerangi Bani Quraidzah, yang telah mengkhianati umat Islam, nabi bersabda kepada para pasukan:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلَا يُصَلِّيَنَّ الْعَصْرَ اِلَّا فِي بَنِيْ قُرَيْظَةَ (رواه مسلم)

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Quraidzah (HR Muslim)

Ternyata shalat ashar telah tiba di perjalanan sehingga sebagian sahabat menjalankan shalat (di jalan) karema mereka tidak ingin kehilangan waktu ashar. Sebagian lain tetap bersikeras untuk melaksanakan shalat di Bani Quraidzah, meskipun matahari telah tenggelam. Tidak ada riwayat dari Nabi Muhammad menyalahkan atau membenarkan salah satu dari kedua pendapat di atas.

b. ikhtilaf Tadladud (Pertentangan/ Kontradiktori)

Ikhtilaf tadladdud adalah perbedaan pendapat dimana pendapat yang satu menegasikan kebenaran pendapat lainnya, seperti satu pendapat menghalalkan dan pendapat lain mengharamkan. Perbedaan ini banyak terjadi pada lapangan akidah. Pendapat bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah tidak membenarkan pendapat bahwa selain agama Islamlah yang benar. Ikhtilaf ini juga terjadi di dalam intern umat Islam (Burhami, 2000: 12 dst).

4. Ikhtilaf dan Konflik

Baik ikhtilaf tanawwu’ maupun ikhtilaf tadladud memiliki peluang untuk menjadi pertentangan dan perpecahan (syiqaq) atau, sebaliknya, saling kesepahaman. Perbedaan tanawwu’ jika tidak dipahami posisinya secara syar’i akan melahirkan klaim kebenaran dan negasi pilihan lain sebagai kesalahan. Demikian pula ikhtilaf tadladud akan lebih rentan lagi menimbulkan konflik, seperti konflik Sunni-Syiah, konflik sekitar Ahmadiyah dan lainnya. Puncak ikhtilaf tadladud adalah perbedaan agama, yang bisa melahirkan peperangan.

Pada dasarnya ikhtilaf tidak serta merta membawa kepada perpecahan atau pertentangan. Pertentangan sebagai wujud konflik dapat terjadi apabila ikhtilaf itu didukung oleh sikap permusuhan atau kebencian (attitude), tindakan (behavior) yang menyerang atau mendiskreditkan pihak lain secara terbuka, serta kontradiksi (contradiction), yaitu tujuan yang bertentangan di antara para pihak yang didorong oleh perbedaan nilai dan struktur sosial (Ramsbotham; Woodhouse; Miall, 2005: 9-10).

Di sisi lain, ikhtilaf bisa menjadi pendorong proses dialog dan saling mengenal ketika disikapi dengan bijaksana. Ikhtilaf antarpenganut agama berbeda pun memiliki jalan untuk sikap saling menghormati, yang dalam Alquran memberikan rumus:

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَ لِيَ دِيْنٌ

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (al-Kafirun ayat 6)

Ikhtilaf dalam hal ushul (pokok keimanan dan dasar syariat) pun tidak menutup pintu bagi kerjasama dalam bidang muamalah. Perbedaan dalam masalah ushul a-din antarumat beragama adalah hal tidak terelakkan, namun hal demikian tidak menjadi alasan untuk berkonflik. Sementara penolakan terhadap ajaran pokok agama oleh umat Islam sendiri menjadi ladang bagi amar ma’ruf dan nahi munkar, dengan cara terbaik yang diajarkan dalam Alquran.

Masalah furu’, baik terkait akidah maupun fikih terbyka bagi perbedaan pendapat. Perbedaanakidah furu’, seperti sampainya kiriman doa kepada orang meninggal dan praktik tawassul, harus diterima sebagai perbedaan di antara umat Islam dalam memahami furu’ akidah. Demikian pula halnya berbagai persoalan fikih yang terjadi di Tengah Masyarakat. Dengan cara demikian, perbedaan pendapat tidak melahirkan konflik karena disikapi secara bijaksana dan proporsional.

5. Fiqh Ikhtilaf menurut Manhaj Muhammadiyah

Ikhtilaf memang menjadi tantangan bagi Muhammadiyah sejak awal kelahirannya. Perbedaan pandangan internal di kalangan warga Muhammadiyah membawa potensi perpecahan. Oleh karena itu, dibentuklah Majelis Tarjih pada tahun 1927 untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di kalangan internal. Itulah Sejarah kelahiran Majelis Tarjih, yang misi awalnya adalah untuk mencegah perpecahan warga Persyarikatan akibat ikhtilaf. Oleh karena itu, penyelesaian ikhtilaf di dalam Majelis Tarjih diselesaikan melalui konsensus (mufakat). Keputusan hukum yang diambil diupayakan diterima secara bulat, yaitu tanpa ada penentangan, sehingga proses untuk menyepakati satu persoalan agama di Muhammadiyah bisa berjalan lama.

Dalam perkembangannya, ada beberapa prinsip mengenai ikhtilaf yang bisa dideduksikan dari keputusan Persyarikatan mengenai persoalan agama maupun dalam rumusan manhaj dan lainnya. Adapun prinsip ikhtilaf yang terlihat dari rumusan maupun praktik keagamaan di Muhammadiyah adalah sebagai berikut:

a. Keputusan keagamaan dicapai melalui konsensus sehingga Upaya menyelesaikan ikhtilaf tidak membawa kepada pertikaian. Dalam “Penerangan Hal Tarjih”, Buah Kongres 26 tahun 1936, dinyatakan bahwa “Keputusan tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, jakni menentang ataoe mendjatuhkan segala jang tidak dipilih oleh tardjih itoe (Anwar, 2018: 18).”

b. Mengakui ikhtilaf tanawwu’ dalam beberapa aspek ibadah. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) bisa ditemukan adanya pengakuan terhadap tanawwu’ (keragaman) hukum dalam satu masalah yang ditunjukkan nash. HPT, misalnya, menyebutkan dua macam doa iftitah, yaitu Allahumma ba’id dan Dalam ruku’ maupun diperkenankan pilihan doa yang diajarkan Rasulullah (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011: 80-81). Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 menambahkan bahwa bacaan salam dengan dua versi (tanawwu’), baik berakhir pada redaksi ‘warahmatullah’ maupun ‘wabarakatuh’ adalah absah dan dapat diamalkan.

c. Pokok ke-4 Manhaj Tarjih menyatakan: “Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya keputusan Majelis Tarjih yang paling benar.” Menurut Syamsul Anwar, toleran artinya putusan tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang lain tidak benar. Sementara itu, keterbukaan artinya bahwa segala kepuusan tarjih dapat dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan apabila ditemukan dalil atau argumentasi yang lebih kuat (Anwar, 2018: 18).

Keterbukaan dan toleransi tersebut tidak berarti adanya kebebasan mutlak untuk menerima atau tidak menerima keputusan Persyarikatan. Produk pemikiran keagamaan di Muhammadiyah dibagi menjadi tiga kategori:

a. Keputusan, yaitu hasil musyawarah tarjih dan pimpinan Muhammadiyah yang telah ditanfidzkan sehingga mengikat kepada organisasi

b. Fatwa, yaitu pendapat hukum majelis tarjih, seperti termuat dalam jawaban masalah agama di Suara Muhammadiyah. Fatwa tersebut tidak mengikat dan bisa didiskusikan, meskipun secara moral bisa menjadi acuan bersama warga persyarikatan

c. Wawasan atau opini ulama Muhammadiyah yang tidak mengikat kepada anggota Persyarikatan.

Sifat mengikat pada keputusan tarjih tidak berarti menafikan keterbukaan dan toleransi, namun dalam konteks berorganisasi ada aturan yang patut dijadikan acuan oleh anggota. Keputusan itu bersifat mengikat, namun tetap terbuka untuk ditinjau dengan mekanisme organisasi pula.

Meskipun menghormati perbedaan pendapat, Muhammadiyah meletakkan wawasan dan prinsip dasar sebagai worldview (pandangan dunia) keagamaan Muhammadiyah. Worldview tersebut adalah wawasan purifikasi dan dinamisasi. Dalam beragama, Muhammadiyah mendasarkan kepada wahyu dan sunnah yang maqbulah karena agama, dalam Masalah Lima, difahami sebagai “apa yang diturunkan Allah dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam al-Sunnah maqbulah, berupa perintah dan larangan (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011 : 177-180).”

Wawasan purifikasi itu berkonsekuensi kepada pendasaran diri kepada agama yang berdasarkan wahyu dan sunnah maqbulah, dengan berpegang kepada tauhid, dan menolak bid’ah dalam ibadah. Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah disebutkan:

Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah SWT (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013: 10, 63-64).

Dengan demikian, di tengan perbedaan pendapat, warga Persyarikatan diminta untuk tetap teguh dengan keyakinan yang menjadi dasar Persyarikatan, meskipun harus tetap dilandasi akhlakul karimah.

Bid’ah adalah lawan dari sunnah. Sunnah diartikan al-Suyuthi sebagai “jalan” sehingga orang yang memelihara periwayatan hadis Nabi Muhammad dan atsar sahabat maupun tabi’in disebut ahlussunnah. Sementara itu, bid’ah adalah perbuatan yang menentang atu menyelisihi syariat, baik dengan menambah atau mengurangi. Mayoritas ulama salaf menghindari pelaku bid’ah, meskipun hukum mendekatinya boleh, untuk memeliahara pokok agama, yaitu mengikuti sunnah (al-Suyuthi, 1992: 22).

Ibadah, dalam masalah Lima, diartikan sebagai “ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diinginkan Allah.” Dengan sendirinya Muhammadiyah menolak bid’ah dalam perkara ibadah mahdlah. Sementara itu, dalam urusan dunia, yang bukan menjadi tugas kenabian, tidak menjadi tugas diutusnya para-Nabi, diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan manusia. Dalam ranah dunia ini tidak dikenal bid’ah karena hukum asal masalah dunia adalah boleh sampai ada larangan dari Alquran atau sunnah.

Bertoleransi dalam ikhtilaf tidak berarti tidak menjalankan dakwah. Keterbukaan tidak berarti pula sikap pasif dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, apalagi terkait dengan pelaksanaan ajaran Islam. Thaha Jabir Alwani mengatakan terbagi menjadi dua:

  1. ikhtilaf yang tujuannya adalah hawa nafsu, yaitu keinginan pribadi dan keinginan pada materi. Ikhtilaf dalam hal ini harus dihindari.
  2. Ikhtilaf yang tujuannya adalah kebenaran, seperti ikhtilaf dengan dengan kemusyrikan dan kekufuran atau pelanggaran terhadap ilmu. Ikhtilaf demikian hukumnya wajib (Alwani, 1405 H: 27-31).

Dalam hal ushul, warga Persyarikatan harus teguh memegang keimanan dan ajaran pokok agama, sedangkan dalam masalah furu’ selalu mengacu kepada keputusan yang telah ditetapkan dengan tetap bersikap terbuka, tidak merasa diri paling benar. Terlebih, masalah furu’ agama umumnya masuk kategori dzann (persangkaan berdasar bukti), bukan suatu kebenaran mutlak.

Pedoman terbaik dalam mendakwahkan pandangan agama adalah ajaran dari Alquran sendiri. Dalam surat an-Nahl 125 disebutkan:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl:  125)

Hikmah adalah dalil-dalil yang yakin berdasarkan wahyu. Mauidzah hasanah adalah dalil dzan yang menekankan kepada pengajaran dan ibrah bagi kalangan umum. Mujadalah (perdebatan) ditujukan kepada orang yang menentang dan menghasut, dengan tetap memelihara kehormatan.

Dalam masalah furu’, perbedaan tidak menjadi alasan untuk permusuhan. Ahmad bin Hanbal, misalnya, berpendapat bahwa berbekam dan mengeluarkan darah membatalkan wudlu, sedangkan Malik dan Ibnu Musayyab berpendapat sebaliknya. Saat Ahmad bin Hanbal ditanya apakah akan bermakmum pada imam yang mengeluarkan darah (tapi tidak berwudlu lagi). Ia menjawab: “bagaimana saya tidak shalat di belakang Imam Malik dan Said bin Musayyab?” Demikian pula halnya, Muhammad bin Idris al-Syafi’i mengerjakan shalat subuh di dekat makam Abu Hanifah tanpa berqunut. Saat ditanya, ia menjawab: “Apakah aku akan menyelesihinya, sedangkan aku berada di dekatnya? (Alwani, 1405 H: 18-19)”

Contoh yang diberikan oleh para ulama klasik itu menjadi menjadi pelajaran tentang bagaimana menyikapi ikhtilaf secara bijak. Perbedaan pendapat dalam wilayah furu’ agama merupakan keniscayaan karena petunjuk dalil bersifat dzanni. Pilihan terhadap satu pendapat berdasarkan tarjih dalil maupun faktor lain perlu dilakukan, namun tidak berarti pendapat yang tidak ditarjih atau diangap marjuh (lemah) tidak bisa dianggap salh sepenuhnya. Berbeda halnya dengan pokok-pokok keimanan dan pokok syariat Islam yang harus diterima dengan keimanan.

Penutup

Ikhtilaf adalah sunnah dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ikhtilaf sendiri bukan permasalahan karena yang menjadi masalah adalah sikap terhadap ikhtilaf itu sendiri. Dalam Islam, ikhtilaf tanawwu’ tidak sepatutnya diartikan sebagai pertentangan, melainkan sebagai pilihan dalam menjalankan ajaran agama. Adapun ikhtilaf tadladud, meskipun bentuknya adalah pendapat yang bertentangan, namun hal itu tidak serta merta melahirkan pertikaian kecuali ada sikap, perilaku dan kontradiksi yang mendorong terjadinya konflik.

Dalam manhaj tarjih, sikap toleran dan keterbukaan diletakkan sebagai wawasan dalam menjalankan agama, meskipun tidak berarti mengesahkan pelanggaran kepada ajaran pokok agama, yaitu tauhid. Putusan tarjih mengandung hukum-hukum yang mengakui tanawwu’ dalam perkara ibadah, sepanjang ada landasan dari dalil. Toleransi tidak berarti mengabaikan dakwah dan pasif terhadap kemungkaran. Namun, dalam menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, pendekatan hikmah, mauidzah hasanah, dan mujadalah dengan cara yang lebih baik menjadi panduannya.

 

  • Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Tengah. Tulisan ini adalah bahan yang disampaikan pada “Pelatihan Muballigh Dasar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kota Semarang” Sabtu 07 Oktober 2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button