KADAR ZAKAT FITRAH 2,5 KILOGRAM (KG), MASIHKAH RELEVAN?
Oleh:
Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. M.S.
(Anggota Majelis Tarjih & Tajdid PWM Jawa Tengah)
A. Pendahuluan
Ramadhan tahun 1441 Hijriyah atau tahun 2020 Masehi ini perbincangan mengenai kadar zakat fitrah kembali menghangat. Selama berpuluh tahun, masyarakat muslim di Indonesia mengeluarkan zakat fitrah dengan kadar 2,5 Kilogram (kg). Kadar tersebut diterima luas dan juga menjadi acuan saat zakat fitrah juga mulai dibayarkan dengan uang.
Persoalan kadar zakat fitrah kembali menjadi topik hangat beberapa tahun terakhir. Perbincangan itu bermula dari upaya Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) di salah satu derah untuk mengukur sha’ dan mud berdasarkan ukuran yang dibeli dari Tanah Suci. Dari pengukuran beberapa jenis beras, satu (1) sha’ beras memiliki rentang ekuivalensi berat antara 2,47, 2,6, hingga 2,8 kg sehingga diputuskan dengan dasar ihtiyath atau hati-hati bahwa zakat fitrah beratnya adalah 3 kilogram. Upaya itu menjadi bahan perbincangan karena menyajikan satu alternatif norma ukuran baru bagi standar berat untuk zakat fitrah. Saat Ramadhan tahun ini beredar viral video tentang penimbangan beras dari takaran mud yang menghasilkan timbangan lebih berat. Meski secara ilmiah, video itu belum memenuhi beberapa kaidah ilmiah, namun tidak urung membuat banyak orang gelisah kalau praktik mereka selama ini salah.
Peninjauan-peninjauan ulang timbangan zakat fitrah beresonansi kepada semangat untuk meningkatkan norma standar zakat fitrah terjadi. Ada yang mempergunakan berat 2,7 kg sebagai standar zakat fitrah dn ada pula yang 2,8 kg. Kondisi itulah yang menjadi pokok perbincangan hingga perdebatan di masyarakat, antara yang mempertahankan standar timbangan zakat fitrah 2,5 kg hingga yang ingin meningkatkannya sampai 3 kilogram.
Penentuan kadar zakat menjadi penting karena zakat fitrah harus memenuhi kadar yang ditetapkan oleh syar’i. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa zakat fitrah tidak sah apabila kurang dari 1 sha’ (Ibnu Qudamah, 1997: IV, 285). Namun demikian, penentuan sha’ Nabi atau sha’ Syari bukan urusan mudah karena perbedaan masa dn perubahan cetakan yang tidak memiliki standarisasi ketat seperti pabrik di masa lalu.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menguraikan perbedaan kadar zakat dan menganalisis berbagai alasan yang dikemukakan para ahli. Tujuan akhir tulisan ini adalah untuk mengevaluasi apakah kadar zakat fitrah 2,5 kilogram masih relevan.
B. Kadar Zakat Fitrah 2,5 Kilogram
Pandangan lama mengenai kadar zakat fitrah 2,5 kg telah lama berakar di masyarakat Indonesia. Pandangan di masyarakat tersebut bukannya tanpa landasan. Sulaiman Rasyid dalam karya populernya Fiqh Islam menyediakan keterangan mengenai ukuran berat zakat fitrah. Karya yang ditulis sejak tahun 1938, diterbitkan tahun 1954 dan mengalami cetakan ke-38 pada tahun 2005 itu menyediakan dasar bagi zakat fitrah 2,5 kg beras.
Sebenarnya Sulaiman Rasyid tidak mempergunakan ukuran berat (timbangan), melainkan takaran (volume). Ia beralasan bahwa ukuran dasar zakat fitrah adalah takaran, bukan timbangan, karena timbangan ia pandang kurang teliti akibat perbedaan jenis masing-masing benda, bahkan antar jenis dari benda yang sama. Ia menetapkan bahwa takaran zakat fitrah adalah 3,1 liter beras atau menyetarakan 1 sha’’ dengan 3.1 liter, dan satu mud menjadi ¾ liter beras (Rasyid, 2005: 207 dan 233).
Apabila dikonversi ke dalam timbangan, dengan perhitungan bahwa massa jenis beras adalah 0,753 kg/liter, maka kita dapati bahwa 1 sha’ beras menurut Sulaiman Rasyid setara dengan 2,334 kg beras. Oleh karena itu, zakat fitrah 2,5 kilogram sudah didasarkan atas ihtiyath 166 gram atau 1,6 ons.
Sulaiman Rasyid tidak sendirian dalam pendapatnya tersebut. Ada beberapa ulama yang mengkonversi takaran sha’ ke dalam gram/ kilogram dengan hasil di bawah 2,5 kg. Musthafa Dib al-Bugha — ulama Syiria dan pengajar di Universitas Damaskus, Universitas Qatar dan Universitas Jordan — menetapkan 1 sha’ setara dengan timbangan berat 2400 gram atau 2,4 kg (Bugha, 2010: 97). Berat tersebut adalah penjelasan dari 5 1/3 ritl.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Doktor Muhammad Ahmad Ismail al-Kharuf dalam Tahqiq dan catatannya atas karya Abu al-Abbas Ibn Rif’ah al-Idlah wa al-Tibyan fi Ma’rifah al-Mikyal wa al-Mizan. Ibnu Riif’ah mengutip ekuivalensi takaran dan timbangan di kalangan ulama Syafiiyyah yang berasal dari Ibnu Suraij. Ibnu Suraij (w. 306 H. 918 M) ini adalah tokoh penting ashab Syafiiyyah yang berpengaruh di Iraq pada akhir abad ke-3 Hijriyah. Ulama Syafiiyyah menentukan mud dari ratl//ritl dan menentukan sha’ dari mud. Ritl atau ratl adalah ukuran yang sudah dikenal pada era jahiliyah, di Romawi maupun di Mesir. Orang Arab Jahiliyah mempergunakan ritl untuk takaran cairan, yang juga dipergunakan oleh umat Islam, serta dipergunakan pula untuk menera nilai uang, meskipun sangat jarang. Namun, ratl lebih umum dikenal sebagai ukuran berat.
Ritl ini banyak mengalami perubahan seiring waktu dan tempat sehingga ritl memiliki kadar berbeda-beda di berbagai wilayah. Ritl Mesir setara dengan 144 dirham, ritl Qausi setara dengan 315 dirham, dan ritl Baitul Maqdis setara dengan 800 dirham.
Namun para fukaha lebih banyak menggunakan ritl Irak sebagai dasar pengukuran takaran maupun timbangan. Dar al-Iyar (kantor peneraan yang dipergunakan pengawas pasar/muhtasib) bertugas pula untuk menera ritl tersebut. Ritl Irak ini memiliki kadar berbeda dibandingkan dirham, menurut para ulama fikih. Satu ritl Bagdad setara dengan 130 dirham menurut Hanafiyah, 128 dirham menurut Malikiyah dan Hanabilah, dan 128 4/7 menurut Syafiiyyah. Satu ritl Irak setara pula dengan berat 408 gram (al-Kharuf, 1980: 55-56).
Mud adalah takaran yang banyak dipakai di Madinah sejak pra-Islam. Para fukaha sepakat bahwa sha’ tersusun atas mud, namun mereka berbeda mengenai ekuivalensinya dengan ritl. Ulama Hanafiyah menyamakan 1 mud dengan 2 ritl, atau 260 dirham takaran, atau setara dengan 824,2 gram gandum, atau setara dengan 1,043 liter air. Sementara itu, Ibnu Hazm dan Ulama Malikiyah menyamakan 1 mud dengan 1 1/3 ritl gandum (al-burr). Para ulama mazhab lain menyetarakan 1 mud dengan 170,99 dirham takaran, atau 543,428 gram (gandum), atau 0,688 liter air. Dampaknya tentu pada ukuran sha’. Bagi ulama Hanafiyah, 1 sha’ setara dengan 1040 dirham takaran, atau 3,2928 kg atau 4,127 liter. Sementara bagi ulama lain, 1 sha’ setara dengan 685,28 dirham takaran, atau 2,175 kg atau 2,75 liter (al-Kharuf, 1980: 56-57).
Mud juga ekuivalen dengan hafnah, yaitu ukuran setara cakupan tangan tanpa dikatupkan. Problemnya, cakupan tangan orang berbeda-beda menurut besar kecilnya orang tersebut. Al-Maqrizi menceritakan bahwa muhtasib (pengawas pasar dan moral umum) dan kepala dar al-iyar (kantor peneraan ukuran) Mesir yang menguji coba mud standar (mu’tamad) dengan cakupan tangan orang berbeda-beda. Hasilnya, jika telapak tangannya lebar, maka hasilnya melebihi satu mud, sedangkan apabila tangannya kurang lebar hasilnya kurang sedikit dari mud mu’tamad. Mud mu’tamad setara dengan cakupan tangan orang yang telapak tanganya sedang-sedang saja.
Hasil senada dikemukakan oleh Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq. Ia menyimpulkan bahwa 1 sha’ sama dengan 2,176 kg gandum atau setara dengan 685,66 dirham takaran (2,175 kg gandum) atau setara dengan 5 1/3 ritl. Ia mengutip riwayat Abu Bakar al-Baihaqi mengenai perdebatan antara Malik bin Anas dengan Abu Yusuf, ulama kedua Hanafiyah setelah Abu Hanifah. Keduanya berdebat mengenai ekuivalensi sha’ dan mud saat mereka melaksanakan haji bersama Khalifah Harun al-Rasyid. Menurut Abu Yusuf, dan para ulama Hanafiyah, 1 sha’ setara dengan 8 ritl. Imam Malik menolak pendapat tersebut dan memanggil warga Madinah agar membawa takaran sesepuh mereka yang berasal dari era sahabat Nabi Muhammad. Malik mengeluarkan satu ukuran sha’ yang ia sebut sebagai sha’ Nabi. Abu Yusuf kemudian memakai sha’ tersebut untuk menakar dan hasilnya adalah 1 sha’ sama dengan 5 1/3 ritl (Ibn Hasan Hallaq, 2007: 85-87).
Pendapat al-Kharuf di atas sejalan dengan pendapat Ali Jum’ah Muhammad, dosen ushul fikih Fakultas Kajian Arab dan Islam Universitas al-Azhar, meski dengan hasil sedikit berbeda. Muhammad (2001: 36-37) mendefinisikan mud sebagai ukuran sepenuh dua tangan sedang-sedang tanpa mengatupkan keduanya atau disebut juga takaran hafnah. Ia membagi perbedaan mengenai ukuran mud menjadi dua, yaitu:
- Ulama Hanafiyah yang menyetarakan mud dengan dua ritl Iraq atau 2 X 406,25 gram sehingga sampai kepada angka 812,5 gram. Kesimpulannya, 1 sha’ sama dengan 3,25 kg.
- Jumhur ulama yang menyetarakan mud dengan 1 1/3 ritl atau 1 1/3 X 382,5 gram sehingga sampai kepada 510 gram. Kesimpulannya, 1 sha’ sama dengan 2,04 kg.
Pendapat lain adalah Muhammad Shalih bin Al-Utsaimin, ulama Arab Saudi. ia menetapkan bahwa 1 sha’ Nabi setara dengan 2,4 kg gandum yang baik (al-Utsaimin, 2003: 277). Yusuf al-Qardlawi, ulama Mesir yang menjadi warganegara Qatar, menetapkan sha’ Nabi dengan menekankan pada penggunaan takaran sebagai sarana paling bisa diandalkan. Al-Qardlawi dalam Fiqh al-Zakah mengkonversi kadar zakat fitrah dari takaran ke dalam timbangan seberat 2,156 kg (Yusuf al-Qardlawi). Sementara itu, Markaz al-Fatwa Idarah al-Da’wah wa al-Irsyad al-Dini Wizarah al-Awqaf wa al-Syuun al-Qatr menetapkan bahwa kadar sha’ untuk zakat fitrah dengan biji-bijian setara dengan timbangan 2,24 kg.
Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah 2,5 kilogram beras memiliki sandaran dari ulama maupun akademisi di dunia Islam. Para ulama di atas memberikan timbangan kadar zakat 1 sha setara dengan: 2,334 kg (Sulaiman Rasyid dari Indonesia), 2,4 kg (Musthafa Dib al-Bugha, ulama dan dosen dari Syiria), 2175 kg (al-Kharuf, dosen di Makkah), 2,04 kg (Ali Jum’ah Muhammad, dosen al-Azhar Mesir), 2,4 kg (al-Utsaimin, ulama Saudi Arabia), 2,176 kg (Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq, pengajar dari Yaman), 2, 156 kg (Yusuf al-Qardlawi, ulama Qatar asal Mesir), dan 2,24 kg (Markaz al-Fatwa Idarah al-Da’wah wa al-Irsyad al-Dini Wizarah al-Awqaf wa al-Syuun al-Qatr). Apabila disimpulkan, pendapat para ulama yang menyetarakan sha’Nabi tersebut menunjukkan bahwa kadar zakat fitrah adalah sebagai berikut:
Kadar zakat fitrah tersebut menggunakan gandum sebagai dasar. Hasilnya 1 sha’ merentang dari timbangan berat 2,04 – 2,4 kg dalam pandangan jumhur. Lajnah Ifta Mesir secara tegas menetapkan bahwa kadar zakat adalah sebesar 2,5 kg. Sementara itu, kalangan Hanafiyah memiliki norma standar zakat fitrah lebih besar, yaitu: 3,25 – 3,29 kg. Patut dicatat bahwa berat jenis gandum lebih berat sedikit dibandingkan beras. Artinya, jika pun gandum dipakai sebagai dasar pengukuran, maka hasilnya tidak jauh dari beras dan bahkan sudah menerapkan prinsip kehati-hatian karena jika diterapkan pada beras hasilnya lebh ringan timbangannya.
C. Kadar Zakat Fitrah Lebih dari 2,5 Kilogram
Kadar zakat fitrah lebih dari 2,5 kilogram, sebagaimana penjelasan di muka, sudah lama dikenal dari pendapat ulama Hanafi. Ulama Hanafi menetapkan standar zakat lebih tinggi dari ulama mazhab lain karena ekuivalensi yang berbeda antara mud dan sha’ terhadap ritl. Jika ulama lain menetapkan 1 sha’ sama dengan 5 1/3 ritl, ulama Hanafi dan ulama Kufah menetapkan 1 sha’ sama dengan 8 ritl Iraq. Hasilnya tentu kadar zakat fitrah lebih besar dibandingkan standar zakat ulama lain, yaitu 3,25 – 3,293 kg.
Pendapat Hanafi itu, meskipun minoritas, saat ini mulai mendapatkan dukungan senada, meskipun dengan titik tolak berbeda. Nur Ali al-Darb menjelaskan bahwa 1 sha’ Nabi SAW setara 5 1/3 ritl dan 1 mud dan setara dengan 1 1/3 ritl (https://binbaz.org, 2020). Pengukuran sha’ disesuaikan dengan cakupan penuh dua tangan sedang empat kali sehingga ketemu angka 3 kg. Secara prinsip pendapat ini masih mempergunakan ekuvalensi 1 sha’ dengan 5 1/3 ritl, tetapi karena pengukurannya mempergunakan cakupan tangan (hafnah) maka hasilnya berbeda dengan hasil yang dikemukakan para ulama atau akademisi yang menetapkan kadar zakat fitrah di bawah 2,5 kilogram.
Hai’ah Kibar al-Ulama Dubai mengeluarkan pendapat menarik mengenai ukuran (miqdar) zakat fitrah. Mereka membolehkan zakat fitrah dengan uang dengan mendasarkan diri kepada rentang ukuran sha’ dari 2,4 – 2,9 kg (www.albayan.ae). Demikian pula dengan Hai’ah Kibar al-Ulama al-Su’udiyah (Semacam MUI Saudi) menetapkan bahwa 1 sha’ setara dengan 2,6 kg karena 1 mud sama dengan 650 gram (al-Ghafili, 2020).
Pendapat itu sejalan dengan penelitian-penelitian kontemporer oleh para ilmuwan Barat. Ulrich Rebstock mengemukakan bahwa satuan mud berbeda-beda antara mud Madinah, mud Mesir dan Iraq, mud Syiria, mud maghrib, dan mud Yerusalem. Mud Madinah setara dengan 1,05 liter, mud Mesir dan Iraq 2,5 liter, mud Syiria 3,67 liter, mud Maghrib (Libya sekarang) 4,32 liter, dan mud Yerusalem 100 liter. Namun, Rebstock berkesimpulan bahwa sha’ Nabi (prophetic sha’) setara dengan 4,2125 liter, atau setara dengan 3,24 kg. Secara urut, mud Nabi sama dengan 1 1/3 ritl, sama dengan 171 3/7 dirham, sama dengan 3 3/7 awqiya atau uqiya Syiria, dan sama dengan 120 mitsqal (Rebstock, 2008: 2259 dan 2265).
Sementara itu Walther Hinz mengkaji tentang ekuivalensi antara sha’ Nabi Syar’i dengan takaran dan timbangan lain. Ia mendasarkan pada riwayat yang berasal dari masa Ayyubiyah sekitar tahun 1195 Masehi dari wadah untuk mengukur yang semisal dengan satu mud. Hasilnya, 1 sha’ sama dengan 337 dirham air, sama dengan 1,053125 kg/liter, dan sama dengan 4,2125 liter. Jika dikonversi menjadi berat, sha’ Syar’i setara dengan 3,24 kg. Hasil tersebut sama dengan hasil yang dikemukakan oleh Robstock. Namun, Hinz cenderung mengabaikan perbedaan ulama fikih (Hanafi vs Jumhur) mengenai ekuivalensi sha’ dengan ritl. Baginya, hitungan kadar sha’ 3,24 kilogram itu setara dengan 8 ritl Bagdad dan setara pula dengan 5 1/3 ritl Madinah (Hinz, 1970: 63). Penyamaan itu kurang tepat karena fikih-fikih klasik secara eksplisit menyebutkan bahwa kadar zakat fitrah adalah 5 1/3 ritl Iraq.
Jadi, pendapat bahwa kadar zakat fitrah di atas 2,5 kg memiliki variasi pandangan lebih besar. Ulama Hanafiyah menetapkan kadar zakat fitrah yang jika dikonversi ke dalam timbangan sekarang setara dengan 3,25 – 2,293 kg. Haiah Kibar al-Ulama Dubai menetapkan kadar zakat fitrah setara dengan 2,4 – 2,9 kilogram dan Haiah Kibar al-Ulama al-Su’udiyah (Semacam MUI Saudi) menetapkan 2,6 kg. Sementara itu, peneliti Jerman Ulrich Rebstock dan Walther Hinz menetapkan kadar 1 sha Nabi adalah setara dengan timbangan 3,24 kg.
D. Penentuan Timbangan dan Takaran
Persoalan antara timbangan dan takaran menjadi bahasan yang menarik dalam persoalan standar zakat fitrah. Mud dan Sha’ pada dasadarnya adalah takaran (ukuran volume) yang populer di kalangan masyarakat Madinah. Dalam riwayat Abu Dawud dan Nasai yang disahihkan oleh al-Albani terdapat penjelasan bahwa orang Madinah cenderung memaki takaran, sedangkan orang Makkah memakai timbangan sehingga disebutkan oleh Ibnu Umar:
المكيال مكيال اهل المدينة و االميزان ميزان اهل مكة
Takaran adalah takaran penduduk Madinah dan timbangan adalah timbangan penduduk Makkah
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mengatakan bahwa dasar sha’ adalah takaran (kayl). Para ulama mengekuivalenkan dengan timbangan untuk menjaga (validitasnya) sehingga tidak bertambah dan berkurang. Dengan equvalensi timbangan itulah, kadar mud dan sha’ diberlakukan di luar Hijaz. Ahmad bin Hanbal melakukan uji konversi dari sha’ ke ritl dan menemukan bahwa 1 sha’ sama dengan 5 1/3 ritl gandum/ hinthah (Ibnu Qudamah, 1997: IV, 287).
Perkembangan Islam ditandai dengan adaptasi berbagai pengaruh internasional dalam pengukuran berat, volume, nilai uang maupun jarak. Tiak jarang dinasti atau penguasa baru memperkenalkan standr pengukuran bari sehingga terjadi perubahan, utamanya dalam nilai mata uang dan berat. Rebstock meneliti berbagai pengukuran berat, takaran, volume, jarak dan nilai dalam sejarah Islam dan menemukan variasi. Dirham, misalnya, secara umum dipatok bahwa 10 dirham sama dengan 7 mitsqal. Namun kenyataannya proporsi mitsqal/dirham itu berbeda di setiap, seperti di Mesir 3,125/4,68 gram; di Aleppo Syiria 3,14/4,427 gram; di Damaskus 3,088/ 4,46 gram; di Iraq 3,125/ 4,46 gram; di Anatolia Turki 3,086/ 4,81 gram; dan di Magrib 3,3/ 4,722 gram (Rebstock, 2008: 2256 dan 2261).
Kajian yang baik mengenai penentuan sha’ syar’I dilakukan oleh Abdullah bin Manshur al-Ghafili, asiten dosen di Ma’had Ali li al-Qadla Saudi Arabia dan Wakil Ketua Lajnah al-Zakat wa al-Dharibah di Riyadl. Ia memetakan berbagai pendekatan dalam penentuan ukuran dan perbandingan hasilnya.
-
- Konversi ke Ritl
Timbangan yang umum dipakai adalah ritl. Ritl ini dipakai untuk timbangan maupun takaran, namun lebih umum untuk timbangan. Satu ritl sama dengan 12 uqiyah, dan 1 uqiyah setara dengan 40 dirham. Namun, kenyataannya ulama fikih berbeda pendapat mengenai ekuivalensi ritl dengan dirham, dimana ulama Syafiiyyah, Malikiyah, Hanabilah, termasuk Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah menetapkan 1 ritl sama dengan 128 4/7 dirham atau setara dengan 90 mitsqal. (al-Ghafili, 2020: catatan).
-
- Konversi ke Dirham
Dirham sendiri sejenis mata uang yang bisa dipakai untuk mengukur nilai atau takaran. Apabila dikonversi ke dalam gram, dirham memiliki nilai yang berbeda berdasarkan pendapat berbeda. Ada dua pendapat mengenai ekuivalensi dirham dengan gram. Pendapat pertama adalah bahwa 1 dirham syar’i sama dengan 2,97 gram. Pendapat kedua menyatakan bahwa 1 dirham syar’i setara dengan 3,17 gram. Pendapat pertama ini menurut al-Gahfili (2020) lebih kuat karena 7 dinar setara dengan 10 dirham sehingga 1 dinar syar’i setara dengan 4,24 gram. Dengan ukuran di atas, 1 ritl senilai dengan 128 4/7 dirham dan 1 mud setara dengan 508,75 gram sehingga 1 sha’ setara dengan 2035 gram. Namun ada pula pakar kontemporer yang menetapkan bahwa 1 sha’ setara dengan timbangan 2173 dengan dasar bahwa 1 dirham setara dengan 3,17 gram.
-
- Konversi dengan Liter
a. Konversi dengan Mililiter
Apabila sha’ disetarakan dengan liter melalui ekuivalensi dengan 2,035 gram gandum, maka 1 sha’ setara dengan 2430 mililiter atau 2,43 liter.
b. Konversi dengan Hafnah
Namun apabila liter itu dikonversi dari hafnah (cakupan tangan) orang yang tingginya sedang-sedang maka 1 hafnah setara dengan 628 mililiter sehingga 1 sha’ sama dengan 2512 mililiter.
c. Ekuivalensi dengan Sha’ atau Mud Nabi
Penentuan konversi sha’ menjadi takaran liter bisa menggunakan sha’ atau mud Nabi masa lalu. Namun, al-Ghafili mengakui bahwa tidak mudah untuk menetapkan dengan cara ini, utamanya untuk mendapatkan ijazah atau lisensi sha’ bersambung dari guru, meskipun hal itu sudah dilakukan oleh Syaikh Abdul Wakil bin Abdul Haq al-Hasyimi dengan melalui pengecekan sanad mud–nya hingga ke mud Zaid bin Tsabit.
Problemnya adalah mud yang tersedia di Kantor Peneraan Ukuran volumenya 786 mililiter atau 1 sha’ setara dengan 3144 mililter. Nah, untuk mengecek konsistensi takaran mud dan sha’ sampai ke masa Zaid bin Tsabit tidak mudah karena ada sekitar 12 tingkat sanad. Kenyataannya, mud yang harus dicek tidak bisa diverifikasi dan cetakan dari masa ke masa tidak lepas dari kesalahan atau deviasi karena tidak adanya standar baku di masa lalu. Perbedaan pengukuran kadar zakat dengan menggunakan sha’ dan mud era sekarang dengan dua pendekatan sebelumnya, yaitu dengan sesama takaran dan dengan timbangan lain, terlalu besar, yaitu 714 mililiter.
Oleh karena itu, al-Ghafili berpendapat bahwa dua cara di atas lebih baik, utamanya cara pertama (mililiter) yang ia pandang lebih teliti. Pilihan kadar yang lebih kecil Juga didukung kaidah bahwa kadar ibadah itu lebih meyakinkan yang kecil tuntutannya. Al-Ghafili menegaskan bahwa penetapan kadar zakat sifatnya taqribi (perkiraan), bukan tahdidi (kepastian) karena tidak adanya cara yang sangat akurat. Yang ada adalah pendekatan “kurang lebih”.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas tampak bahwa kadar zakat fitrah mengalami perbedaan karena beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah ekuivalensi sha’ atau mud Nabi dengan ukuran lain yang berlaku lebih luas di dunia Islam, yaitu ritl. Hal itu melahirkan dua pendapat besar, yaitu Hanafi dan Jumhur.
Kadar zakat fitrah jumhur apabila ditarik dengan ukuran sekarang melahirkan kadar di bawah 2,5 kg, yaitu merentang dari 2,04 kg sampai 2,4 kg. Pendapat ini dikemukakan para akademisi dan pakar hukum Islam, baik di Indonesia, Mesir, Syiria, Yaman, Arab Saudi, maupun Qatar, termasuk Lajnah Ifta Mesir. Ekuivalensi sha’ Nabi dengan timbangan yang mereka buat berada di bawah 2,5 kg sehingga dibulatkan menjadi 2,5 kg.
Pendapat ulama Hanafiyah dan peneliti Barat modern melahirkan kadar zakat di atas 3,0 kg. Kadar sha menurut ulama Hanafiyah setara dengan rentang 3,25 kg sampai 3,293 kg. Pendapat tersebut pada masa sekarang sejalan dengan pendapat beberapa ahli Barat, seperti Rebstock dan Hinz yang menyatakan bahwa sha’ Nabi setara dengan timbangan 3,24 kg.
Pendapat lain muncul di luar kedua pendapat di atas, yaitu bahwa kadar zakat fitrah adalah di di atas timbangan 2,5 kg dan di bawah atau sama dengan timbangan 3,0 kg. Pendapat ini dikemukakan oleh Haiah Kibar al-Ulama Dubai (2,4 – 2,9 kg) dan Haiah Kibar al-Ulama al-Su’udiyah (2,6 kg). Selain itu, Nur Ali al-Darb dalam Binbaz,org menetapkan bahwa kadar zakat fitrah adalah 3,0 kg berdasarkan konversi dari hafnah ke dalam timbangan berat.
Untuk mekanisme konversi atau equivalensi sha Nabi ke dalam ukuran kontemporer ada tiga cara, sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghafili. Cara pertama adalah dengan mengkonversi takaran yang equivalen dengan sha’ Nabi ke dalam ukuran timbangan sekarang. Cara kedua adalah mengkonversi takaran sha’ Nabi melalui equvalensi timbangan berat dari masa lalu (ritl). Cara ketiga adalah dengan mempergunakan ukuran sha’ atau mud yang tersedia dan dipakai saat ini di Saudi Arabia. Al-Ghafili menilai penggunaan takaran sha’ dan mud yang beredar saat ini tidak cukup reliabel. Pertama, hasil penggunaan cara ketiga itu berbeda jauh dengan hasil pengukuran dengan menggunakan cara pertama dan kedua. Kedua, reliabilitas sha’ dan mud sekarang tidak bisa diandalkan karena pencetakan takaran dari masa ke masa yang rentan kesalahan karena tidak adanya standarisasi di masa lalu dan karena transmisi takaran yang sangat rawan kesalahan.
Jadi, kadar zakat fitrah 2,5 kg masih relevan untuk saat dengan dua alasan. Pertama, kadar tersebut saat ini didukung oleh pendapat banyak ulama dari berbagai negara bahwa sha’ Nabi setara dengan kadar di bawah 2,5 kg sehingga pembulatan menjadi 2,5 kg sudah memenuhi ihtiyah atau kehati-hatian. Kedua, dalam pandangan hukum Islam, apabila terjadi kontradiksi antara pembebanan hukum, maka dipilih yang paling ringan karena itu lebih mendekati keyakinan dan kaidah bara’ah ashliyah, yaitu bahwa pada dasarnya beban hukum itu tidak ada.
F. Daftar Sumber
Ghafili, Abdullah ibn Manshur al-. al-Sha’ bayn al-Maqayis al-Qadimah wa al-Haditsah. almoslim.net. akses 28 Mei 2020 jam 10.15 dan www.saaid.net
Hinz, Walther. Al-Makayil wa al-Awzan al-Islamiyyah wa Ma Yu’adiluha fi al-Nizham al-Mitri. Diterjemahkan oleh Dr. Kayl al-Asili. Amman: al-Jamiah Urdun, 1970
Darb, Nur Ali al-. Miqdar al-Sha’ fi Zakah al-Fitr bi al-Kilo. Http://binbaz.org diakses 27 Mei 2020 jam 20.15
Muhammad, Jum’ah Ali. Al-Makayil wa al-Mawazin al-Syar’iyyah. Kairo: al-Quds. 2001
Qatr, Markaz al-Fatwa Idarah al-Da’wah wa al-Irsyad al-Dini Wizarah al-Awqaf wa al-Syuun al-Islamiyyah Dawlah Qatr. Miqdar al-Nishab fi al-Hubub bi al-Kilo Jaram, www.islamweb.net Diakses 28 Mei 2020 jam 11.30
Kharuf, Muhammad Ahmad Ismail al-. pengantar dan catatan terhadap karya Ibnu Rif’ah. Al-Idlah wa al-Tibyan fi Ma’rifah al-Mikyal wa al-Mizan. Damaskus: Dar al-Fikr. 1980
Utsaimin, Muhammad bin Shalih al-. Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilah al-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Jilid 18. Riyadl: Dar al-Tsarya. 2003
Ibn Hassan Hallaq, Muhammad Subhi. Al-Idlahat al-Ashriyyah li al-Maqayis wa al-Makayil wa al-Auzan wa al-Nuqud al-Syar’iyyah. Sanaa: Maktabah al-Jayl al-Jadid. 2007
Bugha, Musthafa Dib al-. Al-Tadzhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa al-Taqrib. Surabaya: al-Haramain, 2010
Ibnu Qudamah, Muwaffaq al-Din. Al-Mughni. Juz IV. Riyadl: Dar Alam al-Kutub. 1997
Rebstock, Ulrich. Dalam Heḫaine Selin. Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and Medicine in non-Western Culture. Berlin: Springer. 2008. 2255-2267
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2005
www.albayan.ae. Zakah al-Fitr, Miqdaruha wa Hukmuha wa Waqtuha