Etalase

KHALED DAN SHAHAB

Khaled dan Shahab

Oleh:

Muhamad Rofiq, Lc. M.A.

 

Kira-kira satu setengah tahun yang lalu, di akun facebook saya mempromosikan sebuah buku baru (terbit tahun 2016) yang berjudul “What is Islam”. Buku ini ditulis oleh Shahab Ahmad, seorang sarjana berdarah Pakistan, kelahiran Singapura, kuliah di Malaysia, Kairo, dan Amerika, dan terakhir mengajar hukum Islam di Harvard University. Saya menyebut buku ini menarik karena wawasan penulisnya yang luas tentang tradisi filsafat, tasawuf, dan sastra dalam sejarah Islam. Ahmad juga menguasai beberapa bahasa penting terkait Islamic studies. Selain Arab, Inggris, dan Urdu, Shahab menguasai Bahasa Melayu, Turki, Punjabi, dan Persia. Ia juga menguasai Bahasa Jerman dan Perancis.

Secara singkat gagasan besar Shahab dalam bukunya bisa digambarkan sebagai berikut.

Dalam dunia akademik, sering terjadi perdebatan tentang apa itu Islam atau bagaimana mempelajari Islam. Secara umum bisa dikatakan ada dua pendekatan: teologis dan sosiologis-antropologis. Bagi sarjana teologi, Islam adalah apa yang disebut oleh sumber-sumber otoritatif, al-Quran dan Hadis, dan yang diyakini oleh mayoritas sarjananya. Konsep yang terakhir inilah yang disebut dengan ortodoksi. Sebagian ilmuwan lain menyebutnya sebagai doxa atau diskursus yang dominan.

Bagi para sosiolog dan antropolog, Islam tidak bisa diesensialisasikan. Dengan kata lain bagi ilmuwan dari dua disiplin ini, tidak ada manifestasi paling otentik untuk Islam. Islam adalah praktik keseharian orang-orang Islam, sekalipun itu bertentangan dengan sumber ajaran Islam atau keyakinan mayoritas umat Islam. Konsep terakhir inilah yang dipakai, diajukan, dan dipertajam oleh Shahab Ahmad. Bagi Shahab, Islam tidak bisa dilihat dari teks, tapi dari bagaimana seorang muslim melihat dan meyakini praktiknya. Jika seorang muslim mengikuti suatu ide atau melakukan suatu perbuatan, sekalipun tidak umum, dan menyebutnya sebagai tindakan yang islami, maka itulah Islam. Shahab menyebut beberapa contoh. Kata Shahab, betapa pun kontroversialnya filsafat iluminasi Suhrawardi dan Ibnu Arabi, filsafat mereka tetaplah islami karena diyakini oleh perumusnya sebagai filsafat Islam.

Shahab sampai kepada contoh yang paling kontroversial dalam bukunya, yaitu tentang minum wine. Praktik ini tetap bisa disebut Islami sepanjang yang bersangkutan menganggapnya Islami. Ia menyebut beberapa contoh bagaimana para sarjana Islam klasik, seperti Abu Zayd al-Balkhi, Ibnu Sina, Nasiruddin at-Tusi, dan para penguasa muslim di Dinasti Mughal, Ottoman, dan Safawiyah, melakukan tradisi minum wine. Dus, jika dalam pendekatan teologis, hanya ada satu ortodoksi yang menjadi representasi yang sebenarnya untuk ajaran Islam, dalam konsep antropologi versi Shahab, ada multiple orthodoxies. Bagi Shahab, karena ortodoksi sifatnya banyak, maka sama artinya konsep ortodoksi Islam tidak bermakna. Atau sama artinya tidak ada ortodoksi sama sekali. Semua yang Islami adalah apa yang diyakini oleh penganutnya.

Pagi ini, saya menyempatkan diri menonton pengajian online Khaled Abou el-Fadel, Professor Hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles), di channel youtubenya, the Usuli Institute. Kebetulan sesi yang saya tonton mengupas buku dan gagasan Shahab Ahmad. Khaled mendapatkan pertanyaan spontan dari jamaah pengajiannya tentang buku setebal 600 halaman tersebut. Jawaban Khaled terhadap pertanyaan tersebut sangat lugas dan sangat di luar dugaan saya. Selama 45 menit penjelasannya, tidak ada satupun apresiasi untuk karya Ahmad Shahab.

Jawaban Khaled ini sebenarnya di luar kebiasaan orang Amerika. Di budaya Amerika dikenal istilah the Art of the Sandwich. Jika seseorang mereview karya orang lain, atau seorang professor mengomentari karya mahasiswa atau koleganya sesama professor, dia biasanya akan memberikan apresiasi untuk hal-hal positif dalam karya tersebut. Setelah itu dia sampaikan kritik secara halus. Di bagian akhir, kritik tersebut ditutup lagi dengan apresiasi untuk kontribusi karya tersebut. Persis seperti struktur sandwich: di atas ada roti, di tengah ada daging dan sayur, di bawah ditutup roti lagi. Khaled sama sekali tidak mengindahkan kebiasaan ini. Sama sekali tidak ada basa-basi dalam komentarnya.

Berikut beberapa ekspresi yang digunakan oleh Khaled:

“Buku ini distortif”, “buku ini mengandung kegilaan”, “buku ini tidak akademik”, “buku ini sampah”. “Shahab Ahmad sudah tidak percaya al-Quran”, “dia mengosongkan Islam dari nilai-nilai etiknya”, “Shahab berbohong”, “dia mendekonstruksi seluruh ajaran Islam untuk melegitimasi egonya”, “Shahab terobsesi membuat takjub Michael Cook”, “dia ikut jejak langkah orientalis”, “sungguh memalukan buku ini diterbitkan oleh Princeton”, dan “sebuah ke-idiot-an tersendiri menyebut buku ini membawa paradigma baru dalam studi Islam”.

Komentar pedas di atas cukup mengejutkan bagi saya mengingat bahwa Khaled dan Shahab adalah sahabat karib sejak mereka sama-sama kuliah di Princeton University di New Jersey sampai Shahab wafat tahun 2015. Tapi tampaknya bagi Khaled, kedekatan persahabatannya dengan Shahab, tidak mengurangi obyektifitasnya dan ketegasannya dalam memberikan penilaian.

Berkaca dari apa yang disampaikan oleh Khaled, ada beberapa hal yang menjadi bahan refleksi saya.

Pertama, Khaled melihat buku Shahab dari kacamata teologi, atau kacamata dakwah, tidak semata kacamata akademik. Khaled menempatkan dirinya sebagai seorang shaikh yang membimbing jamaahnya, mengarahkan umatnya, bukan sekedar seorang ilmuwan yang terikat dengan aturan formal dalam berwacana. Tampaknya bagi Khaled, dampak dari buku Shahab sangat serius terhadap pilar-pilar agama Islam. “Saya bertemu beberapa orang yang setelah membaca buku ini tidak mau lagi shalat, dan mulai minum wine”, kata Khaled.

Kedua, secara akademik, ini menunjukkan masih adanya ketegangan antara pendekatan insider dan outsider. Khaled menyayangkan sebagai seorang insider (orang dalam), Shahab tidak menunjukkan keberpihakan kepada doktrin-doktrin pokok ajaran Islam sebagaimana disebut dalam al-Quran. Ia lebih peduli pada bagaimana menampilkan Islam agar bisa dibaca oleh outsider (orang luar). Ia tidak peduli jika gagasan yang ia gulirkan dapat meruntuhkan pilar inti ajaran Islam.

Ketiga, ini juga menunjukkan masih ada ketegangan antara pendekatan teologis dan antropologis dalam mengkaji agama. Apa yang menjadi pemahaman dalam pendekatan dalam antropologi (kadang disebut lebih simpatik dibandingkan pendekatan teks), belum tentu sejalan dengan doktrin Islam. Sebaliknya apa yang disebut sebagai doktrin inti ajaran Islam menurut kacamata teologi belum tentu mendapatkan tempat bagi pendekatan antropologi. Pendekatan teologi selalu menekankan ortodoksi dan esensialisasi Islam, sementara pendekatan antropologi melihat Islam dari praktik-praktik orang Islam yang meniscayakan perlakuan seimbang terhadap semuanya. Teologi melihat Islam dari kacamata kebenaran menurut mayoritas, antropologi melihat bahwa semua praktik memiliki kedudukan dan nilai yang sama.

Ketegangan dan konflik di atas selayaknya diatasi. Menjadi teolog (mufassir, faqih, ahlul hadis, syaikh, ustaz, dan lain-lain) semestinya tidak bertentangan dengan identitas sebagai antropolog atau sosiolog. Begipula sebaliknya. Tapi tentu saja untuk menghindarkan benturan keduanya, diperlukan suatu pemikiran konseptual. Beberapa ide pernah dicetuskan dan perlu terus didiskusikan. Misalnya gagasan Talal Asad tentang Islam sebagai tradisi diskursif. Gagasan lain perlu terus dicari untuk mencari keseimbangan keduanya.

 

*Artikel ini adalah artikel keislaman. Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button