KHALED DAN ARKOUN
Khaled dan Arkoun
Oleh:
Muhamad Rofiq, Lc. M.A.
Salah satu cerita menarik yang saya jumpai dalam buku Khaled Abou el-Fadel Reasoning with God, Reclaiming Shariah in the Modern Age adalah kisah perjumpaan Khaled dengan intelektual Perancis berdarah Berber Aljazair, Muhammad Arkoun, di tahun 1980-an. Khaled yang saat itu tengah menempuh pendidikan profesional di bidang hukum (Juris Doctor Degree) mengundang Arkoun untuk datang ke rumahnya di Pennsylvania, Amerika Serikat. Arkoun di tahun-tahun itu baru saja difatwa kafir oleh beberapa orang ulama Arab Saudi terkait gagasannya mengenai tiga lapis perkembangan al-Quran dan kritiknya terhadap apa yang dia sebut sebagai Islamologi klasik.
Pada waktu itu Arkoun juga sudah menggulirkan gagasan tentang pentingnya fenomenologi (disiplin yang mengkaji tentang sejarah mentalitas dan kesadaran manusia) dan Islamologi Terapan (Applied Islamology) yang menggabungkan konsep-konsep sosiologi dan antropologi dalam studi Islam. Salah satu gagasan penting yang disampaikan oleh Arkoun dalam fenomenologi Islam adalah kritiknya terhadap ortodoksi. Arkoun beragumen bahwa ortodoksi (kebenaran yang dipercaya oleh mayoritas) telah mengakibatkan gagasan-gagasan penting menjadi “tidak terpikirkan (unthinkable)”. Ortodoksi juga telah melahirkan “sakralisasi pemikiran keagamaan” dan menyebabkan al-Quran menjadi “korpus resmi tertutup” yang dibaca secara dogmatis oleh muslim sepanjang sejarah Islam. Terpengaruh oleh tren filsafat post-modernisme yang berkembang di Perancis tahun 1970-an, Arkoun menolak perlunya ortodoksi dalam Islam. Arkoun mengatakan era kemapanan dalam beragama (era ilmul yaqin) sudah semestinya diakhiri.
Sebagai alternatif dari konsep ortodoksi, Arkoun dalam beberapa karyanya mengajak para intelektual untuk melakukan dekonstruksi terhadap tradisi Islam. Jalan untuk dekonstruksi ada dua hal: pertama, dengan melakukan “pemutusan epistemologi (epistemological break)” terhadap tradisi itu sendiri. Dengan kata lain dekonstruksi dilakukan dengan berhenti menggunakan konsep dan metodologi yang diproduksi oleh tradisi di masa lalu. Kedua, Arkoun mengajukan ide tentang proyek Emerging Reason (Nalar Yang Muncul). Inti dari gagasan ini adalah Arkoun berambisi melahirkan nalar universal yang menyatukan epistemologi Barat dan Timur. Arkoun juga ingin menggagas nalar yang dapat goes beyond (melampaui) sekat dan dikotomi agama, khususnya agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Bagi Arkoun, rupture (keterputusan) khususnya antara Kristen dan Islam sebenarnya adalah fenomena yang baru terjadi setelah perang Lepanto di tahun 1571 antara tantara Turki Usmani dan aliansi pasukan Kristen Eropa. Sebelumnya, tradisi bertukar gagasan dan saling mempengaruhi antara Yahudi, Kristen, dan Islam terjadi secara dinamis di Andalusia. Langkah untuk merealisasikan Proyek Nalar yang Muncul ini menurut Arkoun adalah dengan melakukan perbandingan untuk menyingkap apa yang tidak terfikirkan sebelumnya dalam masing-masing agama samawi tersebut.
Kembali ke Khaled, ada dua hal yang menurut saya menarik dari apa yang ia tulis tentang Arkoun dalam bukunya tersebut. Pertama, Khaled bercerita tentang dialognya dengan Arkoun menjelang mereka berdua berpisah. Khaled menulis bahwa dalam perjalanannya mengantar Arkoun menuju stasiun, antropolog Perancis ini bertanya tentang sejauh mana gagasannya bisa diterima dan dipahami masyarakat secara lebih luas. Khaled secara spontan menjawab bahwa ide Arkoun akan kalah oleh nalar paktis masyarakat umum yang serba berorientasi pada piety (kesalehan). Arkoun tampaknya tersinggung dengan jawaban ini. Setelah mendengar jawaban Khaled, Arkoun diam tak melanjutkan pembicaraan lagi. Khaled sendiri kemudian menyesal karena jawabannya tidak mempertimbangkan konteks psikologis Arkoun yang baru tergoncang secara batin akibat fatwa kafir yang belum lama diterimanya.
Kedua, ini yang lebih penting, Khaled mengkritik keseluruhan gagasan Arkoun. Bagi Khaled, yang lebih mendesak bukan memikirkan apa yang sebelumnya “tidak terfikirkan” dari agama Islam, tetapi merehabilitasi memori umat Islam tentang tradisi mereka sendiri. Arkoun, kata Khaled, mengabaikan fakta bahwa umat Islam tengah mengalami amnesia akan tradisi (turas) nya. Amnesia ini disebabkan oleh kolonialisme dan modernisme bangsa Eropa. Padahal tradisi Islam bukan hanya kaya, tapi juga canggih. Hanya sayang kecanggihan tersebut tidak lagi disadari umat Islam. Thus, bagi Khaled, tugas para intelektual muslim adalah merevitalisasi the forgotten tradition (tradisi yang terlupakan), bukan excavate unthinkable ideas (menggali ide-ide tidak terpikirkan) karena ortodoksi. Khaled sendiri tampaknya tidak punya keberatan apapun tentang konsep ortodoksi.
Khaled juga menolak gagasan tentang kebenaran universal (universal truism) yang digagas Arkoun dalam proyek Nalar yang Muncul. Apa yang disebut sebagai nilai universal sebenarnya adalah pengalaman spefisik Barat. Arkoun, menurut Khaled, telah memproyeksikan filsafat Barat yang lahir dari ruang dan waktu yang bersifat khusus kepada masyarakat muslim dan kemudian menyebutnya sebagai sesuatu obyektif. Apa yang diklaim oleh Barat yang kemudian dipromosikan oleh Arkoun tentang nilai-nilai “Pencerahan (the Enlightenment)” sebagai universal pada dasarnya adalah nilai dan etika Kristiani, khususnya Protestan. Kata Khaled, Arkoun semestinya sadar bahwa tidak pernah ada yang namanya nilai obyektif yang dapat berlaku global.
Selain dua hal di atas, Khaled juga mengkritik pendekatan dekonstruksi tradisi yang disuarakan Arkoun. Pendekatan ini, kata Khaled, tidak akan membawa kepada apapun kecuali hanya nihilism (kekosongan nilai). Dekonstruksi hanya akan membawa kepada meaninglessness (kondisi tanpa makna). Khaled menyebut bahwa dalam tradisi filsafat post-modernism di barat sendiri, pendekatan ini sudah mulai dikritik dan ditinggalkan. Pendekatan ini dianggap hanya akan membuat semuanya menjadi serba relatif. Dalam situasi ketimpangan antara Barat dan Timur saat ini, relativitas nilai justru akan mengokohkan hegemoni nilai-nilai Barat dan merugikan bangsa-bangsa non-Barat.
Mengakhiri cerita sekaligus kritiknya terhadap Arkoun, Khaled menyebut bahwa apa yang terjadi pada Arkoun semestinya menjadi pelajaran bagi yang lain. Dua pelajaran yang bisa diambil. Pertama, seorang sarjana yang terdidik di dunia Barat (tentu saja termasuk di dunia Timur) jangan sampai menggulirkan wacana yang justru membangun penghalang epistemologis (epistemological block) bagi muslim untuk memahami tradisinya, memahami agamanya. Kedua, seorang intelektual harus selesai dulu dengan dirinya sebelum ia berbicara ke publik. Jangan sampai petualangan personalnya mencari identitas kemudian ia proyeksikan ke orang lain. Kata Khaled, ini sama seperti ketika kita diajarkan oleh orang tua pada saat kita masih kecil, “Don’t talk until you finish your homework” (kerjakanlah dulu PRmu, baru kamu boleh bicara).
Satu refleksi yang menarik dan penting untuk kita semua renungkan.
*Artikel ini adalah artikel keislaman. Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid