BeritaFalak

Muktamar Turki dan Momentum Penyatuan Kalender di Indonesia

Muktamar Turki  dan Momentum Penyatuan Kalender di Indonesia

Oleh: 

Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA

(Kepala OIF UMSU dan alumni Institute of Arab Research and Studies Cairo)

Tepat pada hari Sabtu-Senin, 28-30 Mei 2016 M (21-23 Syakban 1437 H) telah dihelat sebuah muktamar bertaraf internasional di kota Istanbul, Turki, bertitel “Mu’tamar Tauhid at-Taqwim al-Hijry ad-Dauly” (Muktamar Penyatuan Kalender Hijriah Internasional). Tuan rumah dan penyelenggara kongres ini adalah “Diyanet Isleri Baskanligi” yaitu sebuah Badan Urusan Agama Turki. Muktamar ini juga merupakan kolaborasi kerjasama antara “European Council for Fatwa and Research” (ECFR) yang berkedudukan di Dublin Irlandia, “Kandilli Rasathanesi ve Deprem Arastirma Entitusu” (Observatorium Kandilli dan Institut Penelitian Gempa Bumi), dan “Islamic Crescents Observation Project” (ICOP). Kongres ini sendiri dihadiri oleh perwakilan 60 negara di dunia yang terdiri dari unsur kementerian agama, instansi pemerintah, ormas, fukaha, dan astronom. Indonesia sendiri diwakili oleh tiga orang utusan yang masing-masing mewakili dan merepresentasikan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Materi persoalan yang dibicarakan sekaligus diperdebatkan dalam muktamar internasional ini adalah menyangkut bentuk kalender Islam yang akan disepakati dan diputuskan yaitu apakah kalender yang bersifat tunggal (uhady) yaitu kalender yang berlaku dan mencakup seluruh dunia (global) ataukah kalender yang bersifat bizonal (tsuna’iy) yaitu kalender yang membagi belahan bumi menjadi dua zona penanggalan atau lebih. Berbagai sumber informasi menyebutkan (khususnya informasi peserta muktamar dari Indonesia) bahwa dalam pelaksanaannya memang terjadi dinamika dan dialektika dikalangan pesertanya. Perdebatan tidak jauh dari apa yang selama ini diperdebatkan yaitu masalah rukyat, masalah penerimaan hisab, masalah konsepsi awal hari, hingga masalah matlak.  Namun agaknya panitia sengaja menggiring dan memokuskan pada perumusan penanggalan (kalender) yang bertaraf internasional-universal yaitu pada pilihan kalender tunggal atau bizonal. Setelah dialog dan debat yang panjang dan tidak ada kata sepakat dikalangan peserta, akhirnya untuk pengambilan keputusan terpaksa dilakukan pemungutan suara (voting). Dalam pemungutan suara itu pada akhirnya dengan mayoritas suara hampir mutlak, kalender tunggal (uhady) memenangkan suara dominan dengan meraih 80 pendukung. Sementara kalender bizonal (tsuna’iy) memeroleh 27 suara. Sedangkan 14 suara abstain dan 6 suara rusak atau tidak sah. Dengan demikian mayoritas peserta muktamar menentukan pilihannya secara tegas bahwa kalender Islam yang akan diberlakukan secara internasional itu adalah kalender tunggal, bukan kalender bizonal.

Kalender tunggal adalah kalender yang menjadikan muka bumi sebagai satu kesatuan, dimana awal bulan hijriah di seluruh dunia dimulai secara serentak pada hari yang sama. Prinsip fikih yang menjadi sandaran konsep ini adalah kesatuan matlak (ittihad al-mathali’). Dengan kata lain, kalender putusan muktamar di Turki ini adalah kalender yang menganut prinsip “satu hari satu tanggal di seluruh dunia”. Prinsip yang terakhir ini antara lain dimunculkan oleh Jamaluddin Abdur Raziq seorang praktisi dan peneliti kalender Islam asal Maroko. Dalam aplikasinya, kalender tunggal-global ini mengakomodir secara sekaligus kepentingan ibadah dan muamalah (sipil-administratif). Justru fungsi utama kalender hijriah ini sejatinya adalah sebagai penjadwalan terkait ibadah khususnya penentuan awal puasa dan penentuan hari Arafah. Keuntungan diterapkannya kalender yang bersifat global ini adalah kita tidak dikhawatirkan lagi dengan adanya perbedaan dalam menetapkan hari Arafah yang sangat terkait dengan negara Arab Saudi.

Adapun kaidah kalender yang disahkan dalam muktamar internasional Turki ini adalah bahwa seluruh dunia dinyatakan memulai bulan baru secara serentak apabila telah terjadi imkanur rukyah di belahan bumi manapun di muka bumi sebelum jam 12:00 malam (jam 00:00 GMT/07:00 WIB), dengan ketentuan: (1) sudut elongasi bulan-matahari pasca gurub berada pada posisi minimal 8 derajat, dan (2) tinggi bulan di atas horison pasca gurub minimal 5 derajat. Selanjutnya terdapat pengecualian, yaitu apabila imkanur rukyah pertama di muka bumi terjadi setelah lewat jam 12:00 malam (jam 00:00 GMT/07:00 WIB) maka bulan baru tetap dimulai apabila terpenuhi dua syarat berikut: (1) imkanur rukyah memenuhi 5-8 (ketinggian hilal 5 derajat dan elongasi 8 derajat) dan telah terjadi konjungsi sebelum waktu fajar di New Zealand yaitu kawasan paling timur di muka bumi, dan (2) imkanur rukyah itu terjadi di daratan Amerika, bukan di lautan.

Harus diakui, kaidah dan rumusan kalender ini terdapat sejumlah problematika dan dialektika, khususnya pada konsepsi permulaan hari. Dari rumusan di atas tampak bahwa putusan ini menetapkan bahwa awal hari dimulai dari tengah malam (jam 00:00) bukan pada waktu gurub (terbenam matahari) seperti diyakini dan digunakan mayoritas umat Muslim di dunia selama ini. Selain itu, pilihan 5-8 itu juga menyisakan problem, yaitu mengenai landasan filosofis, landasan ilmiah, dan landasan (dalil) syar’i-nya.

Terlepas dari hal itu, dalam konteks Indonesia, arti penting muktamar internasional ini adalah momentum mewujudkan persatuan dan penyatuan kalender di Indonesia. Umat Islam di Indonesia agaknya sudah lelah bahkan jenuh, dimana berbagai dialog antar berbagai pihak yang dilakukan tak kunjung menghasilkan kata sefaham dan sepakat disebabkan berbagai faktor internal dan eksternal masing-masing pihak. Oleh karena itu kesefahaman dan kesepakatan internasional ini menjadi titik krusial penyatuan di Indonesia. Terlebih lagi bila disimak, konsepsi (baca: keputusan) yang dihasilkan dalam Muktamar Internasional di Turki ini dipandang memenuhi rasa keadilan masing-masing pihak di tanah air yaitu pihak rukyat dan pihak hisab. Seperti diketahui, kalender hasil Muktamar Turki ini dalam perumusannya mendasarkan pada hisab astronomi namun tidak mengabaikan aspek rukyat atau imkanur rukyah. Terlebih penting lagi keptusan ini bernilai dan bertaraf internasional (bukan usulan personal atau komunal tertentu) sehingga sekali lagi dapat dijadikan rujukan bersama oleh semua pihak. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Muktamar Turki ini diharapkan mampu menjadi solusi atas perbedaan yang selama ini terjadi tanpa harus menghakimi dan menegasikan pihak lain.

Disisi lain, Kementerian Agama RI juga mengapresiasi putusan Muktamar Internasional di Turki ini. Tatkala memberi keynote speech dalam seminar nasional bertajuk “Kalender Islam Global : Tindak Lanjut Hasil Kongres Internasional Unifikasi Kalender Hijriah Turki 2016 Untuk Indonesia” yang diselenggarakan atas kerjasama Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhamamdiyah dan Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta, Menteri Agama (Lukman Hakim Saifuddin) mengatakan “seminar semacam ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memberikan sumbangsih pemikiran konstruktif yang dibutuhkan dalam peradaban manusia”. Betapapun pernyataan ini masih sangat umum, namun didalamnya termuat kesan dan semangat unifikasi, dimana bangsa Indonesia sangat mengapresiasi maksud dan tujuan muktamar ini, yaitu unifikasi kalender Islam dunia. Wallahu a’lam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button