EtalaseFatwaProduk

MUSAFIR MENJADI MAKMUM SALAT IMAM MUKIM DALAM SALAT EMPAT RAKAAT

Pertanyaan dari:

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

(diajukan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid pada saat rapat koordinasi persiapan

Munas Tarjih ke-28, hari Jumat tanggal 7 Rabiulakhir 1435 H/7 Februari 2014 M)

(jawaban disidangkan pada hari Sabtu, tanggal 15 Rabiulakhir 1435 H/15 Februari 2013 M)

Pertanyaan:

Seorang musafir yang menjadi makmum imam yang mukim dalam salat empat rakaat, apakah ia bisa berhenti (salam) di rakaat kedua ataukah ia harus mengikuti imam menyelesaikan salat empat rakaat?

Jawaban:

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa pada saat melakukan safar, Rasululllah lah yang menjadi imam bagi jamaah yang mukim.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَشَهِدْتُ مَعَهُ الْفَتْحَ فَأَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِىَ عَشْرَةَ لَيْلَةً لاَ يُصَلِّى إِلاَّ رَكْعَتَيْنِ وَيَقُولُ : يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ [رواه ابو داود]

Dari Imran ibn Hushain, ia berkata: aku pernah berperang bersama Rasulullah Saw. dan aku mengikuti bersama Rasulullah peristiwa Fath Makkah. Beliau tinggal di Makkah selama 18 hari. Selama itu beliau tidak salat kecuali hanya dua rakaat. Beliau bersabda: “Wahai penduduk negeri (Makkah), salatlah empat rakaat, karena kami adalah orang yang safar” [HR Abu Dawud].

Sesuai dengan hadis di atas, adalah dibolehkan seorang musafir bertindak menjadi imam salat bagi jamaah yang mukim. Dalam hal demikian, musafir bisa melakukan qasar (salat dua rakaat). Sementara  bagi jamaah yang mukim dan menjadi makmum ia tinggal menambahkan dua rakaat lanjutannya.

Adapun dalam hal yang menjadi imam adalah orang yang mukim, para ulama berbeda pendapat. Ibnu Hazm (w. 456), ulama Mazhab Zahiri berpendapat bahwa makmum bisa salat dua rakaat tanpa harus mengikuti jumlah rakaat imam. Dalam kitabnya al-Muhalla (V/31) ia menyatakan: “Jika seorang musafir salat dengan imam yang mukim, musafir mengqasar salatnya, tidak bisa tidak. Jika seorang mukim salat dengan diimami oleh musafir, maka yang mukim menyempurnakan salatnya, tidak bisa tidak.” Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama mewajibkan bagi makmum untuk menyempurnakan salat menjadi empat rakaat. Imam al-Nawawi (w. 676) misalnya dalam al-Majm­’ (IV/211) menyatakan: “al-Syafi’i dan pengikut mazhabnya berpendapat bahwa syarat salat qasar adalah seorang musafir tidak menjadi jamaah bagi imam salat empat rakaat. Jika ia menjadi jamaah bagi imam salat empat rakaat, ia wajib menyempurnakan salatnya”.  Ibnu Taimiyah (w. 728) dalam Majm­’ al-Fatawa (XIV/92) juga menyatakan hal yang sama: “Seorang musafir jika menjadi jamaah imam yang mukim, ia harus salat empat rakaat, karena menyesuaikan dengan rakaat imamnya”.

Dasar dari pendapat Ibnu Hazm adalah kembali kepada dalil-dalil yang berbicara tentang anjuran untuk selalu melakukan qasar pada saat melakukan safar. Dalil-dalil tersebut antara lain:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فُرِضَتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا وَصَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَصَلَاةُ الْخَوْفِ رَكْعَةً [رواه النسائى]

Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Salat empat raka’at diwajibkan bagi yang bermukim, melalui lisan Nabi Saw. Adapun salat safar adalah dua raka’at dan salat Khauf dilaksanakan satu raka’at.” [HR Nasai]

مَا سَافَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا اِلاَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ وَاِنَّهُ أَقَامَ بِمَكَّةَ زَمَانَ اْلفَتْحِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ لَيْلَةً يُصَلِّي بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ اِلاَّ اْلمَغْرِبَ ثُمَّ يَقُولُ يَا أَهْلَ مَكَّةَ قُومُوا فَصَلُّوا رَكْعَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ فَإِنَّا قَومُ سَفَرٍ [رواه احمد]

Rasulullah saw tidaklah bersafar melainkan mengerjakan salat dua rakaat saja sampai beliau kembali dari safarnya dan bahwasanya beliau telah berada di Makkah pada waktu Fathu Makkah selama delapan belas malam, beliau mengerjakan salat dengan para jamaah dua-dua rakaat kecuali salat Maghrib, setelah itu beliau bersabda: Wahai penduduk Makkah bersalatlah kamu sekalian dua rakaat lagi, karena sesungguhnya kami adalah or­ang yang sedang dalam safar [HR Ahmad].

Sedangkan dasar pendapat jumhur ulama adalah kembali kepada dalil tentang cara melakukan salat jamaah yang harus mengikuti setiap gerakan imam. Dalil tersebut adalah:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ ، فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا ، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ ، وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِى الصَّلاَةِ ، فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ. [رواه البخارى و مسلم]

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda: “dijadikannya Imam adalah untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah, “rabbanaa lakal hamdu”. Jika ia sujud maka sujudlah kalian, jika ia salat dengan duduk maka salatlah kalian semuanya dengan duduk, dan luruskanlah shaf, karena lurusnya shaf merupakan bagian dari sempurnanya shalat [HR Bukhari dan Muslim].

Selain itu, ada pula keterangan dari sebuah atsar bahwa Ibnu Umar Ra. pada saat di Mina ketika mengerjakan haji, sekalipun berstatus musafir tetap salat empat rakaat, karena pada saat itu ia menjadi makmum dari Usman ibn Affan yang salat dua rakaat. Atsar tersebut adalah:

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ وَعُمَرُ بَعْدَ أَبِى بَكْرٍ وَعُثْمَانُ صَدْرًا مِنْ خِلاَفَتِهِ ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى بَعْدُ أَرْبَعًا. فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا صَلاَّهَا وَحْدَهُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ [رواه مسلم]

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, katanya; “Ia pernah salat bersama Rasulullah Saw. di Mina dua rakaat, begitu pula Abu Bakar, dan Umar, dan di awal pemerintahan Usman, setelah itu Usman menyempurnakan salat empat rakaat. Apabila Ibnu Umar salat bersama Imam, maka ia salat empat rakaat, namun jika salat sendirian, dia salat dua rakaat [HR Muslim].

Memperhatikan dua pendapat di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid cenderung untuk merajihkan pendapat jumhur ulama. Menurut kami keumuman dalil tentang larangan untuk berbeda gerakan dengan gerakan imam pada saat salat dapat diberlakukan di sini. Sedangkan hadis tentang salat musafir yang dianjurkan untuk diqasar menjadi dua rakaat adalah dalil yang diberlakukan khusus, yaitu jika seorang musafir tidak menjadi makmum dari imam yang mukim.

Selain dalil umum dan atsar yang telah disebutkan di atas, ada juga hadis riwayat Ibnu Abbas yang bersifat eksplisit yang terkait dengan hal ini. Hadis tersebut adalah:

عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَ كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعاً وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِى الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم [رواه احمد]

Dari Musa ibn Salamah, ia berkata:Kami pernah bersama Ibnu Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, Kami (para musafir) jika salat di belakang kalian (yang mukim) tetap melaksanakan salat empat rakaat (tanpa diqasar). Namun ketika kami kembali ke perjalanan kami, kami melaksanakan salat dua rakaat (dengan diqasar). Ibnu Abbas mengomentari: Itulah Sunnah Abul Qasim (Rasulullah) Saw. [HR Ahmad].

Selain itu, sebagai tambahan argumen, pendapat kedua atau pendapat jumhur ulama adalah pendapat umum di kalangan para sahabat Nabi, sebagaimana dilaporkan oleh Ibnu Qud±mah (w. 620). Dalam al-Mughn³ (IV/80) ia menyatakan: “Karena hal tersebut (mengikuti imam salat empat rakaat) adalah amalan dari orang-orang yang kita sebut sebagai “sahabat” dan kita tidak mendengar ada yang yang menyelisihinya di zaman mereka”.

Namun perlu dicatat, jika musafir masuk menjadi makmum pada saat imam sudah rakaat ketiga, pada rakaat keempat si musafir bisa mengikuti imam salam dan mengakhiri salat. Artinya ia bisa melakukan salat dua rakaat saja. Hal ini boleh dilakukan karena tidak dianggap muf±raqah (menyelisihi imam) dan memiliki dasar, yaitu keumuman dalil tentang anjuran untuk melakukan qasar bagi musafir.

Demikian jawaban dari kami. Wallahu A’lam bis Shawab.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button