EtalaseProdukWacana

PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT SUBUH

PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT SUBUH

Oleh:

Anisah Budiwati, S.H.I, M.S.I[1]

 

A. Pendahuluan

Pada tahun 2009, persoalan penentuan awal waktu shalat pernah mengemuka menjadi sebuah kajian para ilmuan Falak di Indonesia, khususnya mengenai awal waktu shalat subuh. Sebagaimana dilansir artikel Salah Kaprah Waktu Subuh oleh Mamduh Farhan Al-Buhairi, di majalah Qiblati edisi 8 volume 4, di mana isinya menyalahkan jadwal shalat yang selama ini dipakai di Indonesia, bahkan menyalahkan waktu shalat yang berlaku di dunia Islam. Hal ini sedikit banyaknya menimbulkan keresahan jamaah shalat di Indonesia.

Sebagaimana data yang penulis dapatkan, permasalahan tentang awal waktu subuh ini pernah muncul di Kerajaan Saudi Arabia. Ada beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah mapan. Mereka menganggap bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya sekitar 20 menit. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (baca : Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh h.7).Ketika masalah tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ra selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus untuk meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah, sehingga kerancauanpun sirna.

Namun beberapa tahun yang lalu kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh selaku Mufti Umum KSA sepeninggal Syaikh Abdul Aziz bin Baz ra, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar) dan Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi.

Oleh karena itu, pada tulisan ini akan menjelaskan tentang dasar hukum, pengetahuan astronomi dan perbandingan ketinggian matahari pada awal waktu shalat subuh yang selama ini penulis ketahui.

B. Dasar Hukum Penentuan Awal Waktu Shalat Subuh

Penentuan waktu shubuh diperlukan untuk penentuan awal shaum (puasa) dan shalat. Tentang waktu awal shaum disebutkan dalam Al-Quran, “… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS 2:187). Sedangkan tentang awal waktu shubuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan waktu shalat shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari” (HR Muslim).

Hadis dari Jabir merincinya, “Fajar ada dua macam, pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk. Hadits lainnya, fajar yang melarang shalat (shubuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor srigala” (HR Hakim). Dalam kajian fiqih mengenalnya sebagai fajar shadiq (benar) dan fajar kidzib (palsu). Lalu fajar shadiq seperti apakah yang dimaksud Rasulullah saw ? Dalam hadis dari Abu Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah saw melaksanakan shalat shubuh saat kelam pada akhir malam, kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadis dari Aisyah, “Perempuan-perempuan mukmin ikut melakukan shalat fajar (shubuh) bersama nabi saw dengan menyelubungi badan mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih gelap.” (HR Jamaah).

C. Fenomena Fajar Mengawali Waktu Shalat Subuh

Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat.

Oleh karena itu formulasi fajar apakah yang menjadi pembatas awal shaum dan shalat shubuh ? Dari hadis Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat shubuh berjamaah bersama Nabi saw, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan apakah posisi matahari 18 derajat mutlak untuk fajar astronomi ? Definisi posisi matahari ditentukan berdasarkan kurva cahaya langit yang tentunya berdasarkan kondisi rata-rata atmosfer. Di ekuator, atmosfernya lebih tebal sehingga memungkinkan hamburan cahaya terjadi pada atmosfer yang lebih tinggi daripada di lintang lainnya. Akibatnya sangat beralasan di wilayah ekuator fajar dapat terlihat lebih awal (posisi matahari kurang dari -18 derajat di bawah ufuk) daripada di lintang tinggi (posisi matahari bisa lebih dari -18 derajat di bawah ufuk).

Dalam kondisi tertentu sangat mungkin fajar sudah muncul sebelum posisi matahari 18 di bawah ufuk, misalnya saat tebal atmosfer bertambah ketika aktivitas matahari meningkat atau saat kondisi komposisi udara tertentu – antara lain kandungan debu yang tinggi – sehingga cahaya matahari mampu dihamburkan oleh lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Akibatnya, walau posisi matahari masih kurang dari 18 derajat di bawah ufuk, cahaya fajar sudah tampak.

Para ulama ahli hisab dahulu sudah merumuskan definisi fajar shadiq dengan kriteria beragam, berdasarkan pengamatan dahulu, berkisar sekitar 18 – 20 derajat. Karena penentuan kriteria fajar tersebut merupakan produk ijtihadiyah, perbedaan seperti itu dianggap wajar saja. Di Indonesia, standar baku tinggi matahari waktu shalat shubuh, ijtihad yang digunakan adalah posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk, dengan landasan dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat. Kriteria tersebut yang kini digunakan Kementerian Agama RI untuk jadwal shalat yang beredar di masyarakat.

Namun menurut penulis, penentuan awal waktu shalat subuh ini memang memiliki variasi waktu di setiap tempat. Selain karena perbedaan bujur tempat yang membedakan, namun juga mengingat kondisi atmosfer di setiap tempat berbeda, sehingga berpengaruh pada awal waktu pelaksanaannya. Alasan lebih lanjut adalah tanpa atmosfer, langit akan seketika menjadi gelap ketika matahari tenggelam dan seketika akan terang ketika matahari terbit. Ketika menjelang sore, keberadaan atmosfer mengakibatkan cahaya matahari tersebar sehingga semburat cahaya matahari masih terlihat sekalipun matahari sudah tenggelam. Begitu juga ketika menjelang pagi, semburat cahaya matahari tersebar terlihat terlebih dahulu sebelum matahari terbit. Semburat cahaya matahari sebelum dan sesudah matahari tenggelam tersebut disebut sebagai senja atau fajar.

D. Analisis

Penentuan waktu shalat shubuh yang dianggap terlalu awal ini memang terkait dengan kajian fikih dan astronomis yang harus dilihat secara berimbang. Aspek fisis terjadinya fajar juga harus difahami, bukan sekadar berdasarkan tafsir personal atas warna langit di ufuk Timur. Kajian astronomi digunakan sebagai alat bantu mengkonversikan fenomena fajar itu dalam hisab waktu shalat dalam kondisi tidak melihat langsung di alam. Sebagian besar umat Islam di dunia saat ini mendasarkan waktu shalat pada jadwal shalat. Teknologi dalam hal ini kajian astronomis membantu umat mendapatkan waktu shalat yang tepat.

Karena saat ini waktu-waktu shalat lebih banyak ditentukan berdasarkan tehnologi mekanik seperti jam waktu, maka mengetahui kriteria astronomis yang menjelaskan fenomena fajar dalam dalil syar’i tersebut yang diformulasikan dalam tehnologi mekanik menjadi sebuah kebutuhan. Penjelasan kajian astronomis terkait fenomena sesungguhnya fajar kidzib dan fajar shadiq menjadi sangat penting. Fajar kidzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar planet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.

Sedangkan fajar shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Sehingga  batasan yang bisa digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.

Jika melihat perhitungan awal waktu shalat subuh, unsur yang paling menentukan dan mempengaruhi waktu shalat yakni input data berupa ketinggian matahari juga koreksi-koreksi yang diperlukan seperti refraksi pada ketinggian matahari terbit atau terbenam. Ketika ketinggian matahari berbeda dengan koreksinya, maka akan berpengaruh pada sudut waktu matahari dan waktu shalatnya. Sehingga jika kita mencoba perhitungan awal waktu shalat dengan ketinggian yang berbeda, hasilnya pun akan berbeda. Berikut ini merupakan rumus penentuan awal waktu subuh dengan menggunakan ketinggian matahari 19o di bawah ufuk dengan memakai ketinggian terbit/terbenam.

Menentukan tinggi mthr Awal Subuh

h0 = – 19o  + ho (terbit / terbenam)

h0 = – 190  + (- 10  14’  53,41”)

Hasilnya: h0 = – 200  14’  53.41”

Menentukan sudut waktu Matahari

Cos to = sin h0  : cos  LT :  cos Dm  –  tan LT  x tan Dm

Cos t0 = sin – 200  14’  53.41” : cos – 070   00′  :  cos 16° 52′ 57″ –  tan – 070   00′  x tan 16° 52′ 57″ Hasilnya : – 109° 05′ 40″ : 15

Menentukan awal waktu subuh

pk 12 + to  ditambah dengan ikhtiyat

pk 12 + – 7j   16m  22.67d 443m  = 37.33d –  0 j   15 m  36 d = pk 4j   28m  01.33d WIB + 00j   02m  58.67d  =

Waktu subuh pkl. 4j   31 m 00d  WIB

Namun jika melihat hasil penelitian Disertasi Nihayatur Rohmah yang berfokus pada fenomena fajar ini, ia meneliti tentang warna senja maupun fajar dipengaruhi oleh hamburan sinar matahari yang ditentukan oleh kelembapan dan temperatur atmosfer. Dalam penelitiannya, ia menyimpulkan kecenderungan menguatkan teori bahwa astronomical twilight yang berkesesuaian dengan fenomena fajar astronomi mulai terbit ketika matahari berada pada kedudukan sudut depresi 18 derajat di bawah horizon. Kesimpulannya ini diperoleh dari uji penelitian pengaruh suhu terhadap sudut posisi matahari yang berbanding lurus di mana ketika suhu atmosfer kecil (menurun), cahaya fajar tampak pada sudut depresi yang rendah, yakni pada suhu -18,1o celcius fajar shadiq tampak pada sudut posisi matahari -18o 02’ 08” dan sebaliknya jika suhu atmosfer besar (meningkat), cahaya fajar terlihat pada sudut posisi matahari yang tinggi (suhu -18,9o celcius fajar shadiq tampak pada sudut posisi matahari -20o 52’ 29”).[2] Dari keseluruhan hasil pengamatan, nilai rata-rata dari sudut ketinggian matahari adalah -18o 39’ 29.4”

E. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis menyimpulkan bahwa penanda awal waktu shalat subuh adalah fajar shadiq atau disebut pula fajar astronomi yakni sebagaimana yang dirumuskan oleh ilmuan astronomi, hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Secara astronomi diterjemahkan dengan angka 18o di bawah horizon. Namun, dalam waktu penentuan awalnya memiliki variasi ketampakan fajar shadiq yang berbeda di setiap tempat. Hal ini didasarkan pada alasan kondisi atmosfer yang dipengaruhi suhu di setiap tempat berbeda, sehingga berpengaruh pada awal waktu shalat subuh.

F. Referensi

Azhari, Susiknan, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. Ke 2, Yogyakarta : Suara Muhammadiyyah

Izzuddin, Ahmad, 2014, Nalar Logis Standar Hisab Waktu Subuh di Indonesia

Rohmah, Nihayatur, 2013, Pengaruh Suhu dan Kelembapan Atmosfer terhadap Ketampakan Fajar Shadiq, Disertasi.

Setyanto, Hendro, t.th, Waktu Shalat dan Permasalahannya, artikel.

 

 

[1] Dosen Tetap Prodi Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia dan anggota Asosiasi Dosen Falak Indonesia.

[2] Lokasi yang dijadikan objek penelitian kota Lamajang, Kec. Pangalengan Kab. Bandung, Prov. Jawa Barat, Dukuh Sedoro Desa Kaibon Kec. Geger Kab. Madiun Prov. Jawa Timur, Lereng Gunung Merbabu Kab. Magelang Prov. Jawa Tengah, Landasan Aeroplane pantai Parangkusumo Bantul Jogjakarta, Desa Tayu dan Desa Margomulyo, Kec. Tayu, Kabupaten Pati Prov. Jawa Tengah, Bendo Ketitang Juwiring Klaten, Prov. Jawa tengah.,

 

*Artikel ini adalah artikel keislaman. Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button