FatwaProduk

ZAKAT BAGI ORANG YANG MEMILIKI HUTANG

ZAKAT BAGI ORANG YANG MEMILIKI HUTANG

Pertanyaan dari:

Bapak Ah. Bukhori di Padangratu, Lampung Tengah

Pertanyaan:

            Saya sebagai pengurus BAZIS (juga pengurus Takmir Masjid) mendapat beban yang cukup berat ketika ada suatu persoalan yang di kalangan warga terjadi perdebatan pendapat. Persoalannya demikian, di tempat kami ada warga yang semula dia orang kayak, disamping sebagai pengusaha/pemborong (menengah) tapi juga punya toko kelontong dan agen/pembelihasil bumi yang dihasilkan masyarakat sekitar. Mungkin karena kondisi kismon atau karena persoalan lain usahanya bangkrut. Semula dia punya truk, tapi sekarang sudah dijual, juga sepeda motornya sudah ada yang dijual, menurut informasi beberapa bidang tanahnya juga sudah dijual. Sekarang dia masih buka toko, tapi tidak selengkap dahulu. Sekalipun demikian, menurut pengamatan sementara, dua anaknya yang masih kuliah tetap jalan. Dia juga masih punya sepeda motor. Hanya saja menurut informasi orang-orang, apabila semua kekayaannya dijual baru cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Saya sendiri belum menanyakan secara langsung kepada yang bersangkutan. Terhadap kondisi orang ini, ada dua pendapat di kalangan warga, juga di lingkungan pengurusu Bazis sendiri, bahwa orang tersebut berhak mendapat zakat, ada pula yang berpendapat bahwa dia tidak berhak mendapat zakat, karena dia tidak termasuk orang miskin. Atas dasar ini kami mohon penjelasan Majlis Tarjih, apakah orang yang demikian berhak diberi zakat dan termasuk fakir miskin atau apa?.

 

Jawaban:

Sebagaimana diketahui bahwa yang berhak menerima zakat itu sudah diatur dalam firman surat at-Taubah ayat 60:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

[٩:٦٠]

Artinya: “sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil (pengurus zakat), para muallaf, yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Dari delapan asnaf (golongan) yang berhak menerima zakat di atas, orang yang bapak tanyakan adalah termasuk dalam kelompok gharim (orang yang berhutang atau orang yang mempunyai hutang). Menurut para ulama, gharim itu ada dua kelompok. Pertama, orang yang mepunyai hutang untuk keperluan dirinya sendiri atau keluarganya. Seperti orang yang berhutang untuk kebutuhan nafkah, berobat, menikahkan anak, termasuk kelompok ini ialah yang menjalankan usaha tetapi rugi dan dia berhutang. Kedua, orang yang berhutang  untuk kemaslahatan orang banyak, seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan orang-orang yang bersengketa, orang yang bergerak di bidang kegiatan sosial yang bermanfaat seperti mengurusi anak-anak yatim, mengelola rumah sakit untuk orang fakir.

Orang yang berhutang untuk keperluan dirinya/keluarganya, dia diberi bagian zakat untuk membayar hutangnya itu yang tidak terbayar dengan harta yang dimilikinya. Oleh karena itu apabila ada orang yang berhutang tetapi dia mampu menutup/membayar hutang dengan kekayaan yang dimiliki, maka dia tidak berhak diberi zakat. Selanjutnya orang yang berhutang berhak zakat apabila hutangnya itu untuk ketaatan atau keperluan yang diperbolehkan syara’, sehingga apabila hutang tersebut karena kemaksiatan, seperti hutang berjudi atau perbuatan lain yang diharamkan maka ia tidak berhak menerima zakat. Demikian juga sekalipun hutang itu untuk kemaslahatan dirinya atau keluarganya tetapi apabila sangat berlebih-lebihan, dia juga tidak berhak diberi bagian zakat, karena berlebih-lebihan dalam sesuatu yang diperbolehkan sampai dia berhutang adalah termasuk perbuatan yang dilarang bagi umat Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat al-Araf ayat 31:

[يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ [٧:٣١

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaian yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”.

Apabila ketentuan di atas dikaitkan dengan persoalan yang bapak tanyakan, sebaiknya diadakan pengecekan terlebih dahulu, apakah betul ia mempunyai hutang seperti yang dibicarakan orang-orang. Apabila iya, apakah hartnya yang masih ada cukup atau tidak untuk membaya hutangnya. Hal ini karena menurut bapak orang tersebut masih mempunyai toko, sekalipun jualannya tidak selengkap dahulu, juga masih punya kendaraan (sepeda motor), sebab seperti disebutkan di atas gharim yang diberi zakat itu apabila hutangnya tidak terbayar dengan kekayaannya yang masih dipunyai. Selagi hartanya masih cukup untuk membayar hutang, maka hutang dibayar dengan hartanya. Akan tetapi apabila setelah membayar hutangnya menjadika dia jatuh miskin, maka dia dikelompokkan kepada fuqara dan masakin.

*Fatwa ini pernah dimuat di majalah Suara Muhammadiyah No. 17 tahun ke-85/2000.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button