
Antara Geosentris dan Heliosentris
oleh:
Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
(Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan klasik, diskursus tata surya adalah persoalan yang banyak menyita perhatian dan penelitian para filsuf maupun ilmuwan, sejak zaman Yunani hingga era modern. Dialektika mengenai tata surya sejatinya berkisar antara geosentris dan heliosentris. Geosentris adalah konsepsi tata surya yang menempatkan bumi sebagai pusat tata surya, bahkan bumi dipersepsikan berbentuk datar. Sedangkan heliosentris menempatkan matahari sebagai pusat tata surya. Dalam catatan sejarah, konsepsi heliosentris sesungguhnya pernah–dan boleh jadi yang pertama–muncul dibanding geosentris. Konsepsi ini dikemukakan oleh seorang filsuf Yunani bernama Aristarcus. Hanya saja–menurut catatan para peneliti–pandangan yang dikemukakan Aristarcus tidak didukung oleh argumen yang kuat layaknya sebuah penemuan ilmiah sehingga pemikirannya kala itu tidak menjadi mindset. Konsepsi yang diterima dan dianggap paling benar waktu itu adalah konsep geosentris yang dimunculkan oleh Aristoteles. Mindset orang-orang ketika itu yang lebih meyakini geosentris ketimbang heliosentris diantaranya didasari pada apa yang terlihat secara indrawi, bukan berdasarkan realita sesungguhnya betapapun tidak terlihat. Juga, karena Aristoteles lebih populer sebagai tokoh ilmu dan filsuf dibanding Aristarcus.
Perkembangan berikutnya, konsepsi geosentris didukung dan dikembangkan oleh Ptolemeus (astronom dan astrolog Yunani yang menetap di Iskandariah) yang bertahan cukup lama. Selama era ini pula anggitan geosentris mencapai kepopulerannya. Konsepsi Ptolemeus mengenai tata surya tertera dalam karya terbesarnya yang berjudul “Almagest”. Memasuki peradaban Islam, buku “Almagest” diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang dalam perkembangannya memberi pengaruh besar bagi kemajuan dunia astronomi dan ilmu pengetahuan secara umum. Tidak hanya terbatas pada aktifitas penerjemahan, tradisi kritik-koreksi dan pembacaan repetitif mendalam juga bermunculan pasca diterjemahkannya buku ini. Beberapa astronom muslim yang melakukan pekerjaan ini antara lain Al-Battanī (w. 317/929), Al-Thūsī (w. 672/1274), Al-Bīrūnī (w. 440/1048), Ibn Syathir (w. 777/1375), dan lain-lain. Al-Battani misalnya, ia telah mengajukan model-model planet baru yang berbeda dengan Ptolemeus. Dari rumusannya tampak bahwa model tata surya Al-Battanī lebih dinamis ketimbang model Ptolemeus yang statis. Sedangkan Al-Bīrūnī untuk pertama kalinya mengajukan konsep bumi mengelilingi matahari dan mengenai rotasi bumi di porosnya. Sementara itu Ibn Syathir–seperti diungkap Prof. Dr. Shalih an-Nawawi, guru besar astronomi Universitas Cairo–menyatakan bahwa teori-teori yang dikemukakan Copernicus, Brahe, Galileo, dan Kepler pada dasarnya telah dikemukakan oleh Ibn Syathir pada abad 8/14 dalam karyanya Kitāb Ta’līq al-Arshād, Nihāyāt al-Ghāyāt fī al-A’māl al-Falakiyyāt dan Nihāyah as-Sūl fī Tashhīh al-Ushūl. Prestasi Al-Battānī, Al-Bīrūnī dan Ibn Syāthir ini setidaknya telah mendahului Copernicus beberapa abad sebelumnya.
Seperti dimaklumi, pasca kemunduran perdaban Islam, peradaban barat secara perlahan namun pasti mulai bangkit dan menemukan momentumnya. Adalah astronom Polandia bernama Nicholas Copernicus (w. 1543 M) pada tahun 1512 M memperkenalkan kembali konsep tata surya heliosentris. Menurutnya, planet-planet dan bintang-bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran. Berikutnya tahun 1609 M konsep ini didukung dan dilanjutkan oleh Johanes Kepler (w. 1630 M). Menurutnya, matahari adalah pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips yang terangkum dalam tiga hukum Kepler-nya. Selanjutnya Galileo Galilei (w. 1642 M) telah mengkonstruksi teleskop monumental, ia juga menyimpulkan bahwa bumi bukan pusat gerak. Konstruksinya ini selain memperkuat heliosentris juga membuka lembaran baru ilmu pengetahuan modern.
Akhirnya tokoh-tokoh barat ini dikenal sebagai pembaru dalam dunia astronomi bahkan dalam ilmu pengetahuan modern. Pertanyaan yang muncul agaknya adalah mengapa tokoh-tokoh barat ini yang justru dikenal dan diklaim dunia sebagai pencetus heliosentris, bukannya tokoh-tokoh muslim yang telah dikemukakan di atas? Ada banyak interpretasi dan pandangan terkait hal ini, disini dikemukakan tiga saja:
Pertama, dalam konteks waktu itu persoalan geosentris-heliosentris tidak menjadi prioritas para ilmuwan muslim dan umat Islam secara umum. Persoalan keduanya tidak terlampau terkait dengan persoalan ibadah apatah lagi akidah, sehingga diskursus mengenainya tidak menjadi trending topic.
Kedua, gagasan heliosentris yang dihadirkan Copernicus justru berada pada momentum tepat dan berikutnya menjadi trending topic, dimana ketika itu geosentris menjadi mindset dan merupakan keyakinan gereja. Secara diametral kehadiran heliosentris Copernicus merupakan perlawanan terhadap prinsip ajaran agama (gereja) itu. Sebuah ajaran yang demikian diyakini tiba-tiba diubah tentu akan menimbulkan persoalan. Nah, ditengah perdebatan dan pertentangan inilah momentum heliosentris ini hadir, dimana banyak orang yang penasaran dan ingin tahu kebenaran teori heliosentris. Brahe, Galileo, Kepler, Newton, dan Descartes adalah beberapa orang yang berperan menghangatkan tema heliosentris.
Ketiga, dalam konteks ilmuwan/astronom muslim, pembahasan heliosentris yang tidak terlampau membahana itu adalah dalam rangka keseimbangan pembahasan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hal ini terkait dengan apa yang disebut dengan hierarki keilmuan. Hierarki keilmuan pada dasarnya ibarat sebuah pohon dengan cabang-cabang nan rindang. Cabang-cabang pohon inilah cabang-cabang ilmu tersebut yang mana akarnya al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika suatu ilmu dikembangkan secara ‘berlebihan’ dan kurang mengindahkan skala prioritas dan urgensinya sejatinya ia akan mengurangi bahkan merusak keindahan pohon tersebut. Seperti dimaklumi, Islam senantiasa memperhatikan aspek urgensi dan skala prioritas (taqdīm al-ahamm min al-muhimm) yang kesemuanya sebagai manifestasi pandangan tauhid.