BID’AH, SUNNAH HASANAH DAN SUNNAH SAYYIAH
Pertanyaan Dari:
Bapak Muhammad Ayat di Ajibarang, Purwokerto
(Pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 10 Tahun Ke-84/1999)
Pertanyaan:
- Mohon dijelaskan pengertian serta cara melaksanakan firman Allah dan hadis-hadis terlampir agar tidak terjebak dalam perbuatan bid’ah.
- Apa bedanya pengertian “bid’ah hasanah dengan sunnah hasanah” atau sebaliknya “bid’ah sayyiah dengan sunnah sayyiah”?
- Masyarakat kami, karena takut terjerumus ke dalam bid’ah, sampai-sampai tidak berani melakukan zikir sehabis melaksanakan shalat maktubah dengan bacaan dan urutan tertentu. Bagaimana yang harus dilakukan agar warga Muhammadiyah tidak kering dari zikir?
Jawaban:
- Mohon maaf karena dalam kesempatan ini kami tidak menuliskan secara keseluruhan dan lengkap hadis-hadis yang Bapak lampirkan. Kami hanya mengutip kata-kata pentingnya yang berkaitan dengan pertanyaan Bapak, yaitu sebagai berikut:
- Pada teks hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim maupun dua hadis yang lain riwayat Ahmad dan riwayat Muslim, intinya sama yakni “barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini yang bukan berasal dari Islam maka hal itu tertolak”. Yang dimaksud dengan “mengada-adakan dalam urusan kami” ialah mengadakan sesuatu dengan kemauan sendiri dalam hal akidah dan ibadah (mahdhah) yang sebenarnya sudah ada ketentuannya dalam syara’, maka amalannya itu tertolak atau batal. Dengan kata lain perbuatan itu tidak dibenarkan.
- Hadis yang berbunyi “man sanna fil-Islam sunnatan hasanatan … dan seterusnya” maksudnya siapa saja yang menetapkan suatu perilaku yang baik menurut ajaran Islam, ia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikuti jejak ketetapan perilaku yang baik itu dan sebaliknya. Perilaku di sini jika difahami dalam konteks sosial (mu’amalah) seperti: mengajarkan bahwa dalam membahas persoalan masyarakat hanuslah ditempuh secara musyawarah, atau mengajarkan agar setiap orang berhati-hati jangan cepat-cepat menelan setiap informasi yang dibawa oleh orang yang tidak jelas identitasnya sebelum mencermati benar isi informasi tersebut, dan sebagainya, sepanjang perilaku itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun jika perilaku di sini difahami dalam konteks akidah dan ibadah maka harus sebagaimana ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
- Firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 77:
[وَٱفۡعَلُواْ ٱلۡخَيۡرَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ۩ [الحج (22):77…
Artinya: “… dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
Dengan memahami ayat ini secara keseluruhan bahwa orang yang beriman yang senantiasa ruku’ dan sujud menyembah Allah haruslah menghasilkan orang yang mampu berbuat baik di dalam kehidupan nyata, sehingga tidak cukup dengan modal iman dan sholat saja tetapi tidak mampu berbuat apa-apa di masyarakat. Oleh karena itu kita banyak menjumpai firman Allah ketika menyebut kata “iman” selalu dikaitkan dengan “amal shaleh”.
- Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 41:
[يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ ذِكۡرٗا كَثِيرٗا [الأحزاب (33): 41
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”
Maksud dari firman Allah ini dalam kehidupan sehari-hari selayaknya kita harus selalu menyebut nama Allah, seperti setiap kali akan mengerjakan sesuatu membaca “bismillahirrahmanirrahim”. Seusai mengerjakan sesuatu atau mendapat nikmat berdoa “alhamdulillah”, dan sebagainya. Karena dampak dari zikir itu kita akan selalu waspada dan insya Allah terhindar dari perilaku yang tidak benar.
- Surat al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
[الأحزاب (33):56]
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Maksud bershalawat kalau dari Allah berarti memberi rahmat, apabila dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdo’a supaya diberi rahmat seperti perkataan: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad” dan ini selalu kita lakukan di dalam shalat atau ketika mendengar penyebutan nama Nabi Muhammad.
- Beda pengertian “bid’ah hasanah dengan sunnah hasanah” atau sebaliknya “bid’ah sayyiah dengan sunnah sayyiah”
- Dalam istilah hukum Islam pengertian bid’ah itu lawan dari sunnah.
- Bid’ah secara bahasa artinya mengadakan (membuat) suatu cara yang belum pernah didahului orang lain. Adapun dalam istilah syara’ pengertian bid’ah ialah: cara baru dalam perkara agama yang menyerupai syari’at yang dikerjakan orang dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah serta mengharap pahala.
Memahami istilah di atas bahwa bid’ah dibatasi dalam hal agama (akidah dan ibadah), maka dalam pemahaman Muhammadiyah tidak ada bid’ah hasanah, yang ada adalah bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat.
- Macam-macam bid’ah. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perbedaan pijakan dasar. Ada yang mendasarkan kepada aspek yuridis (syara’) dan ada yang mendasarkan kepada aspek bahasa. Asy-Syatibi misalnya memahami bid’ah itu hanya satu, yaitu tiap-tiap bid’ah akan mengakibatkan si pelaku menjadi sesat. Dalam hal ini asy-Syatibi mendasarkan kepada hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ahmad yang pada akhir hadis itu berbunyi:
[وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ [رواه أحمد
Jadi menurut pemahaman asy-Syatibi, bid’ah itu hanya ada dalam bidang agama, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun adat. Yang berkaitan dengan ibadah rumusannya seperti halnya dalam istilah syara’ di atas. Sedangkan yang berhuhungan dengan adat adalah suatu cara dalam agama yang diada-adakan orang dengan tujuan bahwa adat itu dipandang menyerupai syari’at.
Sementara pendapat yang lain semisal asy-Syaf”i telah membagi bid’ah kepada bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Dipandang terpuji jika sesuatu yang baru itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau as-Sunnah dan asar sahabat atau ijma’ sahabat, dan jika sebaliknya akan dipandang sebagai bid’ah sayyiah/tercela.
- Makna sunnah hasanah dan sunnah sayyiah. Istilah ini sebenarnya tidak berdiri sendiri, sebab jika berdiri sendiri yang namanya sunnah (perilaku Nabi saw) tidak ada yang sayyiah. Oleh karena itu istilah tersebut secara konkrit berasal dari hadis Nabi saw yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
yang secara ringkas telah dijelaskan di atas (lihat keterangan 1 b untuk jawaban Bapak Muhammad Ayat di atas).
- Tentang zikir sehabis melaksanakan shalat maktubah dengan bacaan dan urutan tertentu.
Hadis tentang zikir sesudah shalat banyak dijumpai dalam berbagai kitab hadis. Secara sistematis hadis-hadis itu telah ditulis dalam buku Tanya Jawab Agama yang disusun oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yaitu dalam jilid I halaman 94 dan seterusnya. Dalam buku tersebut antara lain disebutkan, bahwa Nabi saw (selaku imam dalam shalat) setelah shalat menghadap ke makmum. Hal ini berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub. Atau menghadap ke sebelah kanan seperti disebutkan dalam riwayat Muslim dan Abu Daud dari al-Barra’ bin ‘Azib. Dengan duduk agak menengok ke kanan lalu Nabi saw mengucapkan doa-doa antara lain: mengucapkan istighfar (“astaghfirullah”) 3x, lalu membaca “Allahumma anta salam wa minka as-salam tabarakta ya dzal-jalali wa al-ikram”. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Sauban. Setelah itu beliau juga membaca “la ilaha illallah wahdahu la syarikalahu, lahu al-mulk wa lahu al-hamd wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir”, “Allahumma la mani’a lima a’taita wa la mu’tiya lima mana’ta wa la yanfa’u dzal-jaddi minkal-jaddi”. Dan do’a-do’a lain termasuk membaca; subhanallah 33x , al-hamdu lillah 33x, Allahu Akbar 33x, selengkapnya silahkan saudara baca dalam buku tersebut.
SM No. 10 Tahun Ke-84/1999