Download FileGalleryProdukWacana

Eutanasia, Physician-Assisted Suicide, dan Palliative Care: Tinjauan Maqasid Syariah

EUTANASIA, PHYSICIAN-ASSISTED SUICIDE, DAN PALLIATIVE CARE: TINJAUAN MAQASID SYARIAH

Syamsul Anwar
 
 
      Hingga pertengahan abad lalu, eutanasia umumnya dipandang sebagai perbuatan pidana. Namun setelah itu, peradaban kontemporer bergerak ke arah dekriminalisasi terminasi hidup dengan fasilitas medis ini dan memegangi prinsip bahwa eutanasia dinyatakan sah secara hukum untuk dilakukan. Untuk itu bermunculanlah berbagai undang-undang yang melegalisasi percepatan kematian ini. Bahkan kematian dengan cara demikian disebut “kematian bermartabat” (death with dignity), seperti ditunjukkan oleh nama undang-undang dari Negara Bagian Oregon di Amerika Serikat, yang diberi judul Death with Dignity Act, yang diundangkan tahun 1994 dan berlaku efektif tahun 1997. Lebih dari itu dikembangkan pula suatu pandangan baru tentang ideologi hidup yang bertititik tolak pada kosep “beban tak produktif” sebagaimana dikemukakan oleh Gubernur-Jendral Australia, Bill Hayden, pada tahun 1995. Inti pandangannya adalah bahwa ada suatu titik di mana generasi mendatang berhak untuk dibebaskan dari beban-beban tak produktif. Pendapat Hayden ini kemudian didukung oleh mantan Gubernur South Australia, Mark Oliphant (w. 2000), yang menyatakan bahwa para kolega lanjut usia seharusnya mati dan jika tidak, hal itu akan mengacaukan dunia. Pandangan ini mendorong kepada suatu etika bahwa eutanasia sukarela adalah suatu tuntutan etis untuk kemaslahatan tertinggi bagi masyarakat (for the greater good of society) dan, bilamana dikaitkan dengan undang-undang eutanasia Oregon, merupakan suatu kematian “bermartabat”.
 
       Kehadiran praktik eutanasia dalam dunia modern kita sekarang bukan tanpa penentang. Berbagai pandangan dan aliran dalam masyarakat dunia menentangnya dengan keras, termasuk kalangan agamawan. Di Vatikan, pada hari Senin, 28 Oktober 2019, ditandatangani suatu deklarasi yang menentang praktik eutanasia dalam berbagai bentuknya serta dipandang bertentangan dengan agama dan merupakan perbuatan keliru secara etika, yang oleh karenanya harus dilarang tanpa kecuali.
 
     Masalah eutanasia memang bukan masalah baru. Problematika praktik medis ini telah diperdebatkan dengan sengit sejak awal parohan kedua abad lalu dan masih terus berlangsung hingga sekarang, seperti tercermin dalam deklarasi Vatikan 2019 tadi. Perdebatan yang terus menghangat ini dipicu oleh sejumlah hal, antara lain terjadinya pola hubungan dokter-pasien dari bersifat paternalistik kepada prinsip otonomi, dan terjadinya perubahan tempat kematian dari rumah pada zaman lampau ke rumah sakit dalam suasana yang asing dan jauh dari kebersamaan dengan orang-orang yang dicintai. Juga dikarenakan oleh kesepian kaum lansia serta kehilangan kepercayaan terhadap solidaritas masyarakat. Oleh karena itu para penentang eutanasia menyerukan bahwa bukan terminasi hidup sebagai jalan yang harus ditempuh, melainkan adalah peningkatan solidaritas dan etika altruistik dalam masyarakat dengan mengembangkan sistem perawatan paliatif yang kuat dan penyediaan suasana psiko-sosiologis yang memadai untuk kaum lanjut usia, khususnya orang muhtadar (dying person).
 
      Agama Islam, tentu juga termasuk yang menentang eutanasia. Namun bagaimana argumennya dan bagaimana pandangannya menyangkut perawatan paliatif dan penyantunan kaum lanjut usia perlu diklarifikasi secara jelas dan dirumuskan secara sistematis. Inilah tujuan makalah ini.
 
Silakan unduh makalah lengkapnya di sini.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button