KREDIT BANK SYARI’AH, PEGADAIAN SYARI’AH
DAN KOPERASI SIMPAN PINJAM
Pertanyaan Dari:
Ibu Hajinah Idam, Depok
(Disidangkan pada hari Jum’at, 24 Shafar 1435 H / 27 Desember 2013 M)
Pertanyaan:
Assalamu‘alaikum wr. wb.
Sebelumnya saya sampaikan terima kasih atas jawaban pertanyaan yang kami ajukan tentang zakat perusahaan, riba dan penerbitan buku rias pengantin, insyaallah saran saudara berkaitan pertanyaan kami akan kami laksanakan sesuai kemampuan kami.
Selanjutnya perkenankan kami mengajukan pertanyaan lagi sebagai berikut:
A. Mendapatkan modal usaha melalui kredit bank dan pegadaian syari’ah.
Untuk mencetak buku-buku yang kami terbitkan, kami terpaksa meminjam uang dari bank syari’ah dan menggadaikan emas ke pegadaian syari’ah. Tentu saja kami harus membayar jasa dalam jumlah tertentu. Pertanyaan kami:
- Apakah jasa yang harus kami bayarkan kepada kedua lembaga tersebut tidak termasuk bunga uang yang diharamkan, karena kami pernah mendengar ceramah melalui radio bahwa meminjam uang itu halal kalau pengembaliannya tidak disertai tambahan atau jasa atau bunga.
- Benarkah bahwa tidak semua lembaga syari’ah, melaksanakan hukum yang sesuai dengan hukum Islam? Jika benar, bagaimana caranya kami dapat mengetahui lembaga mana yang benar-benar melaksanakan hukum Islam, dan mana yang patut diragukan.
B. Kegiatan koperasi simpan pinjam kelompok ibu-ibu rumah tangga.
Di lingkungan RT tempat tinggal kami, ibu-ibu rumah tangga melaksanakan kegiatan arisan yang bertujuan untuk silaturahim. Disamping itu juga dilakukan kegiatan simpan pinjam. Para peminjam uang diharapkan memberikan jasa minimal sebesar 1 % dari pinjamannya secara sukarela. Uang jasa ini digunakan untuk membiayai kegiatan sosial anggota arisan. Apakah kegiatan simpan pinjam ini halal?
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang ibu berikan kepada kami.
A.
1. Sebelum menjawab pertanyaan ibu, kami akan jelaskan mengenai riba. Riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah (2) ayat 278-279:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ. فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya: (278). “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (279). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Dari ayat di atas, jelaslah bahwa riba itu adalah haram. Mengenai pengambilan jasa yang dilakukan oleh pegadaian syari’ah itu tidak termasuk riba, karena jasa yang dibebankan tersebut merupakan biaya sewa dan administrasi yang dibebankan kepada nasabah untuk menutup cost proses pencairannya serta untuk biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhannya. Biaya administrasi ditetapkan sebesar Rp. 50,- untuk setiap kelipatan marhun (barang yang digadai) Rp. 5.000,-. Hasil hitungan biaya administrasi dilakukan pembulatan ke Rp. 100,- untuk senilai di atas Rp. 50,- dan dibulatkan menjadi nol untuk biaya di bawah Rp. 50,-. Biaya administrasi dikenakan hanya sekali pada waktu akad. Besarnya didasarkan pada penggolongan harga marhun. Sedangkan pengambilan jasa yang dilakukan oleh bank syari’ah itu tergantung akad yang disepakati oleh pihak bank dan nasabah.
2. Adapun macam-macam akad yang digunakan dalam bank syari’ah antara lain, pertama akad mudharabah, yaitu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau dua orang dimana salah satu pihak atau salah seorang menyerahkan sejumlah uang kepada pihak atau orang lain untuk dijadikan modal dalam berusaha (berdagang) dengan keuntungan dibagi untuk mereka berdua berdasarkan kesepakatan, dan jika terjadi kerugian ditanggung pemilik modal. Kedua akad murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli, dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Ketiga akad musyarakah, yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha bisnis tertentu, dengan masing-masing pihak memberi kontribusi dana dan kesepakatan untuk membagi keuntungan dan menaggung kerugian sesuai yang telah disepakati. Dalam pertanyaan yang diajukan, ibu tidak menyebutkan akad yang disepakati antara pihak bank dan nasabah sehingga kami tidak bisa menjelaskan secara rinci.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa pengambilan jasa yang dilakukan oleh Bank Syari’ah atau Pegadaian Syari’ah itu tidak termasuk riba dan hal tersebut dibolehkan.
Mengenai cara mengetahui lembaga syari’ah yang benar-benar melaksanakan hukum Islam, kami paparkan mengenai ciri-cirinya, sebagaimana disebutkan Muhammad Syafi’i Antonio dalam buku Bank Syariah dari Teori ke Praktik, yaitu:
a. Bank syari’ah menjadikan uang sebagai alat tukar bukan komoditi yang diperdagangkan.
b. Bank syari’ah menggunakan cara bagi hasil dari keuntungan jasa atas transaksi riil bukan sistem bunga sebagai imbalan terhadap pemilik uang yang besarnya ditetapkan di muka.
c. Risiko usaha akan dihadapi bersama antara nasabah dengan bank syari’ah dan tidak mengenal selisih negatif (negative spread).
d. Pada bank syari’ah terdapat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) sebagai pengawas kegiatan operasional bank syari’ah agar tidak menyimpang dari nilai-nilai syari’ah.
Untuk lebih jelasnya ibu bisa menanyakan kepada DPS yang bertugas di bank yang bersangkutan.
B.
Mengenai pertanyaan tentang kegiatan simpan pinjam kelompok ibu-ibu rumah tangga kami cenderung lebih dekat dengan koperasi. Tentang koperasi ini pernah ditanyakan dan telah diberi jawaban secara rinci berdasarkan Keputusan Muktamar Tarjih di Malang Tahun 1989, serta telah dimuat dalam Buku Soal Jawab Agama Jilid II halaman 229 – 232. Namun untuk memenuhi permintaan ibu kami sampaikan jawaban secara ringkas sebagai berikut.
Koperasi adalah sebuah lembaga usaha bersama yang didirikan oleh sejumlah orang sebagai anggotanya. Jika dalam usaha ini menghasilkan keuntungan, maka keuntungan itu dibagi kepada semua anggotanya. Dengan demikian dalam koperasi mewujudkan mu’awwanah (tolong menolong) di antara sesama anggota. Jika dalam mengembangkan usaha ini dengan bunga, sesungguhnya bunga itu diperoleh dari anggota dan akan dibagi kepada anggota juga. Muktamar Tarjih di Malang Tahun 1989 memutuskan bahwa bunga koperasi simpan pinjam hukumnya mubah (boleh). Tentu saja besar bunga pinjaman dari koperasi ditetapkan berdasarkan musyawarah dan keadilan, tidak ada yang merugikan dan tidak ada pula yang dirugikan, mengingat firman Allah Swt:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ. [البقرة (2): 279]
Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [QS. al-Baqarah (2): 279].
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pemberian jasa sebesar 1% tersebut bukanlah bunga, karena itu akan kembali ke semua anggota. Oleh karena itu pemberian jasa tersebut diperbolehkan dan bahkan lebih baik dishadaqahkan untuk membiayai kegiatan sosial anggota.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
“Tentu saja besar bunga pinjaman dari koperasi ditetapkan berdasarkan musyawarah dan keadilan, tidak ada yang merugikan dan tidak ada pula yang dirugikan, mengingat firman Allah Swt:” apakah maksudnya jika sama sama rela jadi halal?
PP Muhammadiyah sudah waktunya mensosialisasikan Fatwa Tarjihnya sampai ke level ranting dengan program nyata dan membentuk Dewan Tarjih sebagai pembimbing dan pengawas pelaksanaan tarjih di seluruh level Keluarga Besar Muhammadiyah & Aisyiyah termasuk AUM agar tdk ada lg beda persepsi mengenai definisi riba dsb.
Kita sudah sangat kaya raya, sudah semestinya smakin bersyukur dengan semakin menguatkan ketaatan kita kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan yg terjadi di dalam setiap aktivitas seluruh Keluarga Besar Muhammadiyah
Jawaban di atas bertentangan dengan Fatwa Majelis Tarjih nomor 8 tahun 2006 yg disampaikan oleh Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA, yg menegaskan kembali definisi riba menurut Muhammadiyah, dan tambahan yg dilakukan oleh koperasi tsb termasuk riba yang diharamkan.
Video tsb bisa disimak di youtube dengan judul :
Hukum Riba menurut Muhammadiyah
Juga penjelasan dr ustadz Muhammadiyah (ust. Mudjiman)
Bisa di search di youtube
Semoga Muhammadiyah dan warganya taat pada Putusan Tarjih dan memilih sikap berhati-hati dalam hukum riba mengingat riba adalah dosa besar dan satu²nya dosa besar selain syirik yg bisa membuat pelakunya kekal di dalam neraka.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Referensi : https://tafsirweb.com/1041-surat-al-baqarah-ayat-275.html
Membiarkan kemaksiatan berupa riba yang terus berjalan dengan aman di Muhammadiyah sungguh sangat menyedihkan dan memprihatinkan
Apa iya kita benar-benar mau mengumumkan perang kepada Allah dan RosulNya?
نَعُوْذُبِاللهِ مِنْ ذَالِكَ
Wallahualam bishawab
Bapak Abdur,
Fatwa 2006 itu tentang bunga bank, sementara fatwa ini tentang jasa koperasi.