BeritaFalak

Hasil Kongres Kalender Islam di Turki (Wawancara Eksklusif dengan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid)

Kongres Penyatuan Kalender Hijriah yang diselenggarakan di Turki 28-30 Mei 2016 telah usai. Melalui disksusi panjang nan alot, akhirnya sistem voting dipilih untuk menetapkan keputusan terkait kalender mana yang akan disepakati, apakah zonal atau unifikatif? Dengan memanjatkan syukur, akhirnya konsep kalender unifikatiflah yang disepakati sebagai kalender Islam dunia. Kalender ini diyakini mampu menjadi solusi kongkrit atas persoalan terkait pelaksanaan momen ibadah umat Islam  yang terjadi selama ini. Meski demikian ada hal-hal yang perlu digarisbawahi terkait penyelenggaraan kongres tersebut. Mulai dari pemberitaan hasil kongres yang sempat simpang siur, sampai konsep kalender terpilih yang perlu mendapat catatan. Kesimpangsiuran berita terjadi pada hari-hari diselenggarakannya kongres. Ada sebagian situs Arab yang memberitakan tentang terpilihnya konsep kalender unifikatif milik Jamaluddin Abdurraziq sebagai kalender Islam dunia. Namun di sisi lain, terdapat pemberitaan yang berbeda, semisal tetap menjadikan rukyat sebagai landasan utama. Selain itu, terpilihnya konsep kalender unifikatif yang diusulkan tim panitia ilmiah juga konon tidak praktis. Ini seperti yang diungkapkan ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Syamsul Anwar, sepulangnya dari kongres tersebut.

Untuk mendapatkan berita yang valid sekaligus klarifikasi atas kesimpangsiuran yang terjadi, beberapa hari lalu dua alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM): Niki Alma Febriana Fauzi dan Qaem Aulasyahied berkesempatan mewawancarai Prof. Syamsul Anwar di kediamannya. Berikut petikan wawancara tersebut yang dilakukan pada sore hari tanggal 3 Juni 2016.

Di bagian akhir wawancara, redaksi web tarjih juga mencantumkan naskah asli konsep kalender zonal dan unifikatif yang mengemuka pada saat kongres. Selain itu, redaksi juga mencatumkan tanggapan Prof. Syamsul Anwar dalam bahasa Arab yang beliau tulis di tengah-tengah kongres (sampai pukul dua malam) atas dua konsep yang mengemuka tersebut. Para pembaca dapat mendownloadnya di akhir wawancara.

Ustadz Syamsul, bisa diceritakan bagaimana kongres di Turki kemarin, Ustadz?

Baik. Jadi, tanggal 28 sampai 30 Mei diadakan kongres internasional penyatuan kalender hijriah yang diselenggarakan oleh Badan Urusan Keagamaan Turki (Presidency of Religious Affairs), di Istanbul, Turki. Kemudian perlu dijelaskan sebelumnya bahwa sistem kongresnya bukan simposium. Tapi para peserta mengajukan makalah, lengkap dengan konsep kalender. Paper-paper yang masuk dan diterima diolah oleh panitia ilmiah dari kongres itu yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kongres tersebut dari segi akademis. Mereka kemudian meramu paper yang masuk, termasuk punya saya, dan kemudian mereka menyimpulkan ada dua konsep: kalender bizonal dan kalender tunggal. Kalender bizonal ini kriterianya saya agak lupa persisnya, tapi ada cacatannya. Dan yang kedua kalender tunggal itu: (1) imkanu rukyat 5-8 (tinggi hilal minimal 5 derajat, elongasi 8 derajat) di suatu tempat di seluruh dunia sebelum pukul 12 malam GMT. Dalam arti, apabila sudah imkanu rukyat 5-8 di suatu tempat di muka bumi sebelum pukul 12 malam waktu GMT maka sleuruh dunia besoknya memulai tanggal 1. Dalam hal terjadi bahwa imkanu rukyat 5-8 itu tercapai tetapi sudah melewati pukul 12 malam waktu GMT, maka terhadap kasus itu diterapkan kriteria berikutnya, yaitu bahwa imkanu rukyat yang lewat pukul 12 malam GMT itu terjadi sebelum fajar di New Zealand. Dan imkanu rukyat itu sudah mencapai daratan benua Amerika.

Perdebatannya yang banyak itu adalah tentang matlak. Apakah ada perbedaan matlak (ikhtilaf al-mathali) atau hanya satu matlak (ittihad al-mathali’). Menurut yang pertama, tiap-tiap tempat harus ada matlaknya sendiri. Sedangkan menurut pendapat yang kedua, seluruh dunia itu satu matlak (ittihad al-mathali’). Artinya, satu tanggal satu hari di seluruh dunia. Ini yang menjadi perdebatan sengit. Kemudian perdebatan ini tidak selesai. Dan akhrinya di voting. Yang menang adalah satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Satu hari satu tanggal itu 80 suara. Kalender bizonal 27 suara. Suara abstain, sepertinya 14. Suara tidak sah itu 6. Semuanya 127 peserta yang punya hak pilih. Mungkin pesertanya lebih, tapi yang punya hak suara hanya itu. Dari Indonesia 3 orang. Saya, Pak Muhyidin Djunaedi (MUI) dan Hendro Sentyanto (PBNU). Semua dari Indonesia memilih satu hari satu tanggal.

Kenapa pengambilan keputusan kongres itu sampai dilakukan voting?

Karena para peserta dan forum pada saat itu tidak sepakat antara ikhtilaf al-mathali atau ittihad al-mathali’, maka akhirnya dilakukan voting untuk memutuskan.

Jadi konsep satu hari satu tangal yang dipilih itu bukan konsep kalender Jamaluddin Abdurraziq?

Bukan. Itu ramuan dari tim panitia ilmiah dari semua paper yang masuk.

Apakah ada remomendasi-rekomendasi dari kongres itu?

Voting itu hanya memilih antara zonal atau tunggal, tapi tidak menjelaskan kriteria satu hari satu tanggal yang disepakati itu seperti apa. Karena kan selama kongres itu konsep yang diajukan panitia ilmiah mendapatkan masukan dan tanggapan. Setelah selesai voting pun saya tunggu-tunggu, penjelasan satu tanggal satu hari itu apakah berikut dengan kriteria seperti yang ada dalam proposal tim panitia ilmiah atau tidak? Nah, saya meninggalkan di situ beberapa halaman catatan untuk menanggapi kriteria itu. Karena kriteria itu  pertama tidak praktis, rumit dan orang tidak bisa membuat kalender di berbagai tempat dengan kriteria tersebut. Harus ada satu komite kalender internasional untuk menetapkan. Nah itu kan tidak praktis namanya. Nanti komite itu dimana? Apakah di Turki? Nanti kalau di Turki, orang Arab apa mau? Terus kalau tempatnya di Arab, apa orang-orang Afrika, Eropa, apa mau? Itu masalahnya. Beda dengan kalender masehi, itu kriterianya jelas. Siapapun orang di seluruh dunia membuat kalender berdasarkan kriteria kalender masehi, tidak harus bertanya terlebih dahulu kepada suatu komite kalender. Karena memang tidak ada komite kalender masehi. Kalau kalender hijriah dengan kriteria seperti itu tidak bisa seperti kalender masehi. Harus ada komitenya.

Apa kelemahan kriteria dari konsep kalender tunggal yang diusulkan tim pantia itu, Ustadz?

Nah, kelemahannya itu di mana? Pertama, saya memberi catatan angka 5-8 itu dasar ilmiahnya dari mana? Apakah dikumpulkan hasil rukyat di berbagai tempat, lalu dianalisis secara statistik. Atau berdasarkan verifikasi dan eliminasi, yaitu mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan misalnya 5-7, 6-8, 5-7 ½ , 5 ½ -9. Itu semua dikumpulkan, lalu dianalisis satu persatu, sampai menemukan satu yang paling cocok. Yang kedua, saya memberi catatan terkait kriteria kedua, yaitu jika imkanu rukyat 5-8 itu tercapai tapi sudah melawati pukul 12 malam waktu GMT. Ketika sudah lewat pukul 12 malam, kita harus mencari imkanu rukyat pertama itu di mana? Itu harus di cari dan jam berapa itu terjadi. Karena kan imkanu rukyat itu lewat dari jam 12 malam, sehingga tidak memenuhi syarat pertama tadi. Maka berlaku aturan kedua: asal sebelum fajar di New Zealand.  Nah imkanu rukyat pertama itu jam berapa? Supaya bisa ditentukan, apakah berbenturan dengan fajar di New Zealand apa tidak? Apalagi kalau di New Zealand itu musim panas, bisa terjadi pukul 02.30 sudah fajar. Kemudian masalah selanjutnya, fajar di New Zealand itu ngukurnya di mana? Tidak disebutkan itu dalam proposal tim panitia ilmiah. Harus ada satu titik yang dijadikan patokan untuk mengkukur. Karena itu sangat menentukan. Ketiga, saya menanggapi terkait kriteria selanjutnya, yaitu tentang keharusan imkanu rukyat telah mencapai daratan benua Amerika. Nah, daratan Amerika itu daratan yang mana? Benua Amerika itu kan berkelok-kelok, tidak lurus. Makanya  saya menyimpulkan dalam tanggapan saya itu bahwa konsep kalender tersebut tidak praktis. Dan karenanya panitia harus mencari kriteria kalender unifikatif yang praktis. Maksud saya konsep Jamaluddin Abdurraziq itu, tapi tidak saya katakan itu secara eksplisit. Ukuran yang lebih praktis misalnya berdasarkan UTC 12 siang, nanti kalau mau diberi pengecualian-pengecualian, kita beri pengecualian seperti yang kita lakukan terhadap kalender yang diusulkan itu. Kemudian saya juga menyarankan agar kalender itu diuji seratus tahun ke depan dengan sistem perbandingan bersama kalender lain yang ada. Itu yang saya sampaikan di kongres itu, meskipun beberapa kali dipotong oleh moderator, karena yang saya sampaikan kan sekitar 4-5 halaman. Saya membuat tanggapan itu sampai jam 2 malam di sana.

Tapi yang penting kalo kalender internasional itu apapun kriterianya yang penting satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Jadi kalau diurut-urutkan dia nanti hasil akhirnya juga sama. Cuma ada dalam kasus-kasus tertentu memang berbeda. Nah, perbedaan ini yang mau kita ambil yang mana yang paling baik. Jadi tidak ada masalah. Imkanu rukyat itu bermasalah kalau dia dipakai untuk lokal. Misalnya di Indonesia imkanur rukyat menggunakan kriteria 4-6 ½ . Nanti kalau baru 4-6 kan belum masuk. Padahal apabila 4-6 di Indonesia, di Amerika bulan sudah terpampang tinggi. Itu problemnya di situ. Jadi kalau imkanu rukyat untuk lokal itu memang susah dan bermasalah, tapi kalau untuk internasional imkanu rukyat memang sudah syarat dari dulu. Di buku saya kan saya cantumkan juga bahwa imkanu rukyat itu adalah salah satu syarat kalender internasional. Cuma orang biasanya kurang cermat dalam membacanya. Kalender dengan kriteria apapun, syaratnya memang harus imkanur rukyat. Harus dibedakan antara imkanu rukyat sebagai syarat dan imkanur rukyat sebagai kriteria. Kriteria itu ya ukuran kalender itu, tapi kalau syarat mungkin ukurannya tidak imkanu rukyat, namun ia harus memenuhi syarat imkanu rukyat.

Apakah ada tindak lanjut dari kongres itu?

Pasti ada. Terutama tentang kriteria kalender itu. Karena yang diperdebatkan dalam kongres itu oleh para peserta kebanyakan adalah soal aspek fikihnya. Sampai-sampai ada seorang utusan dari Filipina, melihat para fukaha yang menurutnya berlebihan dalam memperdebatkan aspek fikih, mengatakan bahwa seharusnya para fukaha berani berijtihad agar umat Islam tidak perlu terus menghadapi masalah ini dan mengalami kesusahan setiap kali masuk puasa atau hari raya.

Apa langkah selanjutnya Muhammadiyah setelah kongres Turki ini?

Ya kita harus mengkaji kriteria konsep itu dulu, kalau perlu kita mengusulkan kepada komite kalender, karena kriteria itu hanya ada dalam proposal makalah yang diajukan panitia ilmiah. Ketika divoting tidak ada penjelasan bahwa kalender tunggal itu berikut kriterianya yang mana itu tidak ada. Kriterianya tidak disebutkan.

Konsep Kalender Zonal dan Unifikatif (Kongres Turki)

Tanggapan Prof. Dr. Syamsul Anwar

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button