FatwaProduk

Hukum Bantuan “Bodong”

HUKUM BANTUAN “BODONG”

Pertanyaan dari:

Mudrikah Budiarti, Bendahara PWA Propinsi Lampung

(disidangkan pada hari Jum’at, 21 Muharram 1428 H / 9 Februari 2007 M)

 

 

Pertanyaan:

Sudah sering kita dengar bahwa sekolah-sekolah dan amal usaha Muhammadiyah menerima bantuan-bantuan “bodong”. Itu istilah umum untuk dana bantuan yang besarnya berbeda antara kuitansi/laporan dengan nominal yang diterima. Bahkan sudah umum bantuan dari instansi/departemen dengan potongan sekian persen tanpa tanda terima dan sebagian besar orang menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Saya dalam hal ini sebagai bendahara merasa tidak punya pegangan aturan yang pasti selain mengikuti keputusan rapat pleno. Mohon dengan sangat melalui Majelis Tarjih dan Tajdid yang saya kira paling berwenang, memberikan fatwanya.

 

Jawaban:

Dari pertanyaan yang Ibu sampaikan dapat kiranya dikatakan bahwa telah terjadi pemotongan atau pengambilan sebagian dana (uang) bantuan untuk amal usaha Muhammadiyah secara tidak sah oleh pihak atau oknum yang mengurusi penyaluran bantuan tersebut. Akibat pemotongan tersebut, maka dana (uang) bantuan menjadi berkurang, namun dalam laporan (administrasi) harus disebutkan diterima secara utuh dan penuh.

Terhadap perbuatan tersebut dapat diberi penjelasan sebagai berikut:

  1. Pihak atau oknum yang diberi amanat untuk menyalurkan dana (uang) bantuan yang memotong secara tidak sah tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pengkhianatan terhadap amanah. Perbuatan ini dilarang dalam agama. Allah berfirman:

(يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ (٢٧

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” [QS. al-Anfal (8): 27]

  1. Pihak atau oknum pegawai yang memotong dana (uang) bantuan, termasuk melakukan perbuatan ghulul (korupsi). Perbuatan mi dilarang oleh agama. Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ  [١٦١

Artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” [QS. Ali Imran (3):161]

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ  [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu jabatan kemudian kami berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gaji itu adalah korupsi.” [HR. Abu Daud]

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ   [رواه أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as Sa‘idy bahwa Rasulullah saw bersabda: Hadiah yang diterima para pegawai adalah korupsi.” [HR. Ahmad]

  1. Pihak yang menerima yang menyetujui dana (uang) bantuan yang telah dipotong, dapat dikategorikan sebagai persengkokolan atau secara langsung atau tidak langsung memberi bantuan untuk melakukan tindakan ma‘shiyat (melawan hukum Allah) atau perbuatan dosa. Perbuatan sepeerti itu dilarang oleh agama. Allah berfirman:

(وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ (٢

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. al-Maidah (5): 2]

  1. Pihak penerima dana (uang) bantuan setelah dilakukan pemotongan, kemudian melaporkan atau menuliskan secara utuh dan penuh seolah-olah tidak ada pemotongan, perbuatan seperti itu adalah merupakan sebuah kebohongan. Agama melarang kebohongan dan menjadikan sebagai sebagian dari tanda-tanda orang munafik. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

[متفق عليه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berkata ia bohong, apabila berjanji ia tidak menepati, apabila dipercaya ia berkhianat.” [Muttafaq ‘alaih]

Berdasar pada dalil-dalil di atas, jelas bahwa pemotongan dana (uang) bantuan sebagaimana yang Ibu sebutkan adalah termasuk perbuatan munkar atau ma’shiyat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Terhadap posisi Ibu, sebagai bendahara yang tidak dapat tidak harus mengikuti keputusan pleno, maka jika keputusan itu mentolerir adanya pemotongan, kami bependapat posisi Ibu dalam keadaan terpaksa atau darurat atau setidak-tidaknya dalam posisi menghadapi sesuatu yang sangat sulit untuk ditolak.

Menghadapi perbuatan mungkar tersebut, Islam mengajarkan agar berusaha dan berani mencegahnya. Allah berfirman:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran (3); 104]

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ[٧١

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” [QS. at-Taubah (9): 71]

Dalam hadits diterangkan:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.

[رواه مسلم عن أبي سعيد]

Artinya: “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (kekuatan)nya: jika tidak dapat, maka dengan lisannya; dan jika tidak dapat, maka dengan hati (do‘a)nya; dan hal yang demikian itu adalah iman yang paling lemah.” [HR. Muslim dari Abu Sa’id]

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ بِعِقَابِهِ

رواه ابن ماجه عن قيس بن أبي حازم

Artinya: Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran tidak melakukan perubahan, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan adzabnya. [HR. Ibnu Majah dari Qais Ibn Abi Hazim]

Mengingat bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah; maka sudah seharusnya warga Muhammadiyah memulai dari diri sendiri untuk memberantas pemotongan dana (uang) bantuan seperti yang disebutkan di atas, karena hal itu merupakan salah satu bentuk dan praktik korupsi. Untuk Iebih memperluas wawasan tentang pemberantasan korupsi dalam pandangan ulama Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerbitkan buku berjudul: FIKIH ANTI KORUPSI PERSPEKTIF ULAMA MUHAMMADIYAH.

fikih anti korupsi

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button