HUKUM SHALAT BERJAMAAH
Pertanyaan Dari:
Hery Sopari, Desa Cikole, Kec. Cimalaka Sumedang 45353 Jawa Barat.
Instansi: Kantor Kementerian Kehutanan (Balai Taman Nasional Wakatobi)
(disidangkan pada hari Jum’at, 22 Jumadilakhir 1434 H / 3 Mei 2013 M)
Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Apa hukum shalat fardhu berjamaah? Mengingat beberapa hadis:
- “Barangsiapa mendengar adzan, jika dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali udzur”
- Hadis tentang orang buta yang meminta keringanan kepada Nabi saw, namun Nabi saw tetap memerintahkan untuk mendatanginya jika mendengar adzan.
- Hadis yang berisi keinginan Nabi membakar rumah yang tidak mau shalat berjamaah ke masjid
- Begitu juga ayat al-Qur’an (wa aqimu ash-shalah wa atu az-zakah warka’u ma’a ar-raqi’in)
Terimakasih atas jawaban Majelis Tarjih, mudah-mudahan ada manfaatnya buat saya pribadi, umumnya buat umat Islam Indonesia.
Wassalam
Jawaban:
Wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh
Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Shalat jamaah diperintahkan baik oleh al-Qur’an maupun oleh al-Hadis. Firman Allah Swt surat al-Baqarah (2) ayat 43 dan Hadis Nabi Saw menyebutkan:
[وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ. [البقرة (2): 43
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” [Q.S. al-Baqarah (2) ayat 43]
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلَاةُ اْلجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
[رواه البخاري]
Artinya: Dari Nafi’ dari Abdulah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda: shalat jamaah itu melebihi shalat sendirian dengan 27 derajat” [HR. al-Bukhari]
Mengenai hukum shalat berjamaah terutama terkait dengan shalat wajib, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Perbedaan ini muncul dikarenakan metode pemahaman yang berbeda-beda ketika menyimpulkan dari nash/teks atau dalil-dalil yang saudara sebutkan di atas. Pun sebagian ulama ada yang mendasarkan pada dalil-dalil di atas, sebagian lainnya mendasarkan pada dalil-dalil yang tidak saudara sebutkan. Ulama dari kalangan Hanafiyah berpendapat sunnah muakkad untuk laki-laki. Dalam istilah mazhab Hanafi, sunnah muakkad sama halnya dengan wajib, berdasar hadis keutamaan dari shalat sendirian di atas. Juga sebuah atsar dari sahabat Abdulah bin Mas’ud ra.: “Ia (shalat jamaah) adalah satu dari sunnah-sunnah petunjuk” (al-Bada’i: 1: 155; Ibnu Abidin; 1: 371). Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat fardhu kifayah (Mughni al-Muhtaj: 1: 229, al-Muhadzab: 1: 100) berdasar hadis riwayat Abu Dawud:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
[رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah seorang dari tiga penduduk suatu kampung atau wilayah yang tidak mendirikan shalat kecuali setan telah menguasai mereka, maka senantiasa berjamaahlah karena serigala memakan mangsanya yang sendirian. [H.R. Abu Dawud]
Ulama kalangan Maliki membedakan, fardhu kifayah jika dikaitkan dengan nominal jumlah penduduk suatu daerah, sunnah untuk setiap masjid yang didirikan, dan lebih utama untuk laki-laki dalam pelaksanaannya. (Hasyiah ad-Dasuqi: 1: 139) Sedang ulama kalangan Hanbali menghukuminya wajib ‘ain (individu), tapi tidak memasukkannya menjadi syarat sahnya shalat berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa: 102 di bawah ini (al-Bada’i: 1: 155; Ibnu Abidin; 1: 371) dan hadis riwayat al-Bukhari tentang Rasul yang mengancam membakar rumah orang yang tidak melaksanakan jamaah sebagaimana saudara sebutkan di atas.
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِنْ وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
[سورة النسآء (4): 102]
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu” [Q.S. an-Nisa’ (4): 102]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjamaah dalam keadaan perang, maka di luar perang lebih utama.
Dari semua dalil yang dikemukakan baik yang mewajibkan maupun yang tidak mewajibkan shalat jamaah, menurut metode al-jam’u wa at-taufiq, dapat diambil kesimpulan bahwa shalat berjamaah adalah wajib kifayah, yang berarti kalau suatu kampung ada yang melakukan shalat berjamaah sudah menggugurkan kewajiban seluruh kampung. Hanya saja shalat berjamaah tetap merupakan anjuran yang perlu mendapatkan perhatian kita.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 15 Tahun 2012.
*Fatwa ini telah disempurnakan pada sidang fatwa tahun 2017, selengkapnya silahkan klik link di bawah ini:
https://tarjih.or.id/hukum-shalat-berjamaah-2/