MENGAMINI DOA
PADA SAAT KHUTBAH ATAU PADA ACARA TERTENTU
Pertanyaan Dari:
Wisnuaji Gagat Priambada
(disidangkan pada hari Jum’at, 1 Shaffar 1437 H / 13 November 2015)
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum w. w.
Sering dalam acara di kantor (halal bihalal atau sejenisnya) dan juga saat akhir khutbah Jum‘at, kita mengamini doa-doa yang dibaca oleh khatib atau pemimpin doa. Sering doanya dilantunkan dalam bahasa Arab yang kami tidak tahu artinya, sehingga ketika satu kalimat dibacakan kita menjawab “aamiin” begitu seterusnya hingga doa selesai. Padahal belum tentu penggalan kalimat tersebut mempunyai arti yang bisa kita amini.
Pertanyaannya:
- Bagaimana mengamini doa yang panjang dan berbahasa Arab seperti pada khutbah Jum‘at atau acara-acara tertentu tersebut? Apakah setiap penggal kalimat kita amini atau dibiarkan hingga selesai baru kita amini?
- Lebih baik mana, berdoa dengan bahasa Indonesia tapi kita tahu makna dan artinya, atau dengan bahasa Arab tapi kita tidak tahu arti dan maknanya (mungkin karena kebiasaan sejak kecil diajarkan doa tersebut sehingga cuma hafalan tapi tidak paham arti dan maknanya)?
Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum w. w.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam w. w.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan, sebelumnya perlu kami sampaikan terkait dengan pertanyaan saudara yang pertama, bahwa pertanyaan tersebut telah dibahas dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid ke-4 halaman 113 yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Uraian jawabannya sebagai berikut: Doa yang dibaca oleh khatib ketika ia berkhutbah itu termasuk dalam rangkaian khutbah itu sendiri. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan khutbah Jum‘at, berlaku juga pada saat khatib itu membaca doa. Di antara ketentuan yang dituntunkan oleh Rasulullah saw pada saat pelaksanaan khutbah Jum‘at adalah ketentuan yang ditetapkan bagi makmum. Makmum atau jamaah shalat Jum‘at diharuskan mendengarkan khatib pada saat sedang melakukan khutbah. Hal ini ditegaskan dalam hadis Rasulullah saw riwayat al-Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Dari Abu Hurairah ra (diriwayatkan) ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila engkau berkata kepada sahabatmu “diam” pada hari Jum’at padahal imam (khatib) sedang berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia [Shahih al-Bukhari 1:166, Shahih Muslim, 1: 338].
Hadis ini menegaskan bahwa orang yang berbicara pada waktu khatib sedang berkhutbah walaupun menegur orang lain supaya tidak berkata-kata misalnya, maka orang itu dipandang salah dan dianggap telah berbuat sia-sia. Hadis di atas juga ditegaskan lagi oleh hadis lain riwayat Ahmad disebutkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَالْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا، وَالَّذِي يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ
Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa berkata-kata di hari Jumat padahal imam atau khatib sedang berkhutbah, maka ia seperti keledai yang memikul kitab-kitab dan orang yang berkata kepadanya “diam” tidak ada baginya “Jum‘at” [Musnad Imam Ahmad, III :326, hadis no 2033]
Dua hadis di atas yang merupakan tuntunan dari Rasulullah saw sudah cukup menjelaskan bahwa ketika khatib sedang berkhutbah termasuk sedang membaca doa, maka makmum harus mendengarkan dengan khusyuk dan tidak boleh mengeluarkan kata-kata, termasuk kata-kata “amin” itu sendiri. Pada saat khatib berdoa, kewajiban makmum adalah mendengarkannya bukan mengamininya dengan mengeluarkan kata-kata amin, sebab hal ini juga akan membuat gaduh atau akan mengakibatkan apa yang diucapkan oleh khatib tidak jelas untuk didengar.
Dapatlah disimpulkan bahwa ketika khatib sedang membaca doa dalam khutbahnya, hendaknya makmum mendengarkan dengan khusyuk dan tidak perlu mengucapkan amin.
Sedangkan, tentang hukum melafadzkan amin untuk doa-doa di luar khutbah Jum‘at, seperti acara halal-bihalal dan lain-lain, adalah dianjurkan atau disunnahkan. Hal ini dilandasi dengan sabda Nabi saw riwayat al-Bukhari:
.إِذَا أَمِنَ اْلإِمَامُ فَأمِنُوا، فَإِنَّهُ مَن وَافَقَ تَأمِينَهُ تَأمِينَ اْلمَلاَئِكَةِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Jika imam mengamini (doa) maka aminkanlah, karena barangsiapa yang ikut mengamini, maka malaikat juga akan mengamini, niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu. [Hadis riwayat al-Bukhari, no: 7373]
Namun, agar lebih afdhal (utama) hendaknya kita mengetahui arti atau makna dari doa yang telah diucapkan oleh seorang imam atau orang yang berdoa, sehingga kita bisa menghayati kandungan doa tersebut, bukan sekedar mengucapkan kata amin.
Mengenai pertanyaan kedua, terdapat dua kemungkinan:
- Apabila doa itu berada dalam shalat, maka wajib melafalkan doa yang ma’tsur (doa yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah) dengan lafal bahasa Arab dan tidak boleh membuatnya sendiri apalagi dengan bahasa yang lain, melainkan doa tersebut harus sesuai tuntunan Rasulullah saw, sebagaimana dalam sabda beliau:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat [HR. al-Bukhari, 443]
- Apabila doa itu di luar shalat, maka melafalkan doa yang ma’tsur dengan lafal bahasa Arab lebih baik (utama), sebab doa yang ma’tsur adalah doa yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah yang memiliki keutamaan tersendiri dalam membacanya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ آلم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِف حَرْفٌ وَلَام حَرْفٌ وَمِيم حَرْفٌ
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Quran maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak berkata “alif lam mim” itu satu huruf, akan tetapi “alif” satu huruf, “lam” satu huruf dan “mim” satu huruf [HR. at-Tirmidzi, 2910].
Di sisi lain, doa tersebut sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti) Rasulullah saw, karena beliau senantiasa berdoa dengan doa yang ma’tsur. Akan tetapi, meskipun tidak memahami artinya tetap lebih baik (utama) dibandingkan dengan bahasa lain beserta memahami artinya. Sebab, Allah Swt Maha Mengetahui apa yang terkandung dalam diri hambanya ketika berdoa. Firman Allah Swt:
إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Allah Maha mengetahui segala isi hati [Q.S. Luqman (31: 23)]
Jika seseorang itu belum mampu melafalkan doa dengan bahasa Arab maka boleh memakai bahasa lain. Dalam berdoa hendaknya dilakukan dengan menundukkan hati, dan menghayati makna doa tersebut (hal ini dianjurkan pula bagi doa yang ma’tsur). Rasulullah saw bersabda:
اُدْعَوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِاْلإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءَ مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ
Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai [HR. at-Tirmidzi no. 3479]
Oleh sebab itu, setiap muslim hendaknya selalu belajar, termasuk dalam hal berdoa, agar doa-doa yang selama ini tidak diketahui artinya menjadi diketahui artinya sehingga menambah kesempurnaan dalam berdoa.
Wallahu a’lam bish-shawab.