MODUS/CARA MELAKUKAN KORUPSI
Pertanyaan Dari:
Hafis Iwan <hafis_iwan_john@yahoo.co.id>
(disidangkan pada hari Jum’at, 8 Rabiulawal 1435 H / 10 Januari 2014)
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum w. w.
Pengasuh yang terhormat, saat ini marak diberitakan kasus korupsi dan pencucian uang di Indonesia. Kasusnya adalah:
- Seseorang memberikan jasa dan dibayar dengan ada tambahan sebagai tips yang cukup besar nilainya
- Seseorang menjual sesuatu dan dihargai dengan harga jauh lebih tinggi dibanding harga pasar
Pertanyaan saya adalah:
- Bagaimana hukum di atas?
- Bagaimana hukum di atas jika belakang hari ternyata orang yang membayar tersebut terkena kasus suap/kriminal?
Terima kasih.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Menjawab hukum pada butir (a) dari kasus nomor 1 dalam persoalan pemberian (atau apa saja yang kita dapat dengan cara halal), baik uang, makanan, pakaian, atau barang lainnya, yang kita tidak mengetahui asal-usul bagaimana barang itu didapat, maka kita hukumi saja sebagai halal. Dalam kasus seperti ini, berlaku sebuah ungkapan apa saja yang tidak kita ketahui detailnya, kita tidak perlu mempertanyakaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surah al-Maidah ayat 101, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu … .”
Maksudnya, jika memang tampak bagi kita itu sesuatu yang baik/halal, maka halal hukumnya kita manfaatkan. Ini berlaku bagi jasa secara umum, kecuali jika sampai ke tingkat patut dicurigai, yakni kita mempunyai dugaan keras bahwa barang yang diberikan itu barang haram. Misalnya kita menerima pemberian dari orang yang suka berjudi, maka kita perlu mencari tahu asal-usul barang yang diberikan tersebut. Selama kecurigaan kita belum hilang, sebaiknya kita jangan menggunakan (baik kita manfaatkan sendiri atau kita berikan kepada orang lain) pemberian tersebut. Atau kita tempuh jalan pintas, yaitu mengembalikan barang tersebut kepada si pemberi.
Itu hampir sama dengan sebuah pemberian yang lebih mendekati praktek suap, karena kita mempunyai jabatan penting, misalnya, yang sekarang populer dengan sebutan gratifikasi. Oleh sebab itu kita perlu mencurigai si pemberi, jangan-jangan ada udang di balik batu. Kita harus mencari tahu, sampai kecurigaan kita hilang. Jika memang lebih mendekati kasus penyuapan, maka sebaiknya kita jangan menerima pemberian itu, atau pilihan lain, melaporkannya kepada yang berwajib (polisi), jika sekiranya persoalan beri-memberi itu memasuki wilayah kriminalitas.
Sedangkan kasus nomor 2 yakni menjual sesuatu dihargai di atas harga pasar, maka sepanjang terpenuhi rukun dan syarat jual beli, seperti penjual dan pembeli cakap bertindak hukum, barang yang dijual adalah sesuatu yang halal, dimiliki oleh penjual, diketahui kualitas dan kuantitasnya, dapat diserahterimakan, kemudian ijab qabul, menunjukkan adanya kerelaan, pembelian dengan harga tinggi adalah kemauan pembeli, hukum jual beli ini adalah sah. Tetapi jika terjadi dalam pasar pada umumnya, harus dicermati dampak dari pembelian harga tinggi terhadap barang yang dijual, khawatir akan mempengaruhi harga pasar, kecuali jika barang tersebut barang antik yang tidak semua penjual memilikinya.
Menjawab hukum butir (b), ternyata si pelaku terlibat kasus suap/kriminal. Dalam hal ini perlu memahami peta harta haram yang banyak tersebar di masyarakat kita. Secara umum, harta haram bisa dikelompokkan menjadi dua:
- Harta haram karena dzatnya, seperti khamr, babi, bangkai, anjing, darah, dan seterusnya.
- Harta haram karena cara mendapatkannya, meskipun dzatnya halal, seperti uang riba, barang curian, mobil korupsi, sapi suap, dan seterusnya.
Selanjutnya, untuk harta haram karena cara mendapatkannya, dibagi menjadi dua:
- Harta haram yang diambil secara suka rela, saling ridha, atau dengan izin pemilik pertama. Seperti upah wanita pezina, hasil judi, atau jual beli barang haram (misal: hasil menjual babi, khamr), dan seterusnya.
- Harta haram yang diambil secara sepihak, dan merugikan pihak lain, tidak saling ridha. Seperti harta hasil curian, harta hasil merampas, hasil menipu, dan lain-lain.
Harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli, tidak saling ridha, statusnya tetap haram, meskipun berpindah ke tangan orang lain, baik diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah. Sebagian ulama menjelaskan dengan dalil sabda Nabi saw;
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” [HR. Muslim dari Ibnu Umar]
Ibnu Hajar mengatakan;
دل قوله لاَ تُقْبَلُ صَدَقَةٌ من غُلُول أَن الغَال لاَ تبرأ ذمته إلا برد الغلول إلى أصحابه لا بأن يتصدق به إذا جهلهم مثلا والسبب فيه أنه من حق الغانمين فلو جهلت أعيانهم لم يكن له أن يتصرف فيه بالصدقة على غيرهم
“Sabda Nabi saw ‘sedekah tidak diterima karena hasil korupsi’ menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain.” (Fath al-Bari: III: 278)
Harta hasil korupsi termasuk jenis harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli. Hal ini karena sejatinya harta itu adalah milik rakyat, dan semua orang sepakat tidak ada rakyat yang bersedia hartanya diambil oleh pejabat.Oleh karena itu, sekalipun telah dilakukan money laundry (pencucian uang), atau diserahkan kepada orang lain, harta itu wajib untuk disita dan dikembalikan kepada negara. Bagi penerima yang mengetahui bahwa itu hasil korupsi, dia harus menolaknya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*Fatwa ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 09 Th. 2014