Berita

TOKOH MUSLIM MUDA AUSTRALIA KUNJUNGI MTT PP MUHAMMADIYAH

Yogyakarta – Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyambut dengan baik delegasi Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) di Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan pada Kamis (31/1) sore. Pertemuan tersebut diselenggarakan dalam rangkaian acara kegiatan pertukaran bilateral di Indonesia yang bertujuan untuk memperkokoh hubungan dan pengertian tentang Islam di kedua negara. AIMEP sendiri didirikan pada 2002 oleh Pemerintah Australia melalui Australia-Indonesia Institute (AII). AII telah menjalankan peran yang unik dan vital dalam memupuk persahabatan dan memajukan pemahaman antara Australia dan Indonesia melalui proyek-proyek antar-agama, pendidikan, kepemudaan, lingkungan, masyarakat madani, olah raga dan kesenian.

Pertemuan yang diselimuti dengan suasana penuh kehangatan dan keakraban itu dimulai dengan pemaparan Prof. Syamsul Anwar tentang Muhammadiyah secara umum. Menurutnya, Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah keagamaan yang mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Prof. Syamsul menyampaikan pula tentang peran Majelis Tarjih dalam tubuh Muhammadiyah sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa dan putusan resmi persyarikatan. Dalam sejarahnya, kehadiran Majelis Tarjih sangat membantu pergerakan Islam di Indonesia yang awalnya memiliki corak kalam yang cenderung fatalistik, dan tradisi fikih yang sangat konservatif, menjadi pergerakan Islam yang akan terus melakukan ijtihad tanpa henti demi terwujudnya masyarakat muslim yang sebenar-benarnya. Pemaparan Prof. Syamsul secara fasih diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh salah satu anggota Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Rowan Gould.

Setelah Prof. Syamsul menyampaikan Muhammadiyah secara umum, tiba giliran acara tanya-jawab antara delegasi muslim Australia dengan Muhammadiyah. Pada sesi pertama, delegasi Australia Sajid Bokhari menanyakan perihal struktur bangunan masjid Agung Kotagede Mataram yang dalam ukirannya terlihat seperti corak arsitektur agama Hindu. Pria yang berprofesi sebagai senior associate di Bank Nasional Australia ini merasa penasaran dengan satu pertanyaan apakah timbul ketegangan dan gesekan di antara masyarakat akibat persoalan tersebut.

Pertanyaan Bokhari kemudian dijawab dengan baik oleh perwakilan dari Pimpinan Pusat Aisyiyah Siti Nurhayati. Menurutnya, proses Islamisasi Nusantara memiliki keunikan tersendiri sebab bukan dilakukan dengan cara-cara konfrontasi, melainkan akulturasi. Akulturasi memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi sebab menyaring sebuah budaya yang masuk, memilah mana yang secara eksplisit bertentang dengan Islam, dan menerima aspek yang secara implisit tidak merusak akidah, sehingga hal tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Proses akulturasi ini juga berfungsi untuk meminimalisir adanya konflik horizontal karena perbedaan budaya yang dimiliki.

Syed Naquib al-Attas menjelaskan bahwa saat Hindu menjadi agama yang dipeluk oleh kebanyakan orang Melayu, yang berkembang bukan filsafat Hindu, melainkan keseniannya. Cerita-cerita seputar Mahabarata, Bhagavad Gita, dan Bharatayudha, telah meninggalkan aspek filsafat dalam penuturannya. Yang tersisa hanyalah aspek kesusastraan yang epik, heroik, roman, dan mitos. Sementara pengaruh Islam di Melayu tidak ditandai dan tidak dapat diukur dari bangunan, seperti piramida Mesir, acropolis Yunani, persepolis Iran atau candi, tugu, pahatan, dan wayang, akan tetapi menurut al-Attas—seperti yang dikutip oleh Akmal Sjafri—pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya mencarakan daya budi dan akal merangkum pemikiran. Berbeda dengan peradaban sebelumnya, Islam datang ke Melayu dengan membawa serta tradisi intelektual.

Pertanyaan kedua datang dari seorang guru di Arkana College, sebuah sekolah Islam di Sydney selatan, Rabiha Ibrahim. Rabiha ingin tahu apa yang telah dilakukan Muhammadiyah dalam membangun perbaikan pendidikan. Pertanyaan tersebut dijawab dengan fasih oleh Wakil Rektor I Universitas Aisyiyah Taufiqurrahman yang menjelaskan bahwa Muhammadiyah telah memiliki banyak sekolah dari tingkat kanak-kanak sampai perguruan tinggi sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Data terakhir menyebutkan bahwa Muhammadiyah memiliki TK/TPQ sebanyak 4.623 buah; Sekolah Dasar (SD)/MI sebanyak 2.604; Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTS) sebanyak 1.772 buah; Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA sebanyak 1.143 buah; Pondok Pesantren sebanyak 67 buah; dan Perguruan Tinggi sebanyak 172 buah. Keseluruhan amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah dalam bidang pendidikan ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Aceh hingga Papua.

Selain itu, Ayub yang dalam acara tersebut berperan sebagai moderator menambahkan bahwa konsep-konsep KH. Ahmad Dahlan mengenai pendidikan begitu sangat revolusioner. Tindakan revolusioner yang telah dilakukannya adalah memposisikan pendidik hanya sebagai fasilitator yang bertugas membimbing dan mengarahkan murid, sedangkan posisi murid sebagai subjek pendidikan yang harus aktif dan kritis selama proses pembelajaran. Selain itu, dalam hal sarana prasarana pendidikan, KH. Ahmad Dahlan memanfaatkan medium lain seperti biola, papan tulis, meja dan kursi serta ruang kelas untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar yang pada masa itu belum lazim digunakan di sekolah-sekolah Islam.

Berbeda dengan sesi pertama, pada sesi tanya-jawab kedua yang bertindak sebagai penanya dari Muhammadiyah dan delegasi muslim Australia yang menjawab. Pertanyaan pertama datang dari anggota Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hery Setiawan. Dia begitu penasaran dengan kondisi pemukiman muslim Australia. Pertanyaan tersebut kemudian langsung dijawab oleh perwakilan delegasi muslim Australia yang pada kesimpulannya dia menyampaikan bahwa gerakan membuang sampah tidak hanya dilakukan oleh komunitas muslim tetapi dilakukan secara kolektif bersama seluruh lapisan masyarakat Australia. Kegiatan tersebut biasa mereka lakukan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar udara tetap bersih dihirup paru-paru dan tetap rindang di peluk mata.

Pertanyaan terakhir disampaikan oleh Wakil Mudir Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Muhammad Muhajir. Beliau tertarik dengan salah satu delegasi muslim Australia Nasim Zereka yang berprofesi sebagai guru Bahasa Arab di Granville East Public School, sebuah sekolah dasar negeri di Sydney Barat Daya. Dengan menggunakan bahasa Arab, Muhajir menanyakan ihwal bagaimana mereka mengajarkan bahasa Arab kepada para murid di sekolah-sekolah Australia.

Tidak mau kalah, Nasim menjawab pertanyaan Muhajir dengan bahasa Arab pula, beliau mengatakan bahwa pembelajaran bahasa Arab dilakukan sebagaimana mereka belajar bahasa Inggris. Murid diajari menulis, membaca, mendengar, dan menyampaikan bahasa Arab. Menurut Nasim, biasanya pembelajaran bahasa Arab di Australia tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga dipakai saat jam-jam kegiatan ekstrakulikuler seperti olah raga di lapangan, makan siang di kantin, outbond dan lain sebagainya. Kegiatan di luar kelas sesungguhnya mampu membuka pintu baru untuk eksplorasi, mengembangkan potensi, meningkatkan kepercayaan diri, dan ekspresi kreatif.

Pertemuan delegasi muslim Australia dengan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah diakhiri dengan sesi pemberian cindera mata berupa dua buku produk Majelis Tarjih, yaitu: Coping with Disaster: Principle Guidance from an Islamic Perspective, dan The Islamic View of Water Use and Conservation.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button