HUKUM KEUNTUNGAN MENERBITKAN BUKU DENGAN DANA HASIL SUAP
Pertanyaan Dari:
Abu Ashim Mafaza, Solo, Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum‘at, 24 Syawal 1437 H / 29 Juli 2016 M)
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Pertanyaan tentang sebuah kasus: Ini tentang hukum membeli proyek. Misalnya, ada tender pengadaan buku senilai 100 juta. Lalu, si A “membeli proyek itu” dari pengambil keputusan (dinas/instansi pemerintah terkait) senilai 10 juta agar tender itu jatuh pada si A. Dalam hal ini, perkara sudah jelas sebagai risywah yang haram. Oleh karena si A tidak bisa membuat buku, maka ia membeli di toko atau penerbit si B.
Pertanyaan: Bagaimana hukum atau status keuntungan yang didapatkan si B? Di mana si B tahu bahwa si A menyogok, tetapi si B tidak ridha, tidak menyuruh, dan tidak memfasilitasi? Pengetahuan itu berdasarkan pengakuan si A sendiri kepada si B. Entah benar atau tidak, karena bisa saja ini motif si A agar mendapatkan potongan diskon yang lebih besar dari si B.
Bisakah posisi si B dikiaskan sama dengan “mata rantai dosa khamr” sebagaimana yang disebutkan dalam hadis? Si B sebagai penerbit tidak mengurangi kualitas dan kuantitas buku yang dijual kepada si A.
Mohon jawabannya juga diforward ke email kami: zadahaniva@gmail.com. Terima kasih.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Menerbitkan buku yang bermanfaat bagi umat adalah sesuatu yang mulia. Bahkan menerbitkan buku yang bermanfaat hukumnya adalah fardhu kifayah, yang berarti apabila tidak ada yang melakukannya maka seluruh umat Islam akan menanggung dosa. Namun apabila ada sejumlah orang yang cukup telah melakukannya maka semua masyarakat yang tidak melakukannya selamat dari dosa. Hal ini karena buku yang bermanfaat itu sangat dibutuhkan masyarakat, dan buku tidak akan ada tanpa ada yang menerbitkannya. Kaidah fikih menyatakan:
.مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang kewajiban tidak akan bisa sempurna melainkan dengannya, maka sesuatu itu juga wajib”.
Bagaimanakah hukum menerbitkan buku sebagaimana dalam kasus si A dan si B di atas? Si A melakukan suap untuk mendapatkan proyek pengadaan buku tersebut dan hal itu jelas diharamkan sebagaimana saudara katakan, sesuai dengan hadis:
[عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ [رواه أبو داود
“Dari Abdullah bin Amr [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah saw. melaknat pemberi suap dan penerima suap” [HR Abu Dawud].
Adapun si B, maka ia boleh menerbitkan buku yang dipesan oleh si A, baik ia tahu dan apalagi jika ia tidak tahu dari mana si A memperoleh dana untuk membayar pesanannya itu. Argumentasinya ialah, si B bukan pemberi suap, bukan penerima suap dan bukan orang yang terlibat dengan suap. Selain itu, si B melakukan sesuatu yang halal bahkan mulia yaitu menerbitkan buku yang bermanfaat, dan dalam melaksanakan pekerjaannya itu ia tidak wajib bertanya atau mengetahui dari mana pelanggannya (si A) memperoleh dana. Apabila tanpa bertanya si B tahu juga dari mana asal dana si A, si B tetap boleh menerbitkan buku tersebut dan keuntungan yang diperoleh dari pekerjaannya itu hukumnya halal. Hal ini karena apa yang dilakukan oleh si A adalah urusannya dengan orang atau pihak lain, sementara urusan si B dengan si A adalah urusan menerbitkan buku yang hukumnya halal. Lagi pula, tidak ada larangan bagi si B untuk bermuamalah dengan si A, sebagaimana tidak ada larangan bagi si B untuk bermuamalah dengan orang kafir atau orang-orang Islam yang fasik seperti pelacur, pencuri, perampok, pembunuh, pemakan riba, dan penjahat lainnya.
Para ulama sepakat bahwa dalam urusan mu‘amalah maliyah (interaksi keuangan) para pihak tidak wajib bertanya dari mana asal dana atau barang, karena hal ini sangat menyusahkan satu pihak dan membuat tidak nyaman pihak yang lain, sementara ajaran agama kita ini berdiri dan berdasarkan kaidah “raf’u al-haraj” (menghilangkan sesuatu yang menyusahkan dan membuat tidak nyaman).
Kaidah “raf’u al-haraj” sendiri berdasarkan firman Allah:
[وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٖۚ [الحج (22): 78
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [QS al-Hajj (22): 78].
[يُرِيدُ ٱللهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ [البقرة (2): 185
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS al-Baqarah (2): 185].
Selanjutnya, apa yang dilakukan oleh si B dengan si A tidak bisa dikiaskan atau dianalogikan dengan “mata rantai dosa khamr” sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
[رواه الترمذي]
“Dari Anas bin Malik [diriwayatkan] ia berkata: Rasulullah saw. melaknat di dalam [masalah] khamar sepuluh pihak: Pemerasnya (produsen), orang yang diperaskannya (pemesan), peminumnya, pembawanya (pelayan/distributor), orang yang dibawakannya (agen), orang yang memberi minum dengannya (penuang/pelayan), penjualnya, orang yang mendapat keuntungannya (pemodal), pentraktirnya dan orang yang ditraktir dengannya” [HR at-Turmudzi].
Hal ini karena keduanya berbeda. Apa yang dilakukan oleh si B dengan menerbitkan buku pesanan si A adalah halal, sementara semua orang yang terlibat dengan khamr atau minuman keras itu terlibat dengan sesuatu yang diharamkan sehingga mereka semua dilaknat Rasulullah saw.. WalLahu a’lam.