MENGAJI DI MASJID DENGAN PENGERAS SUARA SEBELUM SHALAT SUBUH
Pertanyaan Dari:
AM Ningtyas, di Yogyakarta
(disidangkan pada Jum’at, 30 Dzulqa’dah 1437 H / 2 September 2016 M)
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Saya seorang simpatisan Muhammadiyah berdomisili di Yogyakarta. Kebetulan tempat tinggal saya berdekatan dengan masjid Al Falah yang satu lokasi dengan SD Muhammadiyah Gendeng Baciro. Sebelumnya tak ada masalah satu pun, kemudian akhir-akhir ini timbul masalah.
Masjid tersebut setiap jam 3 pagi (lebih dari 1 jam sebelum waktu shubuh tiba) selalu mengaji dengan speaker luar. Kadang-kadang suara speaker kecil, sering pula keras sehingga mengganggu sekitar. Apalagi masjid tersebut ada di tengah-tengah perkampungan. Bahkan orang yang hendak shalat malam pada jam-jam itu juga terganggu bacaannya. Setiap hari pula 10 menit menjelang shubuh orang yang mengaji akan berseru imsaak-imsaak. Mohon pencerahannya, apakah ada tuntunan sedemikian?
Selama ini masjid-masjid Muhammadiyah terkenal akan amal sholeh dan sifatnya yang relatif tenang dan bersahaja, sehingga lebih mendapat tempat di hati masyarakat, termasuk saya. Karena saat ini saya menulis e-mail kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan agama jauh di atas masyarakat awam pada umumnya, maka kiranya tak perlu saya beberkan dalil-dalil yang menganjurkan agar bacaan al-Quran dilakukan dengan suara rendah dan hati yang tawadhu’. Setitik pun tak ada niat menghalangi syiar Islam dalam hal ini, justru saya mengkhawatirkan syiar Islam akan rusak dengan perilaku demikian.
Mohon bimbingannya agar masjid tersebut kembali memiliki “sifat khas” Muhammadiyah-nya, kembali pada syiarnya yang menyejukkan. Saya sudah pernah menyampaikan keberatan kepada pihak terkait, tetapi tidak mendapat tanggapan baik.
Sebelumnya saya mengucapkan jazakumullahu khairan katsiira.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Ibu AM Ningtyas yang semoga dirahmati Allah Swt., kesan masyarakat bahwa selama ini masjid-masjid Muhammadiyah terkenal dengan amal sholeh, memiliki sifat yang tenang dan bersahaja, serta memiliki sifat khas yang menyejukkan, tentu merupakan hal positif yang harus dijaga dan dipertahankan agar tetap terkesan dalam hati masyarakat.
Membaca al-Qur’an baik di masjid maupun di rumah merupakan amalan yang sangat baik dan diperintahkan oleh agama. Begitu pula dengan berzikir dan berdoa dapat dilakukan di masjid baik dengan suara sirr (pelan) maupun jahr (jelas). Berikut ini beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang memerintahkan untuk berzikir, berdoa dan membaca al-Qur’an di masjid baik dengan suara pelan maupun keras;
[ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ [الأعراف، 7: 55
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [QS. al-A’raf (7): 55].
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
[الأعراف، 7: 205]
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” [QS. al-A’raf (7): 205].
Namun, dalam surat an-Nur (24) ayat 36 juga dijelaskan tentang kebolehan berzikir, berdoa dan termasuk membaca al-Qur’an dengan suara nyaring/keras;
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
[النور، 24: 36]
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” [QS. an-Nur (24): 36].
Ketiga ayat ini tidak saling bertentangan, namun justru saling melengkapi dan saling menjelaskan. Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata “tadharru’ dan khufyah atau khifah” adalah dengan penuh kekhusyukan dan kemantapan iman, sedangkan kata “an turfa’a” diartikan dengan mengagungkan. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa berdoa, berdzikir dan termasuk di dalamnya membaca al-Qur’an harus dilakukan dengan penuh kemantapan iman, kekhusyu’an serta dengan suara yang pelan. Namun disisi lain, Islam juga membolehkan seseorang untuk mengangkat atau meninggikan volume suaranya dalam batas-batas yang wajar dan tidak berlebihan atau melampaui batas.
Sedangkan hadis Nabi saw. yang memerintahkan untuk membaca al-Quran di masjid antara lain sebagai berikut;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
[رواه مسلم]
“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] ia berkata; Rasulullah saw. telah bersabda: … Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca al-Qur’an, dan saling mengkaji (mengajarkan) di antara mereka, melainkan diturunkan atas mereka ketenangan dan dicurahkan kepada mereka rahmat dan mereka dikelilingi (dilindungi) oleh para malaikat serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya” [HR. Muslim].
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, membaca al-Qur’an di masjid-masjid merupakan amalan yang sangat dianjurkan serta memiliki keutamaan yang sangat besar. Sedangkan terkait dengan penggunaan pengeras suara, secara langsung tidak ada dalil yang melarang seseorang untuk membaca al-Qur’an dengan pengeras suara (speaker). Namun di sisi lain tentunya tidak sampai mengganggu kenyamanan dan kekhusyukan orang lain dalam melaksanakan ibadah, terlebih lagi di malam hari di saat orang lain beristirahat atau melaksanakan shalat malam (qiyamul-lail) baik di rumah maupun di masjid, terlebih lagi masjid yang berada di tengah masyarakat yang heterogen baik dari segi keyakinan maupun agamanya. Oleh karena itu penggunaan speaker atau pengeras suara hendaknya diatur waktu dan volume suaranya atau dengan mempertimbangkan penggunaan speaker bawah (dalam ruang), sehingga tidak mengganggu orang yang sedang beristirahat atau beribadah di rumah.
Kegiatan lain seperti membaca al-Qur’an sambil menunggu waktu shalat, atau mengingatkan orang waktu imsak bagi yang hendak berpuasac(terutama di bulan suci Ramadan) merupakan salah satu bentuk syiar yang hendaknya dilakukan dengan cara yang wajar dan tidak sampai mengganggu kenyamanan masyarakat termasuk mereka yang bukan beragama Islam, karena salah satu sifat ajaran Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu jangan sampai niat untuk syiar Islam, namun justru dalam praktiknya dapat mengganggu kenyamanan dan kekhusyukan masyarakat. Hal ini juga sering dikeluhkan pada bulan Ramadan, orang membaca al-Qur’an dengan pengeras suara luar hingga larut malam bahkan sampai tibanya waktu imsak, sehingga sangat mengganggu istirahat masyarakat yang tentu memiliki keadaan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Jika seseorang ingin membaca al-Qur’an hingga larut malam atau sampai tibanya waktu subuh, maka hendaknya tidak menggunakan pengeras suara luar atau dengan volume keras, agar tidak mengganggu kenyaman masyarakat untuk beristirahat maupun beribadah.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 dan Jilid 5 dijelaskan; membaca al-Qur’an dengan keras dan bernada tinggi yang akibatnya menggangu konsentrasi atau kenyamanan orang lain untuk beribadah tidak dibenarkan. Bahkan berdoa dengan nada tinggi yang dapat menggangu kekhusyukan ibadah orang lain pun juga dilarang. Dalam kitab al-Madkhal, diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah melarang Ali r.a., yang intinya agar Ali r.a. tidak mengeraskan bacaan dan doanya, sekiranya orang banyak sedang mengerjakan shalat, karena yang demikian itu akan mengganggu shalat mereka.
Sedangkan menurut Ibnul ‘Imad as-Syafi’i, membaca dengan keras dan menggangu orang-orang yang sedang shalat di masjid itu dilarang. Bahkan para sahabat membenci perbuatan mengeraskan suara pada waktu berzikir dan membaca al-Qur’an, lebih-lebih di masjid, apabila sampai mengganggu ketenangan orang yang sedang beribadah. Dalam hadis riwayat Abu Dawud disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ
[رواه أبو داود]
“Dari Abu Sa’id [diriwayatkan] ia berkata; Rasulullah saw. beriktikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (al-Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (al-Qur’an) atau dalam shalatnya” [HR. Abu Dawud]
Dari penjelasan tersebut tentu idealnya bagi seseorang maupun pengelola (takmir) masjid perlu menserasikan antara kegiatan yang bersifat ‘ubudiyah dan aspek sosial-kemasyarakatan, antara keshalehan individual dan keshalehan sosial, serta menerima berbagai masukan positif dari masyarakat sekitar terkait dengan model pengelolaan masjid khususnya di lingkungan Muhammadiyah. Di sisi lain, masyarakat juga hendaknya memberikan masukan yang positif dan seobyektif mungkin demi peningkatan kualitas pengelolaan masjid-masjid Muhammadiyah. Cara ibu merespon dengan memberi masukan kepada takmir tentu merupakan cara yang sangat bagus dan sebagai salah satu bentuk kepedulian ibu sekaligus untuk saling mengingatkan sesama muslim. Apalagi niat ibu yang tulus untuk menjaga nama baik masjid-masjid Muhammadiyah dan syiar Islam, dan bukan untuk menghalangi syiar Islam. Oleh sebab itu, takmir masjid harus terbuka untuk menerima masukan-masukan yang positif dari masyarakat sekitar, dengan merespon atau mencari solusi dan format yang ideal dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama dengan cara membuka ruang untuk bermusyawarah dengan cara yang bijaksana. Sehingga kesan dan penilaian positif masyarakat terhadap model pengelolaan masjid di lingkungan Muhammadiyah tetap terjaga.