
SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT SALAM, BATAL?
Pertanyaan Dari:
Imam Santosa, S.Ag., Secang, Magelang, Jawa Tengah
(disidangkan pada hari Jum’at, 4 Syakban 1431 H / 16 Juli 2010)
Pertanyaan:
Membaca uraian saudara yang panjang lebar berikut argumentasi dan kutipan-kutipan baik yang bersumber dari kitab الملخص الفقهي karangan Dr. Shaleh bin Abdullah Fauzan serta Fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz, dapatlah kami tangkap maksud yang saudara sampaikan, yaitu: Shalat Tarawih empat rakaat sekali salam adalah bermasalah alias batal sehingga perlu dikaji ulang.
Jawaban:
Sebelum menjawab substansi pertanyaan saudara, ada baiknya lebih dahulu diberikan penjelasan singkat tentang sebab-sebab perbedaan pendapat ulama, antara lain sebagai berikut:
- Karena perbedaan makna lafadz
- Karena masalah pemahaman hadis (nash)
- Karena berbenturan suatu dalil dengan pegangan pokok antara seorang dengan lainnya.
- Masalah Ta‘arudl dan Tarjih
- Perbedaan pandang terhadap dalil yang dipandang sahih oleh sebahagian ahli dan tidak sahih menurut sebahagian lainnya.
Kemudian berikut ini kami sebutkan lebih dahulu beberapa hadis yang berhubungan dengan shalat malam (qiyamul-lail/qiyamu Ramadan), terjemahnya, serta penjelasanpenjelasannya, sebelum sampai pada kesimpulannya.
- Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.
قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ اْلعَتَمَةَ إِلَى اْلفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ مَا بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ
[رواه مسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah Rasulullah saw shalat pada waktu antara Isya’, dan Subuh, – yang dikenal orang dengan istilah ‘atamah”, sebanyak sebelas raka’at, yaitu beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau shalat witir satu raka’at.” [HR. Muslim]
- Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.
قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَلاَثََ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ وَلاَ يَجْلِسُ فِي شَيْئٍ مِنْهُنَّ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah Rasulullah saw shalat malam tiga belas raka’at, beliau berwitir lima raka’at dan beliau tidak duduk antara raka’at-raka’at itu melainkan pada akhirnya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
- Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.
عَنْ عَائِشَةَ حِيْنَ سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً
[رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ketika ia ditanya mengenai shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. Kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Penjelasan:
Hadis no. 1, menunjukkan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat malam dengan kaifiyah dua raka’at lima kali salam dan witir satu raka’at. Hadis no. 2, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat delapan raka’at, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam. Adapun hadis no. 3, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat malam di bulan Ramadhan delapan raka’at dengan dua kali salam, artinya tiap empat raka’at sekali salam, kemudian dilanjutkan shalat witir tiga raka’at dan salam.
Mungkin timbul pertanyaan, dari mana kita memperoleh pengertian sesudah shalat empat raka’at lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama dari perkataan كَيْفَ (bagaimana) yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang kaifiyah shalat qiyamu Ramadlan disamping juga menerangkan jumlah raka’atnya. Kedua, kaifiyah itu diperoleh dari lafadz يُصَلِّي أَرْبَعًا . Lafadz itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara dzahir (ظاهر); yakni menyambung empat raka’at dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (الفصل); yakni menceraikan atau memisahkan dua raka’at salam – dua raka’at salam. Namun makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus-Salam (Juz 2: 13).
Hadis Aisyah ini menerangkan dalam satu kaifiyah shalat malam Nabi saw, disamping kaifiyah yang lainnya. Hadis Aisyah ini harus diamalkan secara utuh baik raka’at dan kaifiyahnya. Hadis Aisyah ini tidak ditakhshish oleh hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (shalat malam harus dua raka’at, dua raka’at), dan hadis tersebut tidak mengandung pengertian “Hashar” seperti dikatakan oleh Muhammad bin Nashar. Imam an-Nawawi dalam syarah Muslim mengatakan, shalat malam dengan empat raka’at boleh sekali salam (تسلمة ولحدة) dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز (salam sesudah empat raka’at menerangkan hukum boleh (jawaz)). Perkataan an-Nawawi tersebut dikomentari oleh Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح” sebagai berikut:
وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ الشَّافِعِيَّةُ: “يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ”، كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ لَقَوْلِ النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ
[صلاة التراويح، ص: 17-18]
Artinya: “Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat raka’at dengan satu salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab fiqih mazhab empat itu dan uraian al-Qasthallani terhadap hadis al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau itu.” [Shalatut-Tarawih, hal 17-18]
Sebagaimana diketahui hadis Aisyah itu yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadis-hadis lainnya tentang qiyamu Ramadlan. Sehubungan hal itu Ibnu al-Qayyim al-Jauzi menulis di dalam kitab Zadul Ma’ad:
وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَهُوَ اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمَرْعَاتِهَا ذَلِكَ، وَلِكَوْنِهَا أَعْلَمُ اْلخُلُقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا شَاهِدُهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا
(مَيْمُونَةٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا)
[زاد المعاد: 1: 244]
Artinya: “Dan apabila berbeda riwayat lbnu Abbas dengan riwayat Aisyah dalam sesuatu hal menyangkut shalat malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat Aisyah r.a. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibnu Abbas, itulah yang jelas, karena Aisyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu, Aisyah orang yang lebih mengerti tentang shalat malam Nabi saw, sedangkan Ibnu Abbas hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah r.a.). [Zadul Ma’ad, 1: 244]
Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukani, bahwa kebanyakan ulama mengatakan, shalat tarawih dua raka’at satu salam hanya sekedar menunjukkan segi afdlal (utama) saja, bukan memberi faedah Hashar (wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi saw, bahwa beliau melakukan shalat malam empat raka’at dengan satu salam. Hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى hanya untuk memberi pengertian/ menunjuk (irsyad) kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya shalat dua raka’at dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat raka’at sekali salam.
Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul-Authar, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdlal) antara menceraikan (الفصل = memisahkan 4 raka’at menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung (الوصل = empat raka’at dengan satu), sedangkan Imam Muhammad bin Nashar menyatakan sama saja afdlalnya antara menceraikan (الفصل) dan bersambung (الوصل), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi saw berwitir lima raka’at, beliau tidak duduk kecuali pada raka’at yang kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (الوصل). [Nailul-Authar: 2: 38-39]
Mengenai pendapat/ fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu‘ Fatawanya dan Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam bukunya الملخص الفقهي yang mengatakan shalat empat raka’at sekali salam itu salah dan menyalahi sunnah, pendapat itu justru menentangkan sunnah dan terkesan ekstrim. Hal itu sama juga dengan pendapat sementara orang di Indonesia yang menyatakan shalat empat raka’at dengan satu salam adalah ngawur, mereka itu sangat terpengaruh dengan pendapat sebahagian ulama Syafi’i yang fanatik dalam hal tersebut seperti disebutkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy (Kalau ingin memperluas uraian ini merujuklah kepada kitab-kitab shalat Tarawih karangan al-Albaniy itu).
Menurut hemat kami Syeikh Abdul Aziz bin Bas, dalam bidang akidah berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, sedang dalam bidang fiqih sangat dipengaruhi oleh paham Ahmad bin Hambal (Hanbali), dan itu umum dianut penduduk Saudi Arabia.
Ahli hadis Indonesia seperti Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (dalam bukunya Pedoman Shalat hal 514; begitu juga dalam “Koleksi Hadis-Hadis Hukum” Juz 5: hal 130), begitu pula A. Hassan pendiri Persatuan Islam, ahli hadis juga, dalam bukunya “Pelajaran Shalat, hal 283-284 kedua beliau itu berpendapat bahwa shalat tarawih/qiyamu Ramadlan empat raka’at sekali salam adalah sah, itu salah satu kaifiyah shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi saw.
Sebagai informasi tambahan kami kutip di sini apa yang ditulis Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ (syarah al-Muhazzab, juz 5: 55), al-Qadli Husein berpendapat bahwa apabila shalat tarawih dilakukan dua puluh raka’at, maka tidak boleh/ tidak sah dikerjakan, empat raka’at sekali salam, tetapi harus dua raka’at sekali salam, bukan yang dimaksud oleh beliau itu shalat tarawih delapan raka’at.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kaji ulang kami sebagaimana uraian/ penjelasan di atas, maka menurut hemat kami hadis tentang shalat tarawih empat raka’at sekali salam tidak bermasalah, baik dari sisi matan maupun sanadnya. Dalam buku Tuntunan Ramadan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Majalah Suara Muhammadiyah, telah disebutkan bahwa jumlah raka’at shalat tarawih empat raka’at salam dan dua raka’at salam merupakan tanawu’ dalam beribadah, sehingga keduanya dapat diamalkan.
Wallahu ‘alain bish shawab. *th)
*Fatwa ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 16 Tahun 2010
Assalamualaykum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, tidak ada tarawih berjamaah di masjid selama masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun, di zaman Sayyidina Umar bin Khattab, beliau melihat umat Islam shalat tarawih dengan banyak imam secara terpisah-pisah di masjid.
Maka Sayyidina Umar mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan satu imam.
Hadis ini diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari (2010):
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَٰنِ بْنِ عَبْدٍ ٱلْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ ٱلْخَطَّابِ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةًۭ فِي رَمَضَانَ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ، فَإِذَا ٱلنَّاسُ أَوْزَاعٌۭ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّى ٱلرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّى ٱلرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلَاتِهِ ٱلرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّىٓ أَرَىٰ لَوْ جَمَعْتُ هَٰؤُلَآءِ عَلَىٰ قَارِئٍۢ وَٰحِدٍۢ لَكَانَ أَمْثَلَ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَىٰ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍۢ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَىٰ وَٱلنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ، قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ ٱلْبِدْعَةُ هَٰذِهِ، وَٱلَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ ٱلَّتِى يَقُومُونَ، يُرِيدُ ءَاخِرَ ٱلَّيْلِ، وَكَانَ ٱلنَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ.”
—
Terjemahan Hadis:
Dari Abdurrahman bin Abdil Qari:
_”Aku keluar bersama Umar bin Khattab pada suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, dan saat itu orang-orang shalat sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat dan diikuti oleh beberapa orang lainnya. Lalu Umar berkata, ‘Aku berpikir, bagaimana kalau aku mengumpulkan mereka di bawah satu imam, tentu itu lebih baik.’ Kemudian beliau memutuskan untuk mengangkat Ubay bin Ka‘ab sebagai imam mereka.
Pada malam berikutnya, aku keluar lagi bersamanya, dan orang-orang sudah shalat dengan satu imam. Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid‘ah adalah ini! Namun shalat di akhir malam lebih utama daripada yang mereka lakukan sekarang.’ Karena saat itu orang-orang melakukan tarawih di awal malam.”
(HR. Al-Bukhari No. 2010)
“Bid‘ah” (البدعة)
Bid‘ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru, yaitu sesuatu yang tidak ada sebelumnya lalu dibuat/dilakukan.
Dalam konteks syariat Islam, bid‘ah berarti:
“Sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada contoh langsung dari Rasulullah ﷺ.”
Hadis Rasulullah ﷺ dalam HR. Muslim (867):
“وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.”
Artinya:
“Jauhilah perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah kesesatan.”
Hasanahnya terletak pada jamaah yang akhirnya telah sholat bersama dengan satu imam di dalam masjid. Dimana letak Bid’ah nya, mereka melakukan sesuatu yang Rasululloh ﷺ.” tidak mengajak atau mencontohkan.
Disitu Umar bin Khattab juga tidak ikut kan, sedang berjalan jalan, lalu melihat mereka melakukan sesuatu di luar ibadah yang diajarkan beliau.
Allah baik banget sebenarnya, merujuk pada
Hadis Riwayat Aisyah Radhiallahu ‘Anha tentang Shalat Malam di Ramadhan
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1147) dan Muslim (738):
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: “مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا.”
Artinya:
Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
“Rasulullah ﷺ tidak pernah menambah jumlah shalat malamnya, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan tanyakan tentang keindahan dan panjangnya. Lalu beliau shalat empat rakaat lagi, jangan tanyakan tentang keindahan dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat (witir).”
(Jadi bagaimana kita solat qyamul lail sebelum ramadhan biasanya berapa rakaat, kmd saat ramadhan kita menambah lalu setelah ramadhan berkurang jumlah shalat qiyamul lail jadinya tidak sesuai suri tauladan Beliau?)
Peristiwa Rasulullah ﷺ Shalat Sendiri, Lalu Sahabat Mengikutinya Diam-Diam
Hadis ini diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari (924) dan Sahih Muslim (761).
Diceritakan bahwa Rasulullah ﷺ shalat malam di masjid, dan beberapa sahabat diam-diam mengikuti shalat beliau di belakangnya. Malam berikutnya, semakin banyak sahabat yang ikut. Hingga malam ketiga atau keempat, masjid semakin penuh.
Namun… pada malam berikutnya Rasulullah ﷺ tidak keluar ke masjid. Para sahabat menunggu, hingga akhirnya beliau berkata:
“Aku tidak keluar karena aku khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian.”
HR. Muslim tentang Sahabat Mengetuk Pintu Rasulullah ﷺ
Ini juga diriwayatkan dalam HR. Muslim (782).
Salah satu sahabat mengetuk rumah Rasulullah ﷺ dengan harapan beliau keluar untuk shalat berjamaah. Mereka terus mengetuk hingga Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan marah, lalu bersabda:
“Shalat wajib dilakukan di masjid, tetapi shalat sunah sebaiknya dilakukan di rumah, karena itu lebih utama.”
(Keutamaan lelaki sholat wajib masjid, dampak aman Nabi bila ada lelaki tidak shalat wajib dimasjid di bakar rumahnya karena agar takut neraka, kemudian jangan jadikan rumah sebagai kuburan maka sholat sunah dikerjakan dirumah. Jadi Beliau mencontohkan sampai wafat seperti itu adanya bukan?)
Sampai Rasululloh wafat tidak turun wahyu atau ayat tentang wajib solat berjamaah di bulan Ramadhan ,bukan di masjid? Saya sangat ingin mendapatkan masyarakat yang seperti zaman Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar