Astrologi vis a vis Astronomi
Oleh:
Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
(Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Hampir semua peradaban memiliki telaah dalam astronomi dan astrologi. Astrologi lahir berkat perpaduan kreatif lintas peradaban. Tradisi dan telaah astrologi terus diminati sejak dahulu sampai kini. Langit dengan segala suguhannya adalah fenomena teramat menarik bagi manusia di Bumi. Bangsa-bangsa kuno seperti Babilonia, Mesir, China, India, Persia, dan Yunani adalah bangsa-bangsa yang memiliki telaah dan catatan dalam dua bidang ini. Peradaban Babilonia misalnya, punya pengaruh dan sumbangan besar dalam ilmu pengetahuan. Orang-orang Babilonia dikenal sangat meminati ilmu-ilmu eksperimental yang menyebabkan peradaban ini tetap eksis. Sumbangan besar, sekaligus masalah besar, peradaban Babilonia yang mengakar hingga saat ini adalah astrologi. Gemerlap bintang yang tak terhingga jumlahnya tentu sangat inspiratif bagi manusia zaman itu. Memprediksi posisi dan situasi di langit yang dihubungkan dengan kejadian di Bumi adalah rutinitas orang-orang dahulu. Dalam mitologi dahulu, segenap gerak dan perubahan benda-benda di langit adalah pesan dari penguasa alam yang harus dimaknai.
Di era modern, astrologi didefinisikan sebagai suatu kepandaian untuk mengetahui nasib atau karakter seseorang di masa yang akan datang dengan menghubungkannya dengan situasi dan posisi benda-benda langit. Diantara kerja astrologi adalah menerka keadaan seseorang melalui horoskop kelahiran yang tertera dalam buku petunjuk ramalan.
Kini, astronomi dengan astrologi berbeda, bahkan sangat dibedakan, betapapun keduanya sama-sama menerjemahkan langit. Keduanya diposisikan dalam perspektif yang berbeda. Di era modern, astrologi tidak lebih sebatas mempelajari dan memahami hubungan kedudukan rasi-rasi bintang (zodiak) dan benda-benda langit lainnya terhadap karakter dan atau nasib seseorang atau sekelompok orang. Sementara astronomi menerjemahkan langit demi pengembangan keilmuan dan peradaban. Astronomi mempelajari gerak dan posisi benda-benda langit secara fisik dan matematis. Sedangkan astrologi menyimpulkan bahwa benda-benda langit adalah pertanda dan informasi magis bagi manusia di Bumi, bahkan dahulu dipersonifikasi sebagai dewa-dewi sakti yang dipuja.
Memang, dalam perkembangan awalnya, astronomi dalam Islam berhubungan erat dengan kajian perbintangan (astrologi). Hal ini tidak terlepas dari dua alasan: pertama, kebiasaan hidup orang-orang Arab di padang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui terbit-tenggelam, mengetahui pergantian musim, dan lainnya. Kedua, keterpengaruhan praktik ini terhadap kebiasaan bangsa-bangsa pra-Islam yang punya tradisi astrologi.
Seiring datangnya Nabi Muhammad Saw dengan risalahnya pada akhirnya mengikis praktik-praktik astrologi menyimpang. Konsepsi risalah Islam menyatakan bahwa nasib bahagia dan celaka mutlak dalam kekuasaan Allah, bukan berdasarkan posisi benda-benda di langit. Mengaitkan konstelasi benda-benda langit dengan karakter (nasib) seseorang adalah terlarang. Al-Qur’an secara tegas mengecam praktik astrologi seperti tertera dalam Q. 07: 188 dan Q. 72: 06. Nabi Muhammad Saw juga dalam sejumlah sabda-Nya melarang keras praktik astrologi yang menjurus pada perdukunan ini.
Namun walaupun Islam melarang dan mengecam astrologi, pada saat bersamaan menganjurkan manusia untuk menggali hikmah dan fenomena alam secara ilmiah. Dalam sejumlah ayat, al-Qur’an kerap mengaitkan waktu-waktu ibadah dengan fenomena semesta khususnya Bulan dan Matahari. Waktu shalat ditentukan dengan gerak semu Matahari. Sedangkan puasa, hari raya, haji, idah, dan haul zakat ditetapkan berdasarkan gerak faktual bulan. Dengan seruan al-Qur’an astronomi terus dipelajari. Astronomi terus berkembang dengan kontrol al-Qur’an sehingga melahirkan sarjana-sarjana astronomi berpengaruh di dunia seperti al-Biruni (w. 440/1048), al-Battani (w. 317/929), Ibn Yunus (w. 399/1008), Ibn Syathir (w. 777/1375), Ibn Majdi (w. 850/1447), dan lain-lain.
Keistimewaan astronomi Islam yang membedakannya secara signifikan dengan astrologi adalah: pertama, meskipun orang-orang Arab menukil pengetahuan dari peradaban sebelumnya, namun disertai koreksi dan penjelasan dan berikutnya melahirkan karya-karya yang punya ciri dan keunggulan. Kedua, peradaban astronomi Islam tidak terhenti sebatas tinjauan teoretis, namun memolanya dalam bentuk ilmu pasti dan praktis seperti matematika, fisika, geografi, dan lain-lain. Ketiga, dalam hal perbintangan (astrologi), Islam memang tidak mampu menghapus habis tradisi ini, bahkan praktik ini tetap ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari hingga saat ini. Hal ini karena astrologi berbicara tentang diri seseorang atau sekelompok orang dengan segala kemungkinan suka dan dukanya. Namun yang pasti, kini astrologi dengan astronomi berbeda dan sangat dibedakan.[]