KEWAJIBAN MEMBACA AL-FATIHAH DAN KAITANNYA DENGAN MASBUQ
Pertanyaan Dari:
Saudara Nur Kurniawan, SMA Muhammadiyah I Metro, Lampung Tengah
(pernah dimuat di SM No. 6 Tahun Ke-84/1999)
Tanya:
Mengenai bacaan al-Fatihah bagi makmum dalam salat berjamaah. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim (penanya mengutip lengkap hadis dimaksud berikut terjemahannya) dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda yang intinya tidak sah salat orang yang tidak membaca al-Fatihah. Dari hadis ini jelas bahwa membaca al-Fatihah dalam salat fardu itu wajib hukumnya. Namun dalam hadis lain (penanya mengutip terjemahannya) dikatakan pula bahwa barang siapa menjumpai rukuknya imam, berarti ia menjumpai salat (rakaat sempurna). Mohon masalah ini dijelaskan secara rinci dan disertai dengan cara istinbat hukumnya.
Jawab:
Barangkali inti pertanyaannya adalah bagaimana hubungan hadis ‘Ubadah yang mewajibkan membaca al-Fatihah dan hadis Abu Hurairah yang menyatakan bahwa orang yang mendapat rukuk bersama imam, meskipun tidak sempat membaca al-Fatihah, mendapat satu rakaat. Dengan kata lain apakah rakaat tanpa al-Fatihah dalam kasus masbuq itu sah?
Saudara Nur Kurniawan, pertanyaan mengenai makmum masbuq sudah sering ditanyakan dalam rubrik ini dan Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam telah menjawabnya beberapa kali (lihat buku Tanya Jawab Agama, terbitan SM, I: 84-86, dan II: 135-140, keduanya Bab Tentang Salat Jamaah). Di sini akan dijawab dengan singkat dengan beberapa informasi yang belum masuk dalam jawaban-jawaban yang lalu.
Secara umum membaca al-Fatihah dalam salat itu adalah wajib karena merupakan salah satu rukun salat, sehingga tidak sah salat tanpa membacanya. Hal ini berdasarkan hadis yang dikutip oleh penanya dalam suratnya, yaitu:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Dari ‘Ubadab Ibn as-Samit (dilaporkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak sah salat orang yang tidak membaca Pembukaan Kitab (al-Fatihah).” [HR al-Bukhari dan Muslim]
Hanya saja membaca al-Fatihah di belakang imam terdapat dua garis besar ijtihad fiqih, yaitu ijtihad mazhab Hanafi dan ijtihad jumhur ulama. Dalam mazhab Hanafi makmum di belakang imam dalam salat jamaah tidak membaca al-Fatihah. Hal ini didasarkan kepada firman Allah:
(وَإِذَا قُرِئَ ٱلۡقُرۡءَانُ فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ (٢٠٤
Artinya: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” [QS. al-A’raf (7): 204]
Menurut jumhur ulama membaca al-Fatihah baik dalam salat sendirian maupun berjamaah di belakang imam adalah wajib hukumnya, berdasarkan hadis ‘Ubadah di atas. Tarjih Muhammadiyah sesuai dan sejalan dengan pandangan jumhur ulama ini. Hadis ‘Ubadah tidak bertentangan dengan ayat di atas. Ayat di atas dapat dianggap sebagai perintah umum, sedangkan hadis ‘Ubadah memberi perkecualian, yaitu di dalam salat makmum tetap membaca al-Fatihah.
Hadis ‘Ubadah memang merupakan hadis ahad, dan menurut kaidah usul fiqih Hanafi, hadis ahad tidak dapat membatasi keumuman al-Qur’an, karena hadis ahad adalah zanni, sedangkan al-Qur’an adalah qat’i. Sedangkan kaidah usul fiqih jumhur ulama menyatakan bahwa hadis ahad dapat membatasi keumuman al-Qur’an, karena pernyataan umum itu sifatnya zanni sebab masih memerlukan penjelasan. Oleh karena itu hadis ahad bisa saja membatasi keumuman al-Qur’an. Jadi hadis ‘Ubadah tadi tetap dipegangi. Selain itu membaca al-Fatihah di belakang imam itu dikuatkan pula oleh hadis lain,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَقْرَءُونَ خَلْفِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِأُمِّ الْكِتَابِ [رواه أحمد]
Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Abi Qatadah dari ayahnya (Abi Qatadah), (dilaporkan bahwa) Rasulullah saw bertanya (kepada para sababatnya): Apakah kalian membaca sesuatu di belakangku? Mereka menjawab: Ya. Beliau berkata: Jangan kalian lakukan itu, kecuali Ummul-Kitab.” [HR. Ahmad]
Jadi jelas bahwa membaca al-Fatihah itu memang wajib hukumnya di dalam salat. Sekarang pertanyaannya adalah: Kalau membaca al-Fatihah dalam salat itu wajib di mana tidak sah salat tanpa al-Fatihah, bagaimana dengan masbuq yang hanya mendapat rukuk bersama imam dan tidak sempat membaca al-Fatihah?
Dalam Putusan Tarjih dinyatakan: Apabila kamu mendatangi salat jamaah dan mendapati imam sudah mulai melakukan salat, maka bertakbirlah kamu lalu kerjakanlah sebagaimana yang dikerjakan imam. Dan jangan kamu hitung rakaatnya kecuali jika kamu sempat melakukan rukuk bersama-sama dengan imam …
Jadi menurut Putusan Tarjih masbuq yang hanya mendapatkan rukuk saja bersama imam dan tidak sempat membaca al-Fatihah tetap mendapat rakaat bersangkutan. Dasarnya adalah hadis Nabi saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا جِئْتُمْ إِلَي الصَّلاَةِ وَنَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَلاَ تَعُدُّوْهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ [رواه أبو داود والحاكم وابن خزيمة]
Artinya: “Dari Abu Hurairah (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Apabila kamu mendatangi salat ketika kami sedang sujud, maka sujudlah dan jangan hitung sebagai satu rakaat, dan barang siapa menjumpai rukuknya imam, berarti ia menjumpai salat (rakaat sempurna).” [Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah]
Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis yang mewajibkan membaca al-Fatihah. Hubungan kedua hadis di atas adalah hubungan umum dan khusus. Dan dalam usul fiqih ketentuan umum selalu ada pengkhususannya (pengecualiannya). Kalau kedua hadis ini digabung, maka kita mendapatkan suatu penegasan, yaitu bahwa dalam setiap rakaat salat wajib dibaca al-Fatihah, kecuali makmum masbuq, apabila ia mendapati rukuk bersama imam hal itu sudah cukup dan ia mendapat rakaat bersangkutan.
Memang ada beberapa ustaz yang menyatakan bahwa orang yang tidak mendapat al-Fatihah bersama imam (hanya mendapat rukuknya saja) tidak dapat dipandang mendapat rakaat tersebut, sebab ia tidak membaca al-Fatihah yang merupakan rukun salat. Sedangkan hadis yang baru dikutip di atas, menurut ustaz tadi, tidak menunjukkan bahwa orang yang mendapat rukuk bersama imam mendapat rakaat bersangkutan, melainkan hadis itu berarti barangsiapa mendapat rakaat, bukan mendapat rukuk. Sebab matan hadisnya berbunyi man adraka rak’atan, yang berarti barangsiapa mendapat rakaat bersama imam, bukan menjumpai rukuknya imam. Kata-kara yang digunakan dalam hadis itu adalah rak’atan (rakaat), bukan rukuan (rukuk). Satu perangkat rakaat itu meliputi al-Fatihah.
Pendapat seperti ini tidak laziin dalam tradisi pemahaman Islam selama berabad-abad mengenai hadis masbuq itu. Arti asal rukuk dan rakaat itu adalah menundukkan kepala atau membungkukkan badan. Jadi arti rakaat dalam hadis di atas adalah rukuk, bukan rakaat salat. Hal ini akan lebih jelas bila dihubungkan dengan hadis Ibnu Hibban berikut,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَهُ فَقَدْ أَدْرَكَهَا [رواه ابن حبان]
Artinya: “Barangsiapa menjumpai satu rakaat dari salat sebelum imam meluruskan punggungnya, maka ia mendapat rakaat bersangkutan.” [Sahih menurut Ibnu Hibban]
Dalam hadis ini kata rakaat diikuti dengan kata sebelum imam meluruskan punggungnya (artinya sebelum imam bangkit dari rukuk), itu berarti kata rakaat di sini berarti rukuk. Dengan demikian penafsiran beberapa ustaz tadi tidak dapat diterima. Kesimpulannya adalah: meskipun makmum masbuq tidak sempat membaca al-Fatihah, namun sempat rukuk bersama imam, maka ia telah mendapat rakaat bersangkutan, hal ini karena penegasan Nabi saw sendiri dalam hadis yang telah dikemukakan.
Assalamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu.
Ustadz mau bertanya tentang *Hukum (wajibnya) makmum membaca Al Fatihah*.
Kalau makmum masbuk masih mendapati imam rukuk, walau tidak sempat membaca Al Fatihah, maka diakui masih mendapat satu rakaat.
Bgmn hukum kewajiban membaca Al Fatihah bagi makmum yang tidak sempat membaca Al Fatihah, karena
iman tidak memberi jeda waktu yang cukup antara kata “Aamiin” dengan bacaan surat berikutnya. Sebab lain karena makmum juga harus menyimak/mendengarkan bacaan Al Qur’an dari Imam ?.
Syukron wa jazakallahu khayran.
Penanya,
Suharto – Bandung