EtalaseFatwaProduk

Lafadz Akad Nikah

LAFADZ AKAD NIKAH

Pertanyaan Dari:

Bapak Syaiful Anwar Ateh, SH., NBM 642.365, Ketua PCM Seberang Ulu I

Kodya Palembang dan Bapak J. Syamsuddin Baits

 

Tanya:

  1. Sehubungan dengan jawaban Pengasuh Rubrik Fatwa Agama yang dimuat dalam SM No. 15/81/1996 mengenai ijab qabul mempelai laki-laki yang mewakilkan. Dari jawaban tersebut terkesan calon mempelai wanitalah yang dikawinkan dengan calon mempelai laki-laki. Untuk itu mohon memberikan contoh juga bila seorang ayah akan mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki secara langsung. Hal ini penting sebab di lingkungan Muhammadiyah (terutama di tempat kami) mempelai laki-lakilah yang mengawini anak perempuan dalam lafaz ijab qabulnya, yaitu seperti diuraikan dalam buku Tanya Jawab Agama II halaman 165-166. (Bapak Syaiful Anwar Ateh, SH.)
  2. Saya memperhatikan selama ini ada dua macam lafaz ijab yang diucapkan para wali nikah, yaitu:
  3. “Fulan, engkau saya nikahkan dengan putri saya Fulanah dengan mahar …… tunai”.
  4. “Fulan, saya nikahkan putri saya Fulanah kepada engkau dengan mahar …… tunai”.

Pada contoh yang pertama terkandung maksud bahwa wali menikahkan seorang laki-laki dengan putrinya. Jadi yang dinikahkan oleh wali adalah seorang laki-laki calon suami putrinya. Pada contoh kedua, terkandung maksud bahwa wali menikahkan putrinya dengan calon suami putrinya itu. Jadi yang dinikahkan oleh wali adalah putrinya. Pertanyaannya: Lafaz manakah di antara kedua lafaz itu yang benar menurut syariat Islam? (Bapak J. Syamsuddin Baits)

  1. Sudah menjadi kebiasaan di daerah saya bahwa pada saat dilaksanakan akad nikah (waktu ijab dan kabul) wali dan mempelai pria berjabatan tangan. Karena cara ini telah mentradisi dari dahulu hingga sekarang maka timbul kesan seolah-olah bila cara ini tidak dilaksanakan dapat mengakibatkan akad nikah tidak syah atau sekurang-kurangnya tidak memenuhi syarat atau kurang sempurna dan tentu akan menjadi bahan pembicaraan orang. Pertanyaannya: Apakah ada dasar hukumnya perbuatan tersebut dan bagaimana bila tidak dilakukan? (Bapak J. Syamsuddin Baits)

 

Jawab:

Kami pengasuh Rubrik Fatwa belum menemukan hadis yang menggambarkan secara utuh bagaimana praktek Rasul saw ketika beliau nikah, atau ketika beliau menikahkan putrinya atau ketika beliau menikahkan sahabatnya, yaitu apakah yang diucapkan lebih dahulu atau yang dinikahkan itu calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan atau sebaliknya yang dinikahkan itu calon mempelai perempuan kepada calon mempelai laki-laki. Hal ini karena secara esensi tidak ada perbedaan antara kedua bentuk akad nikah tersebut yaitu sama­-sama menikahkan kedua mempelai. Memang terdapat hadis Nabi saw yang menerangkan salah satu wujud mahar/maskawin yang di dalamnya menyangkut pula tentang akad nikah. Yaitu tatkala ada seorang sahabat yang meminta kepada Nabi saw agar dinikahkan dengan seorang wanita. Akan tetapi karena ia tidak mempunyai sesuatu untuk maharnya, lalu Nabi saw memerintahkan agar ia berusaha mencari sesuatu untuk dijadikan mahar, sekalipun berupa cincin besi. Setelah sahabat tersebut berkali-kali mencari tetapi tidak menemukan juga, lalu Nabi saw bertanya kepadanya apakah ia hafal sesuatu surat dari al-Qur’an? Sahabat tersebut menjawab ya surat ini dan surat itu, kemudian Nabi saw berkata:

اِذْهَبْ فَقَدْ مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ [رواه البخاري]

Artinya: “Pergilah, sungguh kamu telah aku nikahkan kepadanya (sababat perempuan) dengan mahar (membaca) al-­Qur’an yang ada padamu.” [Hadis riwayat al-Bukhari]

Dari hadis di atas, khususnya kata artinya telah aku nikahkan kamu dengan dia (perempuan), tergambar bahwa laki-laki yang menikahi perempuan, bukan perempuan yang dinikahkan dengan mempelai laki-laki. Namun demikian, apakah akad itu harus selalu berisi ungkapan bahwa si wali menikahkan mempelai laki-laki dengan wanita yang diwalikannya? Hadis di atas tidak menunjukkan secara tegas demikian. Sebab bisa juga difahami bahwa kata malaktukaha itu sebagai jawaban Nabi saw kepada sahabat laki-laki yang sejak awal ingin mengawini wanita tersebut. Apabila yang bertanya itu si wanitanya, mungkin Nabi saw akan mejawab malaktukahu, artinya telah aku nikahkan kamu dengan dia (sahabat laki-laki). Oleh karena tidak adanya petunjuk yang tegas dan karena secara esensinya sama antara akad yang menikahkan calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita atau sebaliknya menikahkan mempelai wanita kepada mempelai laki-laki, maka pemakaian kedua bentuk akad nikah ini diperbolehkan.

Mengenai pertanyaan nomor 3, tidak ada nas yang menyebutkan atau mengindikasikan bahwa ketika akad nikah wali harus berjabat tangan atau memegang tangan mempelai laki­-laki. Di beberapa tempat di Indonesia memang akad nikah dilakukan dengan cara seperti yang Bapak sebutkan. Hal ini mungkin mengingat betapa pentingnya akad nikah itu, atau untuk lebih menandaskan akad nikah tersebut. Oleh karenanya melakukan akad nikah dengan cara demikian sudah menjadi tradisi. Karena nas juga tidak ada yang melarangnya, maka boleh­-boleh saja hal ini dilakukan. Hanya saja seandainya terjadi ada akad nikah yang tidak dilakukan dengan cara demikian, maka akad nikahnya tetap syah.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button