EtalaseFatwaProduk

Hibah dan Wasiat untuk Anak yang Berbeda Agama

HIBAH DAN WASIAT UNTUK ANAK YANG BERBEDA AGAMA

Pertanyaan Dari:

Karsilah, Serengan, Solo

 

Tanya:

Di antara anak saya ada yang tidak beragama Islam. Awalnya

memang kesalahan saya sendiri menyekolahkan dia ke sekolahan yang bernaung di bawah yayasan non Islam, karena kebetulan sekolahan tersebut memang maju. Waktu itu sekalipun saya mengaku beragama Islam, tetapi belum melaksanakan ajaran agama dengan sesungguhnya, sehingga waktu memasukkan anak saya ke sekolahan tersebut merasa bangga, dan tidak ada perasaan berdosa ketika anak saya atas kemauannya sendiri beralih agama.

Alhamdulillah atas hida­yah Allah saya bisa menyadari kekeliruan saya selama ini yang tidak mau melaksanakan ibadah. Sekarang saya sudah menjalankan ibadah salat dan ibadah-ibadah yang lain. Timbul perasaan berdosa karena sekolahan yang saya pilih sendiri untuk anak saya menyebabkan dia berbeda agama dengan saya. Selaku orang tua sayapun sudah menasehati dia agar kembali kepada agama Islam. Tetapi tampaknya dia sudah mantap dengan agamanya karena berkaitan dengan sumber penghasilannya, sehingga sulit untuk kembali kepada agama Islam. Namun bagaimanapun juga, namanya kepada anak, saya tidak bisa membeda-bedakan kasih sayang kepadanya dengan anak-anak saya yang lain yang seagama dengan saya.

Saya sudah tua, timbul kekhawatiran kalau-kalau nanti anak saya yang tidak beragama Islam itu oleh saudara-saudaranya tidak diberi bagian dari harta peninggalan saya. Oleh karena itu apa yang harus saya lakukan dan apa betul anak yang berbeda agama tidak berhak menerima warisan dari orang tuanya? Apabila betul, bagaimana caranya kalau saya ingin memberi warisan kepadanya?

 

Jawab:

Ibu Karsilah, betul bahwa orang yang tidak beragama Islam tidak berhak menerima warisan dari pewaris yang beragama Islam, walau­pun dia itu anak kandung. Apabila ibu akan memberi bagian kepada putra ibu yang tidak beragama Islam bisa-bisa saja, tetapi bukan dengan cara warisan, tetapi melalui cara-cara sebagai berikut:

Pertama, dengan cara hibah atau pemberian yaitu menyerahkan hak kebendaan yang berlakunya sewaktu si pemberi masih hidup. Tidak ada larangan seorang muslim menghibahkan hartanya kepada yang bukan muslim. Hanya saja karena tidak semua putra-putri ibu akan diberi hibah, yaitu mereka yang beragama Islam, supaya tidak menimbulkan permasalahan lebih lanjut antara lain munculnya kecemburuan maka yang perlu dijelaskan kepada mereka bahwa pemberian itu dilakukan karena ia nanti tidak berhak menerima warisan, sedangkan yang lain akan menerima warisan. Adapun mengenai besarnya atau banyaknya hibah, kepada ibu dipersilahkan untuk menentukannya sendiri dengan tetap menjaga keadilan di antara putra-putra ibu lainnya. Oleh karena itu hibah tersebut mestinya tidak lebih besar dari penerimaan masing-masing ahli waris nantinya.

Cara yang kedua ialah melalui wasiat, yaitu menyerahkan sebagian hak kebendaan yang berlakunya setelah orang yang mewasiatkan meninggal dunia. Apabila cara ini yang ditempuh, maka putra ibu yang tidak beragama Islam tersebur baru bisa menerima haknya setelah ibu meninggal dunia. Seperti halnya dengan hibah, seorang yang beragama Islam diperbolehkan berwasiat kepada yang tidak beragama Islam, yang tidak diperbolehkan adalah berwasiat kepada ahli waris, berdasarkan hadis riwayat ad-Daruqutni:

لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ [رواه الدارقطني]

Artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

Oleh karena putra ibu yang tidak beragama Islam bukan ahli waris atau tidak berhak menerima warisan, maka tidak termasuk dalam larangan hadis di atas. Mengenai besarnya wasiat yang diperbolehkan adalah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Mus­lim dari Amir ibn Sa’ad dari bapaknya, ia berkata:

عَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَنِي مَا تَرَى مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ لَا الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ [رواه مسلم]

Artinya: “Rasulullah datang mengunjungi saya pada tahun haji wadda’ sewaktu saya menderita sakit keras, saya berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah, saya sedang menderita sakit keras sebagaimana engkau lihat, saya mempunyai (banyak) harta sementara tidak ada yang akan mewarisi saya kecuali seorang anak perempuan saya, apakah sebaiknya saya berwasiyat sebanyak duapertiga dari harta saya? Rasul menjawab: Tidak (jangan). Saya bertanya lagi, apa boleh saya berwasiat separuh dari harta saya? Rasul menjawab: Jangan, sepertiga (saja), karena sepertiga sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta­-minta kepada orang banyak …” [al-Jami’u as-Sahih, Juz V, halaman 71]

Wasiat yang lebih dari sepertiga, kelebihannya baru berlaku apabila mendapat ijin dari semua ahli waris. Bagian 1/3 ini dihitung setelah harta peninggalan itu diambil lebih dahulu untuk biaya penyelenggaraan jenazah, antara lain pembelian kain kafan, biaya penguburan (kalau mau diambilkan dari harta peninggalan) dan setelah dikurangi untuk membayar hutang pewariis (kalau ada). Oleh karena itu hendaknya ibu mempertimbangkan besarnya harta peninggalan antara yang akan diwasiatkan dengan yang dibagi waris, supaya yang menerima wasiat bagiannya tidak lebih banyak dari yang menerima warisan umpamanya. Hal ini perlu dilakukan supaya tidak terjadi kecemburuan di antara putra-­putri ibu.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button